Tidak ada yang
sungguh-sungguh paham, kenapa di setiap perjalanan—apalagi ke tempat yang jauh
dari hiruk-pikuk kota dan benderang cahaya—dorongan saya berani-beranian ke luar tiap malam adalah: melihat bintang. Memandang
ribuan, atau mungkin jutaan kerlip di luar sana, membentuk gerombol pola; rasi
bintang, yang sumpah mati meskipun ingin, nggak
pernah bisa saya hafal. Menyaksikan semburat pita kabut/ Milky Way—yang bernama lain galaksi Bima
Sakti. Melihat dengan mata telanjang pesona langit penuh sinar serupa kubah
mahabesar di atas kita yang mendadak jadi sangat kecil. Membuat segalanya
terasa sungguh dekat dari bingkai mata, padahal sebetulnya berjarak tahun
cahaya.
Tapi itu semua akan terjadi,
kalau saya lagi mujur. Kalau enggak, ya
paling cuma satu-dua-hitungan jari bintang yang mejeng di depan mata. Sisanya, ketutup awan, ketutup mendung,
ketutup mata yang nggak bisa melihat
gajah di pelupuk mata, padahal semut di ujung pulau kelihatan....
*abaikan*
Beberapa teman pernah
bertanya alasannya. Tetapi sampai sekarang, saya belum pernah bertemu orang
yang benar-benar bisa dipercaya, dan tentu saja, percaya alasan saya—tanpa
bilang kalau saya: terlalu melankolis.
Hahaha, iya, memang kok, alasannya
sedikit sentimentil, melankolis, menye-menye.
Plus tambahan kata: “Kan nggak semua
yang di langit itu bintang. Kan, nggak semua
yang bersinar itu bintang. Ada, kok bintang
mati, bintang yang nggak bersinar...”
Ahelah,
Pak, sekali-kali ngelihat sesuatu pakai rasa dong, jangan pakai logika melulu..
Rasa
apa?
Rasa
yang pernah ada di antara kita..
......
*abaikan*
Sementara saya sadar kalau
“mata” saya jelek dan nggak bakat
mengabadikan momentum lewat jepretan kamera, maka satu-satunya pilihan yang
saya punya adalah: mengabadikan lewat ingatan. Menangkap momentum lekat-lekat,
menyimpannya dalam satu ruang memori, lalu menuangkannya dalam tulisan; dalam
ungkapan; dalam syukur yang saya rasa tidak akan pernah cukup untuk didaraskan.
Memandang bintang yang terasa
begitu dekat mengingatkan saya sejenak pada wajah-wajah penuh sinar yang pernah
saya temui, entah dalam wujud obrolan ringan bersama teman, hingga obrolan
penuh semangat bersama para narasumber. Mereka yang dengan binar-binar cahaya
di mata menceritakan mimpi-mimpi yang sedang, maupun sudah mereka wujudkan,
mereka yang berkisah tentang jalan yang tak selalu mudah—tapi tak kehilangan
semangat untuk berusaha, mereka yang selalu tahu: satu-satunya pilihan yang
mereka punya adalah terus berlari, berjalan, merangkak, apa saja, asalkan tidak
berhenti dan diam di tempat.
Mereka tidak menyerah pada
realita. Pada kata orang yang menganggap segala hal—terutama berkaitan dengan
uang—sebagai pilihan realistis yang mau tak mau harus diambil. Mereka tak mau
mengalah pada mimpi. Betapapun tidak rasionalnya itu, hingga pada akhirnya,
mereka menemukan orbitnya, rumahnya sendiri, di mana mereka bisa bersinar, dan
terus bersinar—tanpa peduli kata orang.
Melihat bintang sendiri
seperti memberi saya suntikan semangat, energi, tenaga, karena saya tahu:
setiap hal di dunia ini selalu punya tempat, punya orbit, punya rumah. Ia tidak
mengambang-ngambang di atas sana tanpa tujuan yang jelas. Ia punya misi—sadar
maupun tidak—di mana ia bisa jadi dirinya sendiri, melakukan sesuatu dengan antusias,
dan semangat yang menyala-nyala hingga pada akhirnya sadar: tidak pernah ada
yang sia-sia, segalanya tetap baik-baik saja, dan ia bahagia.
Dan
sesederhana pilihan itu: saya hanya ingin terus hidup dengan keyakinan, dengan
perasaan bahagia yang sama. Keyakinan bahwa suatu saat, pasti ada rumah—ada tempat,
yang tersedia di luar sana,
sehingga mau—tidak mau, bisa—tidak bisa,
saya tidak boleh berhenti mencari.
Saya tahu, pilihan itu sering
kali ditemani pecutan-pecutan kecil setiap hari. Pecutan yang tiap kali mengingatkan,
menagih hasil. Tetapi, saya ingat: di samping tagihan hasil dan pertanyaan “sudah
sampai mana” yang sering kali hanya untuk menjatuhkan pilihan yang kita ambil, selalu
ada doa-doa yang terucap tiap malam, dukungan sepenuh tenaga yang tak mengenal
batas. Masih ada orang-orang yang sama tidak menyerahnya, seperti kita dan yang
paling penting: masih ada keyakinan, bahwa dengan usaha keras dan niat baik,
segalanya pasti akan berjalan baik-baik saja. Mereka yang menginginkan gunung
langsung berdiri di hadapan tentu tidak tahu betapa nikmatnya mengumpulkan
batu-batu kecil dengan tangan sendiri hingga akhirnya kelak menjelma bukit.
Tetapi
saya tahu. Meski tidak mudah, saya tahu itu akan selalu jadi hal yang
menyenangkan.
Jadi di sinilah saya. Tentu
saja tak pernah berdiam diri, dan selalu percaya: sekalipun saya kecil, mirip
debu di lingkaran semesta yang mahaluas ini, saya punya porsi, saya punya
peranan, saya punya rumah. Tidak pernah ada alasan untuk tidak melakukan
apa-apa.
“When
I reflect on that fact, I look up. Many people feel small because they’re small
and the Universe is big. But I feel big, because my atoms came from those stars.”
Ps:
1. Tulisan
ini subjektif dan tidak menerima kritik-kritik logis, seperti: tapi bintang kan
ada yang macem-macem, blablabla—yang tentu saja kadang masuk-kadang enggak di otak penulis. Di sini penulis
cuma pakai satu bahasa: bahasa perasaan. Ehciyee! Karena......emang belum
ngerti yang logis-logis muahahaha! Oh iya satu saran buat yang baca tapi masih
pengen debat ini-itu: sekali-kali pak perasaan dong, biar bisa memandang hidup
yang lucu ini dengan indah!
2. Tulisan
ini banyak banget distraksi a ka curcol. Mohon maaf, karena pikiran emang dari
sananya nggak fokus. Trust me, I’m trying
my best to still focus, but I can’t :p
3. Selamat
menikmati. Bawa perasaan boleh sedikit-sedikit. Gagal boleh nangis, sebentar. Tapi
harus lebih banyak usaha dan berdoa. Selamat sadar kalau kamu itu bintang
(ingat: kata planet, bintang mati, asteroid, satelit, komet, dll tidak ada
dalam tulisan ini, pokoknya kamu bintang!). Selamat berusaha menemukan orbit dan
bersinar!
Salam,
Dari penulis serba penasaran
yang cuma ingin jadi dirinya sendiri dan melakukan hal-hal yang ia cinta dengan
sepenuh hati.