http://www.viewbug.com/album/8541/photo/519443 |
Hujannya
orang meninggal, Nak.” Ibu menggumam pelan. Cucian yang baru saja
dijemur pukul sepuluh, tak serta merta ia angkat dan selamatkan. “Nanti juga
berhenti, hujan cuma bertugas mengingatkan.”
Hujan yang mengingatkan. Pada
kenyataannya,
aku lebih suka bila hujan hari ini tak usah berhenti saja. Lihatlah,
kemarau ini terlampau panjang. Agustus yang panas. Kering, kerontang. Seperti
halnya dengan suka, apakah duka pun perlu diingatkan? Agar apa? Ibu bilang,
agar manusia tak punya waktu berlebih untuk bahagia, sekaligus
nelangsa. Tapi mengapa? Suatu hari pernah kutanyakan hal itu, namun ia menahan
mulutku sambil berkata: tak boleh kita manusia mempertanyakan tuhan.
Maka aku menelan semua pertanyaan itu bulat-bulat.
Tak lagi kucerna, karena konon katanya mencerna pertanyaan hanya akan
mengantarkanmu pada pertanyaan berikutnya. Sebab bila kau tak puas akan satu,
maka jadilah dua. Tak puas lagi, jadilah tiga, hingga berlipat kali
banyaknya.
Tapi bukankah memang benar, sebab pepatah pun berkata: sudah pada dasarnya
manusia takkan pernah puas?
Sungguh,
bila kata “mengapa” adalah mantera, maka percayalah, aku sudah
merapalnya ribuan kali. Mendaraskannya berulang-ulang untuk
segala pertanyaan yang tak pernah bisa kutahu jawabannya. Tapi apakah itu
jawaban,
apakah itu pertanyaan?