Apa yang paling buruk dari terus-terusan
terobsesi mengalahkan rasa takut?
Saat kau melangkah
jauh; hanya untuk pergi ke tempat yang belum pernah kau singgahi; menjejak di
jalan-jalan yang belum pernah kau lewati; tertidur-bernapas-bergerak-berlari-di
sisi-sisi yang belum pernah kau kenali—dan tujuanmu cuma satu: jadi berani.
Aku sungguh paham
maksudmu. Toh, kita manusia—memang selalu ingin melampaui batas-batas imajiner.
Garis-garis yang mengikat, mengekang—sementara dirimu adalah manusia yang ingin
bebas, lepas, meloncat, terbang, jika perlu menghilang (meski kerap, bisa saja
kau dengan kurang ajarnya, kembali).
Tetapi ingatlah.
Sebab ada kalanya kita tersesat dalam ruang, waktu, pikiran, dan berkali-kali
perasaan yang tak pernah sungguh kita pahami. Kita menapak, memutar, berbelok,
berjalan, (hingga berputus asa) menelusur labirin—tanpa benar-benar tahu ke
mana alur akan membawa. Akankah ke jalan yang baru; ke tempat baru; ke
tantangan baru; atau justru kembali ke jalan yang lagi-lagi sama?
Tersesatkah kita? Jadi beranikah kita? Atau justru euforia akan ketakutan-ketakutan yang telah selesai, hanya akan membawa kita pada ketakutan-ketakutan baru yang tak pernah ada ujungnya?
Kita, kan memang sedang
berjudi. Lagi-lagi kau
berkata. Siapa yang pernah benar-benar tahu arah dari jemari semesta yang kerap
jahil dan suka bercanda ini?
Kau kabur. Balasku
lagi. Apakah kau sungguh-sungguh ingin jadi berani? Atau memang, adakah sesuatu
di luar sana—yang sumpah mati tak seekor monyet pun tahu—yang ingin kau
hindari? Yang (selalu) ingin kau hindari?
Aku tak peduli
habis ini apa lagi. Tapi jangan berlari. Jangan kau kabur. Janganlah hilang,
sekalipun peradaban membuatmu sesak, mual, dan ingin muntah. Jangan.
Ada kalanya yang
kau butuh hanya diam di sini. Mengenali tiap senti labirin yang kau lewati,
mengenali tanda, mengenali udara, mengenali bentuk dan rupa, lalu carilah pola.
Jalan baru tak selalu berarti pintu baru; yang bisa begitu saja kau buka, kau
masuki, lalu kau tutup—hingga apa yang kau takuti menghilang dari bingkai mata.
Sebab mereka tetap
akan ada di sana. Sementara kau akan terus berlari, mencari pintu lain, tertawa
puas sebab kau jadi berani, lalu mencari lagi ketakutan-ketakutan lain—tanpa
kau sadar bahwa beranimu ternyata cuma ilusi.
Kita tidak pernah sungguh-sungguh tahu apa yang kita takuti; apa yang membuat kita jadi berani;
sekalipun kau dan aku telah bersama-sama mendaki gunung tertinggi; mengarungi
laut, samudera, menapaki tiap jengkal bumi yang luas sekaligus sempit; atau
mengasingkan diri di kedalaman hutan.
Maka sebelum kau
mencari cara untuk pergi jauh; jauh sekali—entah untuk sementara atau justru
selamanya, carilah alasan. Bahwa tak ada lagi hal yang bisa membuatmu takut
ataupun ngeri, sekalipun kau memilih pergi atau justru bertahan.
Dengan begitu kau akan tetap jadi orang bebas. Sebab batasan—hanya ada di dalam kepalamu. Tak ada yang benar-benar menahanmu, termasuk ketakutan.
*Foto dan Gambar:
1. https://www.bloglovin.com/blogs/nauticalwheeler-3170182/wanderlust-argentina-3953814389
2. http://pixsearching.com/pictures/tumblr-ocean-photography/