Modernisasi sering kali melenyapkan segala
hal yang dicap kuno, lalu menggantinya dengan yang lebih baru. Beragam bangunan
kokoh jejak masa lalu menjadi saksinya. Digempur ragam arsitektur futuristik,
bangunan bergaya Indis menjadi saksi bisu yang kini terhimpit sesak, lalu
mencoba bertahan di tengah-tengahnya.
Jakarta yang
basah. Hujan deras mengguyur kawasan Kota Tua, Jakarta Barat yang sedang
sibuk-sibuknya. Musim libur panjang telah berakhir, aktivitas ibu kota kembali
padat. Segala jenis kendaraan hilir mudik mengangkut ribuan penumpang. Mulai
dari stasiun kereta api, terminal bus, hingga terminal bayangan, disesaki orang. Meski begitu, salah satu bangunan bergaya Neo-klasik yang
berdiri megah, masih dilingkupi senyap.
Tak banyak pengunjung
yang datang ke Museum Bank Indonesia—dahulu bernama de Javasche Bank—di hari biasa, seperti ini. Mungkin, tak banyak
pula yang tahu keistimewaan bangunan ini. Bercat putih terang, berpilar besar,
berdiri kokoh mencolok perhatian—sebuah simbol keagungan pemerintahan
Belanda—bangunan ini mungkin terlihat sama seperti bangunan-bangunan lain,
peninggalan khas kolonial pada masanya. Namun, tahukah Anda, bangunan ini
ternyata adalah arsitektur pertama di Hindia Belanda yang memadukan unsur
Eropa-Jawa di dalamnya?
Sistem Politik
Etis, sebuah 'balas budi' yang digagas pemerintah Belanda pada 1901
memang telah mengubah pendekatan kolonialisme. Tak hanya memperbaiki
sistem pendidikan serta kemakmuran masyarakat Hindia Belanda. Pada akhirnya,
sistem ini juga berkontribusi pada modernisasi kota-kota lama dan menghadirkan bangunan yang
lebih memperhatikan alam maupun budaya lokal di kota besar, seperti
Jakarta.
Arsitek-arsitek
kenamaan mulai berdatangan langsung dari negeri Belanda. Mereka mencari dan
mendiskusikan sebuah formula baru, terutama yang dirancang untuk mengantisipasi matahari, hujan lebat, serta iklim tropis Nusantara. Belakangan, kita tahu
beberapa nama arsitek muda seperti Thomas Kaarsten atau Henri Maclaine Pont, yang
salah satunya, sukses dengan pembangunan kampus Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung)— sebuah gedung
kokoh paduan langgam Eropa dengan ornamen, maupun nilai tinggalan lokal.
Tetap Nyaman di Iklim Tropis
Hari berbeda.
Panas terik Jakarta tengah hari terasa membakar kulit. Namun, sebuah
gedung—kini dikenal sebagai Museum Tekstil—yang berada tak jauh dari kawasan
perniagaan Tanah Abang, Jakarta Pusat belum kehilangan geliatnya. Belum lama,
satu rombongan bus sekolah dasar memasuki pelataran. Menggunakan seragam khas
merah-putih lengkap dengan dasi, serta topi, masing-masing anak membawa buku,
papan sandar, dan alat pencatat.
Liandro N. I. Siringoringo; www.manual.co.id |
Hawa sejuk
langsung terasa ketika memasuki pelataran bangunan bekas landhuis (vila) milik seorang keturunan Prancis di Batavia, yang
didirikan pada awal abad ke 19 ini. Di sekeliling, rimbun pepohonan besar
berbaris, memayungi kepala dari terik matahari. Ada pula beberapa taman peneduh
luas menyambut, serta serambi di muka bangunan utama. Di bagian belakang,
teras dengan halaman luas mengingatkan kita pada semarak pesta kebun, sebuah
ciri yang bisa kita temui dari rumah tinggal atau bangunan Indis.
Liandro N. I. Siringoringo; www.manual.co.id |
Arsitektur Indis
lahir berkat perpaduan kolonial-lokal dan menjadi bagian kebudayaan Indis yang
ditengarai berkembang subur di abad ke-18 hingga ke-19. Beberapa
menyetarakannya dengan periode arsitektur eklektisme, yakni perpaduan dari
segala jenis gaya arsitektur yang berkembang di Eropa, seperti Klasik,
Neo-klasik, Romantik, hingga Gothik, dengan unsur lokal.
Karakternya dapat dengan mudah dilihat dari keberadaan serambi yang difungsikan
sebagai filter udara lembap atau panas sebelum masuk ke dalam rumah; sekaligus
menyesuaikan dengan kebiasaan kumpul-kumpul
warga lokal di pendapa. Sebuah ciri yang sejenak mengantarkan kita pada
bayangan masa lalu, di mana satu-dua penghuni duduk santai sembari meneguk
secangkir teh, mengobrol hangat, lalu mengagumi keindahan taman-taman yang
tertata apik tanpa harus mengeluhkan terik panas yang menyengat.
Unsur Lokal dan Nilai Lokal
Di beberapa
bangunan, terutama kota-kota bekas pendudukan penguasa Hindia Belanda,
maupun rumah pesanggrahan di pegunungan berhawa sejuk, kita dapat menemukan peninggalan arsitektur Indis. Beberapa sarat dengan atap pelana, atap
limas, atau kombinasi keduanya, lengkap dengan teritisan lebar, sebagai cara
beradaptasi dengan curah hujan yang tinggi.
Unsur lokal
lainnya kentara dalam penamaan ruang bangunan rumah Tjitrap (Citeureup) milik Agustin
Michiels atau Majoor Jantje, seorang tuan tanah kaya dan terkenal di kalangan
pribumi. Bangunan utama disebut Gedong
Pandjang, bangunan tingkat bagian atas disebut Gedong Loehoer, sementara sisa-sisa bangunan terdahulu disebut Gedong Kramat—bekas makam pemilik
pertama, seorang lokal bernama Raden Sakee.
Umumnya, untuk
menangkal udara panas, dibuatlah dinding-dinding tebal bermaterial batu alam,
salah satu alasan mengapa konstruksi bangunan mampu bertahan lebih lama. Bukaan-bukaan
dibuat besar, sementara langit-langitnya dirancang lebih tinggi untuk
menghadirkan hawa sejuk di dalam ruang. Bangunan rumah tinggal juga akan dibuat
lebih tinggi di atas permukaan tanah. Lantainya, dilapisi ubin atau
tegel, untuk mengantisipasi udara basah atau lembap.
Di abad ke-19,
bangunan rumah tinggal cenderung dilengkapi dengan banyak kamar, lengkap
dengan paviliun serta bangunan-bangunan
samping (bijgebouw) yang sangat luas.
Beberapa difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga besar, menunjukkan bahwa landhuis seperti ini biasanya dihuni
banyak anggota keluarga, yang terdiri atas keluarga inti dengan puluhan, bahkan
ratusan budaknya. Sistem yang sesuai dengan keadaan alam yang berhawa panas,
serta gaya hidup seperti ini tentulah tidak dikenal di negeri Belanda.
Sayangnya, tak
banyak bangunan bergaya Indis yang dapat kita temui saat ini. Meski terjamin
kokoh dan nyaman, nyatanya bangunan perlahan hilang satu per satu, mengikuti
runtuhnya masa kejayaan Hindia Belanda sejak 1942. Tidak jelasnya status kepemilikan,
hingga penggusuran semenjak tahun 1960-an demi kepentingan ekonomi dan
perdagangan, menjadi penyebab banyak bangunan megah tersebut dijadikan bank, pertokoan, bahkan restoran cepat saji. Belum lagi perombakan serta
pembangunan ulang yang meniadakan bentuk asli, hanya karena perubahan selera
setiap tahunnya.
Kini yang tersisa
hanya bisa berharap. Pajak yang mahal, serta biaya perawatan yang tak murah
kian menghimpit dan mendesak tangan-tangan terbuka untuk turun tangan, jangan
sampai saksi sejarah ini akhirnya hilang ditelan zaman.
Catatan: *Artikel
ini pernah diterbitkan di Tabloid Rumah Edisi Mei 2015