Farchan Noor Rachman/ Minumkopi.com Sluuurrpp. Satu sesap kopi mampir di rongga mulut dan bekasnya tertinggal di ujung bibir. Dahi teman saya berkerut. Aneh, katanya. Sebab saat diseruput, tak ada rasa pahit yang dominan. Penasaran, saya mengambil cangkir di hadapan, membaui aroma, lalu dengan ragu, menyeruputnya sedikit. Mata saya berbinar. Ada kombinasi asam, legit, bahkan rasa seperti “arang” yang memanja lapis lidah. “Enak juga.”
“Eh, cara minumnya bukan begitu, Mbak,” seorang ibu pemilik warung kopi datang
menghampiri sambil mengantarkan satu botol cairan putih kental ke meja kami.
Saya yang
penasaran—sebab setahu saya cara minum kopi selalu saja sama—lalu meminta penjelasannya.
“Nah, caranya seperti ini, lho,” katanya dalam logat Jawa. Sejurus kemudian
tangannya cekatan mampir ke gagang cangkir kecil saya, mengangkatnya dari
piring yang sedari tadi menjadi alas, lalu menuang cairan hitam kental di atas
piring keramik berwarna putih-gading. “Nah,
kalau masih panas, tinggal diseruput sedikit-sedikit. Kalau langsung ‘diglek’
ampasnya malah terminum.”
“Oh iya!” sahut kami hampir bebarengan, lalu setengah
tertawa menyadari ibu tersebut benar juga. Saya memandang sekeliling. Warung
kopi ini tak terlalu luas. Tiga meja berukuran lumayan besar ditata di luar
warung. Sementara di dalam, meja dan kursi diletakkan mengelilingi si pembuat
kopi. Dari luar, warung ini memang tak terlihat ramai. Empat motor terparkir
rapi di halaman, sementara sekitar 6-8 orang berkumpul di dalam. Barangkali,
karena ini masih pukul tujuh lebih sekian.
Lasem, sebuah kota
kecamatan kecil di sebelah utara Jawa, rasanya memang tak bisa terpisah dari
kopi. Meski jejak sejarah tak mencatat adanya perkebunan atau pembudidayaan
kebun kopi—kita bisa menjumpai banyak warung kopi; besar maupun kecil, yang
tetap ramai baik siang hari maupun malam hari. Saking populernya, di setiap
desa, pasti ada lebih dari satu warung kopi.
Saya mengedarkan
pandangan ke sekeliling. Di warung kopi, pengunjung biasanya mengobrol atau
sekadar leyeh-leyeh sehabis bekerja.
Obrolannya beragam, mulai dari
pertandingan olahraga, politik, ekonomi, pekerjaan, hingga terkadang urusan
rumah. Dua orang remaja di seberang meja saya, misalnya. Sayup-sayup saya
mendengar, baru saja mereka curhat soal
kehidupan asmara!
Rasanya semua cerita pernah tertuang tanpa
sengaja di warung kopi: terbungkus lapis tipis asap ketel yang berbunyi bising
saat mendidih, mengepul, lalu hilang begitu saja..
Seni Melukis dan Jejak Akulturasi
Saya lupa
menyebutkan, bahwa saat itu kami sedang ada di warung kopi lelet, jenis kopi
khas yang bisa kita temui di Lasem. Dinamakan “lelet” karena sembari ngopi pengunjung biasanya nglelet: yakni melukis atau membatik dengan gerakan menorehkan motif di
media lukis atau dalam bahasa Jawa “dileletke”.
Tetapi tak seperti kegiatan melukis atau membatik pada umumnya, media lukis
yang digunakan adalah rokok, sementara tintanya menggunakan ampas (sering kali
disebut lethekan) sisa kopi. Tentu
saja, agar merekat, ampas itu harus terlebih dulu dicampur susu kental manis.
Saya jadi teringat, rupanya botol yang dibawa oleh ibu pemilik kedai tersebut
berisi susu kental manis yang fungsinya sebagai “perekat”, bukan sebagai
“pemanis” tambahan, seperti yang saya kira.
Dari mana asalnya tradisi nglelet ini memang belum diketahui
secara pasti. Ada yang mengaitkannya dengan tradisi membatik masyarakat Lasem
yang sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, ada pula yang mengaitkannya
dengan kebiasaan warga Lasem yang pergi ke warung kopi untuk sekadar mengisi
waktu luang atau mengobrol melepas penat. Sembari mengobrol, muncul ide untuk
melukiskan pola-pola di sebatang rokok sebagai kanvasnya.
Meski sebetulnya tahu proses nglelet ini lewat beberapa artikel
maupun cerita perjalanan dari situs internet, saya penasaran untuk menyaksikan
prosesnya langsung. Sedikit canggung memang, sebab saya yang bukan perokok ini
langsung diarahkan ibu pemilik warung untuk duduk dan menyaksikan sekelompok
bapak yang mengobrol ringan sembari nglelet.
Satu helai tisu diletakkan
dengan hati-hati di atas sisa ampas yang ada di piring alas cangkir. Gunanya,
untuk menyerap air yang tersisa, agar ampas tetaplah bertekstur kental dan
pekat. Tak lama, satu botol plastik kemasan saus—yang sebetulnya berisi susu
kental manis—dituangkan tetes demi tetes di atasnya. Dengan menggunakan sendok
kecil, adonan diaduk pelan-pelan, hingga tercampur rata dan teksturnya dirasa
cukup.
Untuk melukis atau menggambar
pola, pengunjung biasanya menggunakan tusuk gigi, atau korek api yang
ditajamkan ujungnya sebagai kuas. Meski mayoritas pola yang dilukiskan adalah
motif batik, terkadang, pengunjung juga menggambar pola lain. Di tengah panas
kopi pun juga kepulan asap ketel dan rokok yang memenuhi udara, tak bisa
diingkari kegiatan minum kopi di kota Lasem menjadi sebuah budaya khas yang tak
bisa ditemui di tempat yang lain. Ia punya peranan penting, dalam
mempertahankan keutuhan warga Lasem yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun
lalu. Tak peduli suku, agama, maupun ras, di warung kopi—etnis Jawa maupun
Tionghoa yang sudah lama hidup berdampingan dengan harmonis berinteraksi dan
berbagi cerita.
Penasaran, saya bertanya,
adakah perbedaan antara rokok sebelum dan setelah dilelet. Apakah jadi beraroma
kopi atau justru terasa seperti kopi?
“Ya,
rokoknya jadi lebih nikmat dihisap. Ada rasa dan aroma kopinya,” kata seorang bapak sambil menyalakan satu
batang rokok hasil nglelet yang sudah
kering. Memang agak sulit, tambahnya
lagi. Sebab ampas kopi yang menempel mengakibatkan rokok jadi berat saat
dihisap dan susah dibakar. “Mbaknya mau
coba, tho?” katanya bercanda.
Kami tertawa. Tanpa disadari,
pembicaraan jadi berlanjut tentang asal-usul kami, tujuan kami datang ke sini,
dan segala pembicaraan lain. Status kami yang semula hanya “orang asing” pun
mencair. Menguap jadi satu bersama kepulan asap rokok yang membumbung tinggi,
lalu hilang di udara.
Antara Kopi, Rokok, dan Lelaki
“Nyobain kopi lelet, yuk!”
Tiba-tiba dua
teman saya, yang merupakan warga asli Lasem saling berpandangan. Kikuk, tapi
mengiyakan. Saya yang menangkap keanehan itu dari ekor mata tergoda untuk
bertanya. “Lho, kenapa memangnya?”
“Nggak apa-apa. Yuk!” sahut mereka berdua, sambil mengambil kunci
motor dan menyalakan mesinnya.
Dibonceng salah
satu teman, saya melintasi jalan yang penuh dengan truk-truk pengangkut besar,
khas jalanan Pantura. Maklumlah, jalan utama di kota Lasem memang masih sejalur
dengan Groote Postweg—salah satu rute
jalan besar yang membentang dari Anyer hingga Panarukan. Dari sejarah kita
tahu, pembangunannya digagas oleh Gubernur Jenderal Willem Daendels, dengan
sistem paksa atau kerja rodi.
Di kanan kiri
saya, lampu-lampu kuning kendaraan berpendar. Bangunan tua berjejer bisu.
Sebagian masih dihuni, namun sebagian lagi tidak—sering kali jadi pangkalan warung tenda penjual makanan,
atau justru warung kopi. Dari dalamnya, neon bercahaya putih-kuning memancar,
terang sekali.
Setelah mampir
terlebih dulu ke toko batik, akhirnya kami sampai di salah satu warung. “John
Kopi Lasem”, namanya. Seperti yang sudah kita tahu, di Lasem, jumlah warung
kopi sendiri bisa puluhan jumlahnya. Ada beberapa warung kopi yang terkenal,
namun teman saya mengatakan: tempat ini salah satunya.
Seluruh
pengunjungnya adalah laki-laki. Tak ada perempuan, kecuali istri pemilik
warung. Secangkir kopi disajikan—harus melalui proses terlebih dahulu, yang
berbeda dari biasanya. Kopi dan gula dituang dalam panci, lalu ditambahkan air
panas. Itu pun belum siap diminum. Campuran ini harus kembali dimasak hingga
benar-benar mendidih. Agar semakin nikmat dan beraroma sedap, beberapa warung
kopi bahkan menjerang campuran ini dengan kayu bakar.
Sama seperti kopi
lainnya, kopi Lasem berjenis Arabica. Namun, proses pembuatannya lebih rumit.
Saya baru tahu, biji kopi yang dibeli (umumnya di pasar) harus disangrai
terlebih dulu sebelum akhirnya digiling. Proses penggilingan tak cuma satu
kali. Melainkan bisa enam hingga delapan kali. Tak heran, tekstur akhir bubuk
kopi terasa lembut dan halus, sehingga adonan ampas saat nglelet pun sempurna. Sayangnya, hal itu bukanlah tanpa risiko.
Semakin banyak proses penggilingan dilakukan, semakin banyak risiko massa kopi
susut atau terbuang.
Satu cangkir kecil
kopi lelet dihargai Rp2.000 saja. Biasanya, pengunjung bisa meminum 1 hingga 2
gelas—bahkan lebih dalam satu hari. Tak heran. Apalagi begitu tahu, betapa
mengasyikkannya nongkrong, menikmati
kopi, dan mengobrol sembari nglelet.
Karena rokok, dan
kopi saling berkaitan erat. Maka, bisa disimpulkan mayoritas penggemar kopi
lelet adalah perokok. Saya pun bertanya-tanya, inikah alasan kedua teman saya
terlihat agak kaget dan canggung ketika diajak untuk menikmati kopi lelet?
Maka dalam
perjalanan pulang, saya bertanya lagi. Menurut mereka, di sana, tabu hukumnya
jika perempuan betah nongkrong lama-lama
di warung kopi (apalagi bila sambil nglelet).
“Oalah,” sahut saya yang pada
akhirnya paham mendengar penjelasan tersebut.
***
Sebelum
benar-benar beranjak pergi, kami memutuskan untuk membeli beberapa bungkus
bubuk kopi “mentah” sebagai oleh-oleh. Harganya Rp20.ooo. Bubuk kopi tadi
dikemas ke dalam plastik bening berukuran seperempat kilo, tanpa label.
Wanginya cukup menusuk, perpaduan asam dan sedikit bau arang yang pekat.
Beberapa hari
setelah sampai di rumah, saya memutuskan untuk mencicipinya lagi. Beberapa
sendok bubuk kopi lelet saya seduh bersama gula secukupnya. Aneh, rasanya tak
sama, sekalipun ritual “menuang kopi di piring alas cangkir” tetap saya
lakukan. Barangkali karena prosesnya salah. Atau barangkali, karena kopi Lasem
memang seharusnya dinikmati di tempat asalnya; sembari mengobrol dan nglelet? Mungkinkah ini salah satu tanda agar saya kembali lagi ke sana?
Ah, entahlah.
*Tulisan pertama kali dipublikasikan di Phinemo
|
(Foto: Helmi Fithriansyah, Liputan6.com) |
“Masih jauh, ya?”
Seorang teman
bertanya kepada saya, dengan napas ngos-ngosan
saat kaki mereka mulai lelah dan menapak tak sabar untuk sampai di atas. Di
kanan-kiri kami, semak belukar, pepohonan kecil dan rimbun menemani perjalanan
langkah. Setidaknya, ini pukul lima pagi lebih sekian. Langit berwarna biru
gelap, dan Matahari masih enggan menampakkan wujudnya. Aneh, meski hawa magis
kental terasa, dingin yang seharusnya menggigit—khas pegunungan atau dataran
tinggi—tak mampir di tubuh. Di depan kami, tiga sampai empat orang berkaus
tentara—hijau loreng-loreng hitam—mengajak berbincang. Rupanya mereka memang
sedang menginap di situ. “Sampai penelitian selesai,” kata salah satu bapak,
sambil menggendong beberapa botol air.
Pada waktu itu,
lokasi kami berada, Gunung Padang memang sempat mencuri perhatian banyak orang.
Apalagi sejak September 2014, ketika Tanah Air digegerkan oleh penemuan artefak
mirip kujang dan koin tua. Sebuah penemuan yang tidak tanggung-tanggung. Sebab,
diperkirakan kedua temuan itu berasal dari masa 5.200 SM. Itu baru dari satu
sisi. Sisi lainnya, para ahli percaya; situs megalitikum ini bahkan lebih tua
dari Piramida Mesir; bahkan mungkin jadi bangunan prasejarah terbesar di dunia!
Pantas saja,
beberapa teman yang tahu; atau saya beritahu langsung dengan segera berminat ke
tempat ini—tanpa tahu bahwa untuk sampai ke atas pun, pengunjung harus mendaki
sekitar 350 anak tangga, plus dengan ketinggiannya yang lumayan curam.
Buat saya, inilah
kali ketiga menyambangi tempat ini. Kali pertama, benar-benar murni pelesiran.
Sementara sisanya, menjadi guide untuk
beberapa teman yang penasaran. Sungguh aneh rasanya, mendatangi satu tempat
berkali-kali, padahal menurut orang lain: tempat tersebut biasa-biasa saja.
Tetapi kini, biarkan
saya menggambarkan sedikit tentang Gunung Padang. Batu-batu panjang dan besar
berserakan di mana-mana, sebagian tersusun bertumpuk, atau berdiri sejajar
seperti mengkonstruksikan sesuatu, sebagian lagi tidak; lima teras (undakan)
yang semakin ke atas, semakin mengecil luasannya; lapis rumput hijau serupa
karpet yang menyambut pengunjung, tumpukan gunung batu—belakangan saya tahu,
yang paling tinggi terlihat disebut “Mahkota Dunia”, (katanya) titik pusat
energi di Gunung Padang, di mana salah satu pembuktiannya: keberadaan sinyal handphone yang sangat kuat di lokasi
tersebut; dan pepohonan rimbun, serta lapis gunung yang mengelilinginya, bahkan
dari segala arah mata angin.
Gunung Padang sendiri
sebenarnya adalah sebuah bukit. Namun, sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat
untuk menyebut bukit sebagai gunung. Letaknya, di Desa Karyamukti, Campaka,
Cianjur, Jawa Barat. Bila dari arah Puncak, sangat mudah dijangkau dengan
mengambil jalan ke arah Cianjur. Pastikan untuk selalu melihat ke arah kiri
atau berpedoman pada GPS, karena setelah beberapa kilometer, plang bisa
langsung dengan mudah terlihat.
Seperti Berkunjung ke Rumah Flintstone
Matahari baru saja
menampakkan semburat kuning keemasannya saat rombongan kami sampai di puncak.
Di teras lima—bagian dasar kompleks bebatuan megalitikum Gunung Padang,
terlihat awan putih bergulung-gulung bersama cahaya kuning. Di depan saya,
lapis-lapis bukit—bergradasi hijau kebiruan memanjakan mata, indah sekali. Yang
paling jauh terlihat, belakangan saya tahu adalah Gunung Gede-Pangrango.
Bebatuan
kecil-besar, posisi tegak berdiri hingga terbaring tidur, berserakan di hadapan
kami. Rasanya, seperti berkunjung ke rumah keluarga Flintstone. Saya
membayangkan, apa jadinya bangunan atau tempat ini di masa yang silam? Adakah
susunan bebatuan ini punya makna? Bagaimana sosok masyarakat setempat pada masa
itu? Bagaimana cara mereka menyusun konstruksi Gunung Padang? Apakah suasananya
ramai atau justru sepi penuh dengan daya magis?
Pak Nanang, juru
kunci Gunung Padang mengatakan, dua buah batu yang berdiri di teras satu,
dahulunya berfungsi sebagai gapura atau gerbang masuk. Wajar saja, dahulu
Gunung Padang memang difungsikan sebagai tempat ritual, bahkan hingga kini oleh
beberapa kelompok orang.
Pak Nanang
bercerita, pada zaman dahulu, orang-orang datang membawa sesaji melalui gerbang
masuk; menapaki lapisan batu di tanah yang ditata serupa tegel; meletakkan
sesaji di meja (batu yang menyerupai meja); diiringi musik gamelan—yang
sebenarnya ditabuh dari batu gamelan—sebuah batu yang akan menghasilkan nada
tertentu jika dipukul dengan alat pukul semisal kayu atau batu kecil.
Setelah itu,
perjalanan ritual akan terus berlanjut hingga teras lima. Masing-masing teras
dihubungkan oleh tangga yang menempel pada tumpukan batu serupa benteng,
pemisah antara satu teras dengan teras yang lain. Kini, beberapa anak tangga
dan konstruksinya sudah hancur dan tak lagi berbentuk. Pinggirannya pun sudah
diberi tali—sebagai pengingat, pengunjung tak boleh naik menggunakan tangga
tersebut. Sebagai gantinya, pengunjung harus melewati pinggirnya—sebuah jalan
setapak, sedikit menanjak, yang sengaja dibuat untuk mengurangi kerusakan.
Gunung Padang dan Segala Pertanyaan yang
Tak Terjawab
Perjalanan kami
berakhir dengan duduk-duduk santai di wilayah “Mahkota Dunia”, sebuah bagian
yang terletak di teras dua; merupakan pusat terbaik dunia yang ada di Gunung
Padang. Matahari sudah semakin naik, dan hawa panas mulai terasa dan menjadi
terik. Namun, di tempat kami duduk, angin berhembus sejuk sekali. Dari sini,
lapis-lapis gunung yang mengelilingi Gunung Padang terlihat lebih jelas,
sementara ratusan bebatuan yang terserak di teras satu—berpadu dengan hijau
rumput, terlihat indah dari ketinggian. Terlepas dari benar atau tidaknya
tempat ini sebagai “pusat dunia”, saya mengakui: ini adalah tempat terbaik
untuk menikmati keindahan Gunung Padang, sambil bercakap dan mengobrol hangat
dengan orang terdekat.
Sesungguhnya ada
banyak pertanyaan yang saya punya terkait dengan Gunung Padang. Segala misteri
yang ada di dalamnya, berikut peradaban Atlantis—sebuah peradaban tinggi, kaya
raya, namun musnah karena bencana—yang digadang-gadang berlokasi di Sundaland.
Mungkin benar, mungkin juga tidak. Sebab dalam bahasa Sunda, kata “Padang”
berarti siang, terang, atau cahaya.
Jika benar tempat
ini berasal dari ribuan atau bahkan puluhan ribu tahun silam, tentulah misteri
dan kontroversi Gunung Padang sudah merentang pada periode yang sangat panjang.
Ada yang mengaitkannya dengan kejayaan Prabu Siliwangi; harta karun yang
besar—baik berupa material maupun sisa peradaban masa lalu—yang mungkin akan
mengubah sejarah dunia; hingga sebuah cerita tentang Atlantis yang hilang.
Tetapi benarkah semua pernyataan tersebut? Toh selama ini belum ada penelitian
yang benar-benar mampu mengesahkan pernyataan tersebut. Tetapi sebelum berkutat
benar atau tidaknya, dan memperdebatkan secara keilmuan, saya rasa kita semua
sepakat: sebuah perjalanan pasti punya maknanya sendiri-sendiri. Tak selalu sama,
melainkan berbeda bagi masing-masing orang.
***
Sebelum siang
merangkak naik, kami memutuskan untuk turun. Lebih dari tujuh jam kami
melakukan perjalanan hingga ke tempat ini dan belum sempat beristirahat. Heran
rasanya. Untuk menikmati pagi yang terlalu dini saja, harus jauh-jauh pergi dan
merasakan sensasi Matahari, di tempat yang cukup sulit didatangi. Tetapi toh,
setiap perjalanan kadang harus mentok dengan
logika. Ia sebuah pengalaman; yang kerap meruapkan rasa senang, bahagia, harus,
sedih, marah, kecewa—tanpa kita tahu sebabnya.
Kaki saya
melangkah pelan-pelan melalui tangga berbeda; sebuah undakan kira-kira 750 anak
tangga, dua kali lipat jumlahnya, terbuat dari semen dan tertata dengan rapi.
Tangga ini memang sengaja disediakan bagi para pengunjung, untuk memudahkan
pendakian, atau justru mencegah tangga batu asli, rusak. Di sebelah kiri saya,
hijau bukit, hutan, maupun semak belukar terlihat memanjakan mata. Cahaya
kuning Matahari memantul-mantul di atasnya. Indah sekali. Sayang, iklim Cianjur,
meski di daerah perbukitan sekalipun, masih terasa terik.
Kami melanjutkan
perjalanan absurb ini. Dan Gunung Padang beserta misterinya (yang mungkin masih
tak terpecahkan hingga beberapa tahun ke depan) tetap berdiam di sana. Setengah
bercanda, seorang teman saya, heran menyadari “hanya batu” sebagai destinasi
kami—tujuan kami datang jauh-jauh. Tetapi kami semua tahu; tak pernah ada “cuma”
dalam sebuah makna perjalanan.
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Phinemo.com
http://media.viva.co.id/thumbs2/2015/10/05/340564_badak_663_382.jpg |
Satu ekor Badak Jawa berdiri kaku. Dari balik etalase bingkai
kaca, ia memandang lurus ke depan. Kulitnya hitam-legam, matanya tanpa nyawa;
tanpa ucap. Barangkali karena memang, ia tak pernah sempat bicara—sejak sebutir
peluru Mauser kal 9.3 menembus kulitnya yang tebal; seperti tameng
baja—berpuluh tahun lalu...
Para petugas
museum tak punya pilihan. Menembak mati badak jantan adalah jalan—ketimbang
membiarkannya hidup sendirian dan menderita. Kelak, solusi ini pun dianggap
mampu memberi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan. Satwa langka berbobot lebih
dari dua ton, memiliki panjang sekitar tiga meter, dan tinggi 1,5 meter ini
akhirnya diboyong ke Pusat Penelitian Biologi LIPI. Kini, kita bisa menemukannya
utuh—dalam “rumah” yang tak lebih dari sebuah kotak kaca di Museum Zoologi,
Bogor.
Ada kisah
tragis terselip di tengahnya, pada secarik keterangan bertulis: “Inilah badak terakhir di Jawa Barat, badak
terakhir di Priangan”. Badak jantan itu berasal dari daerah Karangnunggal,
Tasikmalaya. Badak—hewan penyendiri yang dikenal sebagai “si pemelihara” ini
rupanya harus kehilangan si betina, yang dibunuh oleh para pemburu ilegal di
tahun 1914. Tanpa pasangan dan sebatang kara; tak mungkin ia yang tersisa, dipindah
ke Cagar Alam Ujung Kulon atau kebun binatang sekalipun. Apalagi, sudah lama
sekali ia hidup terpisah dari kelompoknya. Ketidakmampuannya menggabungkan diri
dan beradaptasi dengan habitat baru dikhawatirkan justru membuatnya menderita
atau mungkin, bernasib sama seperti si betina.
Perburuan
badak sendiri memang bukan hal baru. Banyak alasan maupun mitos yang
melatarbelakanginya, yakni: kulitnya yang “baja” dibuat perisai; cula yang amat
berharga untuk pengobatan, hingga status “keperkasaan” yang langsung melekat
seketika bagi para pemburu hewan langka ini. Akibatnya, kini populasi badak
menurun drastis. Dari 30 jenis, satwa langka yang sudah ada sejak zaman tertier
(sekitar 65 juta tahun lalu), sekarang hanya tersisa lima spesies. Dua di
antaranya, ada di Indonesia, yakni: Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan Badak Sumatera (Dicherorimus sumatrensis)
Sayangnya
kita harus tahu: kedua jenis ini pun masih dikategorikan dalam status
kritis-terancam punah (critically
endangered species) dalam Daftar Merah International
Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).
Abah Gede, Tak Perlu Lagi Takut Diburu
Di atas jalanan tanah berlumpur, beberapa ekor badak baru
saja meninggalkan jejak-tapak yang masih bau basah. Di sekitarnya, ada sisa
dedaunan robek, bekas tercabik. Para penjaga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK)
bersuka cita. Jejak-jejak itu seakan bicara: ada penghuni baru telah lahir di
penghujung Juli 2006!
Tak banyak
yang mampu melihat atau merekamnya langsung, sekalipun itu 16 kamera otomatis
yang dipasang permanen di TNUK. Abah
Gede—sebutan masyarakat sekitar untuk Badak Jawa—memang istimewa. Berjumpa
atau sekadar melihatnya melintas, tentulah dianggap sebagai sebuah
keberuntungan.
Barangkali
karena memang sudah sifat badak yang penyendiri. Kecuali pemburu—secara
alamiah, Badak Jawa tak punya predator. Indera pendengaran dan penciumannya
tajam; bahkan mampu merasakan keberadaan musuh, meski dalam kondisi yang tak
memungkinkan sekalipun. Biasanya, badak cenderung menghindari manusia, meski ia
bisa juga bertindak agresif bila merasa terganggu. Culanya sendiri jarang
digunakan untuk bertarung, melainkan hanya untuk memindahkan lumpur di
kubangan, menarik tanaman, atau membuka jalan rintisan.
Memang,
berkat sosialisasi yang marak digalakkan, tak lagi ada perburuan badak dalam
beberapa tahun terakhir. Tetapi, tak berarti masalah tuntas sudah. Beberapa
penelitian mencatat: Badak Jawa tak bisa hidup di sembarang tempat. Upaya
penangkaran badak di tahun 1800-an hingga 1907, misalnya: tak membuahkan hasil
signifikan, bahkan semakin buruk. Penyebabnya, harapan hidup badak di
penangkaran justru berkurang, yakni hanya mencapai usia 20 tahun, kira-kira
separuh dari usia yang bisa dicapai bila badak hidup di habitat aslinya.
Adapun ancaman
terbesar tak lain adalah tingkat perkembangbiakannya yang cenderung lambat.
Dalam interval empat hingga lima tahun, badak betina hanya melahirkan satu
ekor. Itu pun dengan masa kehamilan 15-16 bulan. Persoalan lalu bertambah,
semenjak berkurangnya keragaman genetis akibat populasi badak yang sedikit.
Terjadinya perkawinan satu turunan berisiko menurunkan kualitas anak-anak
badak, dan justru membuat spesies ini rentan ketika harus menghadapi wabah
penyakit, atau bencana alam.
Secara
alamiah, badak tergolong sebagai makhluk herbivora. Dengan bobot dan
besarannya, ia mampu makan 50 kg per hari ragam jenis tumbuhan seperti: tunas,
ranting, daun-daun, dan buah. Masalah muncul ketika habitatnya tak lagi mampu
mencukupi kebutuhan konsumsi badak. Invasi tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) tak diingkari sudah
menggantikan hampir 30 persen habitatnya—di semenanjung Ujung Kulon. Ditambah
lagi, sebagian besar pakan badak rupanya serupa dengan banteng (Bos javanicus)—sehingga mengharuskan
mereka sama-sama berkompetisi untuk mendapatkan makanan.
Sementara itu, data terakhir World Wildlife Fund for Nature (WWF) menyebutkan, populasi Badak Jawa di TNUK kini tinggal 60 ekor (jantan:
33, betina: 27) dan Badak Sumatera tinggal 200 ekor. Bila terus begini,
masihkah kita ingin berdiam?
Rumah Terakhir Badak dalam Kotak Kaca?
Tahunan
berjalan, upaya observasi dan penelitian masih terus dilakukan untuk mencari
rumah kedua yang nyaman bagi badak. Banyak pihak; meliputi: WWF, Departemen
Kehutanan, Balai Taman Nasional, masyarakat lokal, maupun komunitas pemerhati
masih terus mengkaji kemungkinan yang ada—mengikuti jejak Afrika dan India,
terutama soal kesuksesannya meningkatkan populasi badak secara signifikan,
melalui perancangan “rumah kedua”.
Masalahnya,
selain dua ancaman yang sudah disebutkan; TNUK yang kini menjadi tempat badak
berdiam pun bukanlah tempat yang aman. Berdekatan dengan Gunung Krakatau yang
masih aktif, lokasi TNUK tentulah rawan ancaman tsunami maupun gempa bumi.
Itu belum
termasuk risiko badak terjangkit penyakit—mengingat bagian timur TNUK
berbatasan langsung dengan perkampungan masyarakat yang umumnya memiliki
ternak. Sistem “pelepasan” hewan ternak untuk mencari makan tentu akan
meningkatkan potensi penyebaran dan penularan penyakit dari hewan ternak ke
satwa liar. Adapun salah satu penyakit paling mematikan adalah anthrax—yang dampak penyebarannya
tergolong tinggi.
Sebagai
langkah penanggulangan risiko, setidaknya delapan lokasi “calon rumah” badak
sudah disurvei. Dari delapan (termasuk di antaranya Taman Nasional Halimun,
Gunung Salak, Jawa Barat) lokasi itu kian mengerucut menjadi dua: Cikeusik,
Pandeglang yang dikelola Perhutani, dan Cikepuh, sebuah taman margasatwa yang
berada di Sukabumi.
Lantas, bagaimanakah kriteria rumah badak yang ideal?
Syarat
pertama, suatu tempat haruslah bisa menyediakan sumber makanan yang berlimpah
dan tentunya: bebas dari risiko bencana serta kehadiran manusia. Indikatornya,
daerah tersebut haruslah berupa hutan hujan dataran rendah. Ketersediaan
rerumputan, sungai, dataran basah, dan tentunya kubangan lumpur menjadi
kriteria lanjutan, di mana badak bisa hidup nyaman. Cikepuh misalnya—yang
dipilih karena lokasinya berkontur bukit, terisolir dari keramaian, serta punya
potensi spot yang bisa dijadikan
kubangan air.
Memang, bukan
perkara mudah untuk mencari rumah kedua bagi badak. Selain harus menyeleksi
secara ketat, ada banyak risiko yang tak bisa diingkari, seperti: kegagalan
proses pemindahan; badak yang stres selama masa perpindahan; atau paling buruk:
ketidakmampuan badak dalam beradaptasi hingga akhirnya mati. Namun, bukan
berarti tak mungkin dan tak bisa dilakukan.
Pada
akhirnya, menjaga kelestarian badak sendiri bukan cuma tugas pihak TNUK,
Departemen Kehutanan, Balai Taman Nasional, atau komunitas pemerhati—melainkan
kita semua. Bayangkanlah, jika suatu hari kelak, mungkin anak-cucu kita hanya
bisa mendengar badak dari dongeng belaka, menyaksikannya dari balik etalase
kaca, atau justru paling banter...memahami
rupanya dari kemasan minuman penyegar.
Apakah kita mau? Relakah kita?
Adapun dengan
menyosialisasikan pelestarian badak—membiarkan seluruh komponen masyarakat
memahami manfaat dan risikonya—bukan tak mungkin segala cara akan menemukan
hasilnya. Jangan sampai, seluruhnya ternyata hanya tinggal wacana yang
terus-menerus digaungkan dalam rangka memeringati Hari Badak Sedunia, tiap 22
September.
*Tulisan ini diikutsertakan
dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah
Rumah yang Nyaman Untuk Badak?"