Meneguk Nikmatnya Akulturasi dalam Secangkir Kopi
31.10.15Farchan Noor Rachman/ Minumkopi.com Sluuurrpp. Satu sesap kopi mampir di rongga mulut dan bekasnya tertinggal di ujung bibir. Dahi teman saya berkerut. Aneh, katanya. Sebab saat diseruput, tak ada rasa pahit yang dominan. Penasaran, saya mengambil cangkir di hadapan, membaui aroma, lalu dengan ragu, menyeruputnya sedikit. Mata saya berbinar. Ada kombinasi asam, legit, bahkan rasa seperti “arang” yang memanja lapis lidah. “Enak juga.”
“Eh, cara minumnya bukan begitu, Mbak,” seorang ibu pemilik warung kopi datang
menghampiri sambil mengantarkan satu botol cairan putih kental ke meja kami.
Saya yang
penasaran—sebab setahu saya cara minum kopi selalu saja sama—lalu meminta penjelasannya.
“Nah, caranya seperti ini, lho,” katanya dalam logat Jawa. Sejurus kemudian
tangannya cekatan mampir ke gagang cangkir kecil saya, mengangkatnya dari
piring yang sedari tadi menjadi alas, lalu menuang cairan hitam kental di atas
piring keramik berwarna putih-gading. “Nah,
kalau masih panas, tinggal diseruput sedikit-sedikit. Kalau langsung ‘diglek’
ampasnya malah terminum.”
“Oh iya!” sahut kami hampir bebarengan, lalu setengah
tertawa menyadari ibu tersebut benar juga. Saya memandang sekeliling. Warung
kopi ini tak terlalu luas. Tiga meja berukuran lumayan besar ditata di luar
warung. Sementara di dalam, meja dan kursi diletakkan mengelilingi si pembuat
kopi. Dari luar, warung ini memang tak terlihat ramai. Empat motor terparkir
rapi di halaman, sementara sekitar 6-8 orang berkumpul di dalam. Barangkali,
karena ini masih pukul tujuh lebih sekian.
Lasem, sebuah kota
kecamatan kecil di sebelah utara Jawa, rasanya memang tak bisa terpisah dari
kopi. Meski jejak sejarah tak mencatat adanya perkebunan atau pembudidayaan
kebun kopi—kita bisa menjumpai banyak warung kopi; besar maupun kecil, yang
tetap ramai baik siang hari maupun malam hari. Saking populernya, di setiap
desa, pasti ada lebih dari satu warung kopi.
Saya mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Di warung kopi, pengunjung biasanya mengobrol atau
sekadar leyeh-leyeh sehabis bekerja.
Obrolannya beragam, mulai dari
pertandingan olahraga, politik, ekonomi, pekerjaan, hingga terkadang urusan
rumah. Dua orang remaja di seberang meja saya, misalnya. Sayup-sayup saya
mendengar, baru saja mereka curhat soal
kehidupan asmara!
Rasanya semua cerita pernah tertuang tanpa
sengaja di warung kopi: terbungkus lapis tipis asap ketel yang berbunyi bising
saat mendidih, mengepul, lalu hilang begitu saja..
Seni Melukis dan Jejak Akulturasi
Saya lupa
menyebutkan, bahwa saat itu kami sedang ada di warung kopi lelet, jenis kopi
khas yang bisa kita temui di Lasem. Dinamakan “lelet” karena sembari ngopi pengunjung biasanya nglelet: yakni melukis atau membatik dengan gerakan menorehkan motif di
media lukis atau dalam bahasa Jawa “dileletke”.
Tetapi tak seperti kegiatan melukis atau membatik pada umumnya, media lukis
yang digunakan adalah rokok, sementara tintanya menggunakan ampas (sering kali
disebut lethekan) sisa kopi. Tentu
saja, agar merekat, ampas itu harus terlebih dulu dicampur susu kental manis.
Saya jadi teringat, rupanya botol yang dibawa oleh ibu pemilik kedai tersebut
berisi susu kental manis yang fungsinya sebagai “perekat”, bukan sebagai
“pemanis” tambahan, seperti yang saya kira.
Dari mana asalnya tradisi nglelet ini memang belum diketahui
secara pasti. Ada yang mengaitkannya dengan tradisi membatik masyarakat Lasem
yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, ada pula yang mengaitkannya
dengan kebiasaan warga Lasem yang pergi ke warung kopi untuk sekadar mengisi
waktu luang atau mengobrol melepas penat. Sembari mengobrol, muncul ide untuk
melukiskan pola-pola di sebatang rokok sebagai kanvasnya.
Meski sebetulnya tahu proses nglelet ini lewat beberapa artikel
maupun cerita perjalanan dari situs internet, saya penasaran untuk menyaksikan
prosesnya langsung. Sedikit canggung memang, sebab saya yang bukan perokok ini
langsung diarahkan ibu pemilik warung untuk duduk dan menyaksikan sekelompok
bapak yang mengobrol ringan sembari nglelet.
Satu helai tisu diletakkan
dengan hati-hati di atas sisa ampas yang ada di piring alas cangkir. Gunanya,
untuk menyerap air yang tersisa, agar ampas tetaplah bertekstur kental dan
pekat. Tak lama, satu botol plastik kemasan saus—yang sebetulnya berisi susu
kental manis—dituangkan tetes demi tetes di atasnya. Dengan menggunakan sendok
kecil, adonan diaduk pelan-pelan, hingga tercampur rata dan teksturnya dirasa
cukup.
Untuk melukis atau menggambar
pola, pengunjung biasanya menggunakan tusuk gigi, atau korek api yang
ditajamkan ujungnya sebagai kuas. Meski mayoritas pola yang dilukiskan adalah
motif batik, terkadang, pengunjung juga menggambar pola lain. Di tengah panas
kopi pun juga kepulan asap ketel dan rokok yang memenuhi udara, tak bisa
diingkari kegiatan minum kopi di kota Lasem menjadi sebuah budaya khas yang tak
bisa ditemui di tempat yang lain. Ia punya peranan penting, dalam
mempertahankan keutuhan warga Lasem yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun
lalu. Tak peduli suku, agama, maupun ras, di warung kopi—etnis Jawa maupun
Tionghoa yang sudah lama hidup berdampingan dengan harmonis berinteraksi dan
berbagi cerita.
Penasaran, saya bertanya,
adakah perbedaan antara rokok sebelum dan setelah dilelet. Apakah jadi beraroma
kopi atau justru terasa seperti kopi?
“Ya,
rokoknya jadi lebih nikmat dihisap. Ada rasa dan aroma kopinya,” kata seorang bapak sambil menyalakan satu
batang rokok hasil nglelet yang sudah
kering. Memang agak sulit, tambahnya
lagi. Sebab ampas kopi yang menempel mengakibatkan rokok jadi berat saat
dihisap dan susah dibakar. “Mbaknya mau
coba, tho?” katanya bercanda.
Kami tertawa. Tanpa disadari,
pembicaraan jadi berlanjut tentang asal-usul kami, tujuan kami datang ke sini,
dan segala pembicaraan lain. Status kami yang semula hanya “orang asing” pun
mencair. Menguap jadi satu bersama kepulan asap rokok yang membumbung tinggi,
lalu hilang di udara.
Antara Kopi, Rokok, dan Lelaki
“Nyobain kopi lelet, yuk!”
Tiba-tiba dua
teman saya, yang merupakan warga asli Lasem saling berpandangan. Kikuk, tapi
mengiyakan. Saya yang menangkap keanehan itu dari ekor mata tergoda untuk
bertanya. “Lho, kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa. Yuk!” sahut mereka berdua, sambil mengambil kunci
motor dan menyalakan mesinnya.
Dibonceng salah
satu teman, saya melintasi jalan yang penuh dengan truk-truk pengangkut besar,
khas jalanan Pantura. Maklumlah, jalan utama di kota Lasem memang masih sejalur
dengan Groote Postweg—salah satu rute
jalan besar yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Dari sejarah kita
tahu, pembangunannya digagas oleh Gubernur Jenderal Willem Daendels, dengan
sistem paksa atau kerja rodi.
Di kanan kiri
saya, lampu-lampu kuning kendaraan berpendar. Bangunan tua berjejer bisu.
Sebagian masih dihuni, namun sebagian lagi tidak—sering kali jadi pangkalan warung tenda penjual makanan,
atau justru warung kopi. Dari dalamnya, neon bercahaya putih-kuning memancar,
terang sekali.
Setelah mampir
terlebih dulu ke toko batik, akhirnya kami sampai di salah satu warung. “John
Kopi Lasem”, namanya. Seperti yang sudah kita tahu, di Lasem, jumlah warung
kopi sendiri bisa puluhan jumlahnya. Ada beberapa warung kopi yang terkenal,
namun teman saya mengatakan: tempat ini salah satunya.
Seluruh
pengunjungnya adalah laki-laki. Tak ada perempuan, kecuali istri pemilik
warung. Secangkir kopi disajikan—harus melalui proses terlebih dahulu, yang
berbeda dari biasanya. Kopi dan gula dituang dalam panci, lalu ditambahkan air
panas. Itu pun belum siap diminum. Campuran ini harus kembali dimasak hingga
benar-benar mendidih. Agar semakin nikmat dan beraroma sedap, beberapa warung
kopi bahkan menjerang campuran ini dengan kayu bakar.
Sama seperti kopi
lainnya, kopi Lasem berjenis Arabica. Namun, proses pembuatannya lebih rumit.
Saya baru tahu, biji kopi yang dibeli (umumnya di pasar) harus disangrai
terlebih dulu sebelum akhirnya digiling. Proses penggilingan tak cuma satu
kali. Melainkan bisa enam hingga delapan kali. Tak heran, tekstur akhir bubuk
kopi terasa lembut dan halus, sehingga adonan ampas saat nglelet pun sempurna. Sayangnya, hal itu bukanlah tanpa risiko.
Semakin banyak proses penggilingan dilakukan, semakin banyak risiko massa kopi
susut atau terbuang.
Satu cangkir kecil
kopi lelet dihargai Rp2.000 saja. Biasanya, pengunjung bisa meminum 1 hingga 2
gelas—bahkan lebih dalam satu hari. Tak heran. Apalagi begitu tahu, betapa
mengasyikkannya nongkrong, menikmati
kopi, dan mengobrol sembari nglelet.
Karena rokok, dan
kopi saling berkaitan erat. Maka, bisa disimpulkan mayoritas penggemar kopi
lelet adalah perokok. Saya pun bertanya-tanya, inikah alasan kedua teman saya
terlihat agak kaget dan canggung ketika diajak untuk menikmati kopi lelet?
Maka dalam
perjalanan pulang, saya bertanya lagi. Menurut mereka, di sana, tabu hukumnya
jika perempuan betah nongkrong lama-lama
di warung kopi (apalagi bila sambil nglelet).
“Oalah,” sahut saya yang pada
akhirnya paham mendengar penjelasan tersebut.
***
Sebelum
benar-benar beranjak pergi, kami memutuskan untuk membeli beberapa bungkus
bubuk kopi “mentah” sebagai oleh-oleh. Harganya Rp20.ooo. Bubuk kopi tadi
dikemas ke dalam plastik bening berukuran seperempat kilo, tanpa label.
Wanginya cukup menusuk, perpaduan asam dan sedikit bau arang yang pekat.
Beberapa hari
setelah sampai di rumah, saya memutuskan untuk mencicipinya lagi. Beberapa
sendok bubuk kopi lelet saya seduh bersama gula secukupnya. Aneh, rasanya tak
sama, sekalipun ritual “menuang kopi di piring alas cangkir” tetap saya
lakukan. Barangkali karena prosesnya salah. Atau barangkali, karena kopi Lasem
memang seharusnya dinikmati di tempat asalnya; sembari mengobrol dan nglelet? Mungkinkah ini salah satu tanda agar saya kembali lagi ke sana?
Ah, entahlah.
*Tulisan pertama kali dipublikasikan di Phinemo
|
0 komentar