Dua kali kafe yang sama di pusat
Jakarta, pada suatu hari. Kupesan minuman yang berbeda: jus jeruk dan seporsi
lasagna untuk makan siang; lalu kusisakan ruang di rongga perut untuk minuman
anomali pertama sepanjang hidupku: frappuchino dengan whipped cream dan ekstra saus
karamel. Hari itu, resmi sudah pelatihan berakhir—setelah dua hari
berturut-turut dari pagi hingga malam—dan aku kekurangan tempat ‘kabur’. Kafe
ini, alternatif tempat menyepi yang paling ideal, sebab ada di mana-mana, ada
stopkontak, dan wifi-nya lumayan.
Kupesan sambil bingung, sebab
rupanya minuman itu tak pernah ada di menu. Kurasa murni racikan favorit
seseorang selama puluhan tahun. Lumayan membangkitkan rasa ingin tahuku, karena
sudah dua kali aku ke sini hari ini; dan aku bosan pesan es cokelat atau matcha
latte.
Seruput pertama, aku
menebak-nebak rasanya. Mirip seperti satu merek minuman instan yang dulu
populer dengan kenyal bubble dan beragam topping. Jika ia ada di
sini, mungkin akan kutunjukkan reaksi spontanku sambil menyeletuk: ‘astaga,
kenapa mirip *** ice, deh?’. Sungguh tidak sesuai dengan profilnya:
tinggi, gondrong, berewok, dan (mungkin) seram.
Seruput kedua, seperti ada gerenjil
bubuk cokelat yang belum larut. Bisa dikunyah dan menurutku teksturnya lumayan.
Plus, aku sedang mood yang manis-manis. Seruput ketiga, baru aku paham
kenapa ini jadi minuman favoritnya.
Jujur saja, baru kusadari, untuk
dapat mengenal seseorang, kita selalu bisa memulainya dari makanan dan minuman
favorit. Setidaknya, itu cukup konsisten selama bertahun-tahun. Sebab, apa-apa
yang kita sangka benar, dapat saja jadi prasangka. Contohnya, dia. Yang kukira
seram, toxic, berantakan, bahkan jahat dan bajingan, ternyata mampu
mengejutkanku. Ia sangat kontras, setidaknya bagiku yang lumayan mampu
mengenali seseorang hanya dari satu atau dua pertemuan.
Sambil menunggu mood-ku
terbangun dengan musik darurat kerja, kupandangi sekeliling. Satu pasang
kekasih menarik perhatianku. Aku kenal tatapan itu. Wajah yang tak lagi
bercahaya. Mata yang saling membuang pandang. Hening menusuk kulit. Bahasa
tubuh yang kaku. Tisu di tangan dan gerakan cepat. Kaki yang gelisah. Orang
normal pun tahu, saking sempitnya, sulit sekali untuk berjarak di tempat
ini. Namun mereka rasanya…sungguh jauh.
Aku mengenali atmosfer itu. Yang
paling menyakitkan, sudah tertinggal tahunan lalu. Di tempat serupa. Mungkin, pada
waktu itu, ada juga orang yang menyadarinya. Tubuh yang kaku, mata yang menatap
tajam, meski kini sudah kuterima, rasa muak rupanya bisa pula membuat seseorang
tega berlaku kejam dan membenci sebegitunya. Aku memahami, dalam waktu yang sangat
lama.
Waktu berlalu, telah kubagi
berbagai momen menyenangkan maupun tidak menyenangkan pada J—si pecinta frappuchino
gelas venti dengan whipped cream dan ekstra saus karamel. Ia sungguh manis dan untuk kali
pertama, aku benar-benar merasa aman. Kami sepakat tidak bersama untuk hal-hal
yang tidak ada jalan keluarnya. Namun, aku senang ia bersamaku pada sejumlah
momen pentingku tahun lalu—menyaksikan upayaku ke sana-sini untuk ‘mencicil’ hal-hal
yang lama tertunda. Ia ada saat aku bersemangat untuk mulai lagi hidup dengan
lebih berani.
Meski sedih, kuingat momen
perpisahan awal kami tidak menyakitkan. Semuanya terasa adil dan melegakan. Aku merasa aman pada satu waktu, hingga aku
menyadari, pada akhirnya musuhku memang selincah itu. Ia berani menghinggapi si
pecinta frappuchino, seseorang yang tidak pernah kupercaya
sanggup melakukan hal sedemikian rupa.
***
Yang paling kuhindari kembali terjadi. Satu
bulan setelah perpisahan, J menghubungiku untuk mengajak bertemu: makan makanan favorit kami, ngobrol ringan, pergi ke sana dan sini, bahkan liburan dalam waktu dekat yang pasti. J mengungkap
segala rencana, diselingi kata rindu yang terus-menerus dan entah mengapa aku begitu percaya. Di hari
ketiga, ia rusak semuanya dengan kabar yang muncul tiba-tiba. J mempermainkanku
dan aku tidak peduli apakah itu sebelum atau sesudah kabar itu kuterima.
Segalanya mungkin tidak akan begini, jika J tidak memasukkan perasaan di sana. Hal yang mungkin tidak pernah ia tahu: aku mendukungnya dalam apa pun. Aku juga bisa berbahagia atas kebahagiaan maupun pilihannya. Tapi itulah, manusia selalu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk belajar mahir berkata-kata.
Aku terlalu naif untuk memercayai bahwa yang J katakan itu benar-benar dari hatinya, padahal ia hanya ingin mengupayakan kepentingannya. J sama seperti yang lain: tak peduli cara kotor atau bersih, asal sampai tujuan.
Lucu mengingat semua yang
kukenal, dapat berubah jadi orang asing dalam satu kedipan mata. J kembali jadi prasangka. Ia sama seperti orang-orang yang dulu kuhindari. Segala janji
dan rasa percaya yang dibangun pelan-pelan, tiba-tiba rusak dalam hitungan
detik. J bukan hanya kehilangan integritas yang sebelumnya ia agung-agungkan. Ia serupa ayam lepas yang tidak ingin kehilangan kesempatan keluar kandang dan rela mematuk apa saja, termasuk lidahnya sendiri. Dengan cara yang sama, di mataku J berubah jadi orang asing yang begitu jahat, yang menikam seseorang dengan cara yang sumpah mati, tahunan lalu
hampir membuatnya mati. Lalu aku merasakan atmosfer itu datang lagi.
Kali ini, lebih pekat dan menyesakkan.
Musuhku bergegas lari ke kepala, lalu berjahil-ria menggerogoti. Tanpa basa
basi, ia langsung menuju intinya. Tak
kenal waktu apalagi memberiku ruang siap-siap. Saat aku baru mendapatkan
semangat lagi untuk memulai.
***
Aku memutus semua hubungan dengan J sambil berdoa agar keadilan bisa datang. Aku menepati janjiku untuk ‘tidak bermusuhan’, hanya saja, aku memilih untuk kembali jadi orang asing yang tak kenal (meski kini aku benar-benar tidak mengenalinya) dan peduli bahwa ia ada di bumi ini. Kupikir, ini cara yang paling mendekati impas. Sejujurnya aku marah, karena hampir saja, aku dapat kelegaan dari ‘perpisahan baik-baik’. Kini aku butuh waktu, tenaga, dan ruang lagi untuk memproses dan menerima. Sialnya, semua terjadi tepat saat aku baru mendapatkan semangat lagi untuk memulai.
Aku tidak ingin bertemu J atau
orang seperti J selama sisa hidupku. Walau masih ada bagian diriku ingin
melihatnya, setidaknya untuk terakhir kali, aku tidak mau tahu lagi. Ini bukan
momen biasa, sebab ia tahu, ia sungguh tahu bagaimana cara memadamkan apiku dan
ia melakukannya. Aku bahkan tidak bisa merespons saat menerima kata ‘maaf’.
J tetap jadi bagian dari ceritaku
mulai berdiri, karena ia ada di sana. Aku berterima kasih pada semua kenangan baik.
J pernah kudoakan banyak sekali, karena perasaanku sungguh tulus. Kukira aku sudah menyayanginya dengan cara berbeda. Perasaan yang tak menuntut apa-apa. Perasaan cinta yang ingin bahagia sekalipun
tidak bersama. Perasaan ingin membersamai dalam setiap langkah. Perasaan seorang
sahabat, seorang kakak, seorang pasangan; meski akhirnya aku sadar, tidak semua
orang sanggup dan layak menerima cinta seluas itu. Kelak, setelah euforia itu berakhir, J akan tahu bahwa ia kehilangan segala hal yang bahkan tak perlu ia minta.
Di pengujung Desember, aku buat
satu lagu untuknya. Merangkum semua kesanku padanya, setidaknya sampai perpisahan
pertama kami yang ‘baik-baik’. Hal yang lucu, mengingat kisah dalam lagu ternyata
bisa begitu temporer, padahal ia diciptakan untuk selamanya. Lagu ini untuk J yang kukenal sebelum Desember (jika ia benar-benar ada dan bukan pura-pura semata). Aku tidak mengenal J setelah itu, apalagi J kemarin.
Aku senang karena ini
satu-satunya yang bertema cinta, tetapi melega. Aku baru sempat merekam yang
pertama, sambil sesekali menulis liriknya. Belum matang dan penuh cela, tetapi
itu yang kupunya. Aku kirimkan seapa-adanya, sebab setelahnya kuhapus. Kupikir aku masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya, mengingat betapa baiknya hubungan kami. Akan kuberikan pada waktu yang tepat: ulang tahunnya, momen spesialnya, atau sekadar menunjukkan, akhirnya aku bisa meramunya dengan cara yang lebih baik. Sekarang, tidak ada lagi saat yang
tepat.
Namun, lagu itu sudah jadi miliknya. Kali pertama yang kunilai indah karena berbeda. Dan keindahan, ada kalanya tidak abadi. Aku tak lagi punya arsip apa pun tentang nada, dan kuharap, begitupun dengan memori yang melekat di sana.
Aku menerima apa yang terjadi sebagaimana adanya: bahwa J tidak menghormati hubungan baik kami sebagai sesuatu yang perlu dijaga dalam waktu lama, bahwa aku terluka dengan cara yang paling tidak etis, bahwa aku sama sekali tidak mengenal J, bahwa akhirnya, Tuhan menjauhkanku dari rasa sakit yang mungkin berkepanjangan. Aku tidak menyalahkan diriku sudah memberi seluruh ketulusan dan hal-hal baik yang kupunya. Itu semua cuma-cuma, sebab ternyata aku berkelimpahan. Aku berbahagia, karena setelah sekian lama, ternyata aku masih mampu. Namun, manusia, selalu berubah dan itu satu-satunya yang tidak pernah bisa kuprediksi dan kendalikan. Begitupun hidup, ia begitu indah, sebab tak tertebak dan sementara. Sedih-senang, jahat-baik, hidup-mati. Aku percaya sehabis ini akan ada cahaya dan setiap orang, termasuk J, berhak bahagia atas hidupnya.
Namun, bahagia bukan berarti rekonsiliasi. Aku menyayangi diriku sendiri dan karena itu aku membuka diri pada seluruh kebaikan yang ingin datang. Pada orang-orang yang ingin bersama-sama tumbuh lebih baik. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta sebenar-benarnya, tidak akan pernah menghargai betapa dasyatnya kebaikan-kebaikan yang bisa lahir dari sana. Dan J, adalah satu dari beberapa orang yang tidak akan pernah kuberikan akses lagi untuk menyia-nyiakan apa pun yang kupunya.
Karena aku punya bongkahan besar
cinta dan rasa sedahsyat itu. Tidak akan kuberikan pada orang yang begitu
saja membuangnya.
***
Pengujung
Desember
Pengujung Desember
Deras air turun, menghidupkan
Kerontang
panjang, kau harap temukan arus pulang.
Penghujan
Desember
Lampu kota
bias, kandas.
Tak terhitung
lagi, kau menepi, lelah, pasrah sudah.
Kelak hilang
semua luka,
Ingat hatimu
cahaya.
Di dalam
terangnya, kita boleh untuk berbahagia.
Walau akan
habis masa,
Tapi
sinar akan memandu arah
Benderang
di petamu, doaku bersamamu.
Menyala
di dadamu, seluruhku mengantarmu.
*Ya, dini hari ini, aku
mengantarmu pada jalan yang mulus tanpa kerikil, untuk menemukan apa yang kamu
cari. Dengan sebongkah lilin yang kamu habiskan sia-sia, hingga aku jadi asap yang menghilang pelan-pelan dari bingkai mata.