Tidak ada yang lebih mengerikan: ketika kau lihat dunia sedang ada di akhirnya. Matari terbit di sebelah barat dan di hadapan langit-langitmu—kau lihat bulatan warna laut, besar sekali—rasa-rasanya ingin melahap langsung kepalamu utuh. Kau sangat takut: tapi kabur pun rasanya tak mungkin, dan lari bukan pilihan, sebab ke mana pun kau pergi, bulatan besar itu tetap ada; Matari tetap bergerak anomali. Maka kau dan orang-orang di sekitarmu cuma bisa duduk—menghabiskan waktu sebanyak mungkin dengan mereka yang kau sayang, menghirup oksigen serakus mungkin, sebab barangkali detik ini, besok, atau lusa, kau bisa saja mati. Tak meninggalkan belang, apalagi nama yang barangkali bisa mereka kenang.
Karna-Karno; dua nama yang sama. Berbeda zaman. Ia kenal keduanya. Satu dari dongeng Simbok—tentang seorang anak kusir berdarah dewa yang dibuang ibunya. Satu dari buku Sejarah yang SD pun ia tak tamat. Tentang seorang raja penuh karisma dan puja-puji, tapi ternyata tak mampu meluluhkan kemiskinan yang membuat Karno kecil sempat hanya mengecap ubi. Setidaknya Karna masih lebih lumayan, ia seorang kusir kuda. Figur gagah, sang pemanah dengan otot yang barangkali sekal dan pampat. Karno kini juga bergelut dengan kuda. Sayang kuda-kudanya adalah besi bercat warna-warni yang kini penuh karat, tunggangan bocah di pasar malam dekat Ragunan.
Ternyata kau berdiri di ujung sana. Di lorong tengah—dan di kanan-kirimu;
kursi-kursi kereta ekonomi yang sedari tadi kosong, mulai terisi penuh. Di bahu
tegakmu, tersangkut rapi carrier 65L—menandakan
bahwa kau memang tak sedang bercanda, dan ingin melakukan perjalanan jauh. Pada
lehermu, tergantung selendang songket warna cokelat kemerahan, itu pemberianku; dan senyum cerlang pada gigi-gigimu yang tak lagi kusam—sungguh aku hafal itu.
Aku tak mampu lagi
berkata selain tersenyum—sedikit girang. Perjalanan ini sepenuhnya milikku—kau
boleh ikut, tentu saja juga boleh tidak. Setelah berbulan
lamanya tak sanggup kuberanikan diri menyapamu, ternyata kita bertemu di sini,
tersenyum kikuk; sedikit girang, sembari melangkah pelan-pelan. Orang-orang di
sekitar tak mungkin tahu, atau mungkin tak mau tahu, tapi asal kau tahu; tetap
aneh rasanya bertemu kau di sini—dan kursi yang kita pesan ternyata masih
berseberangan.
Aku duduk di
pojok. Memandang stasiun Lempuyangan dari balik kaca kereta yang menguning. Dengan
kikuk, kau mengambil gerakan duduk di seberangku. Membuat kita saling
berhadap-hadapan, dan mungkin saja, bercakap atau justru tertidur selama empat belas jam lamanya. Apa pun itu, kita akan tetap saling memandang. Dan aku
tahu—tanpa memandangmu pun, aku sudah hafal betul garis wajah itu, kecuali
tumbuhnya cambang tipis pada sisi pipi tirusmu, pun janggut di dagumu yang
manis.
“Ternyata
keretanya penuh, ya,” basa-basi pertamaku hari ini. Kau tersenyum kikuk sambil
menjawab “Ya” yang sama kikuknya. Kita tertawa, dan mengamini: untung sudah
pilih kursi di pojok.
“Hei, itu
pilihanku!” Lalu aku berseru, dan kau tertawa tak mau kalah. Bagiku kursi pojok
adalah salah satu anugerah bagi para pecinta transportasi murah semacam kereta.
Bagi para pecinta berkeliling—tanpa biaya mahal. Di sekitar—orang-orang di
gerbong ini menyantap sarapannya. Pembicaraan kita semakin normal—dan aku jelas
tak tahu harus ke mana. Selapis kenangan muncul—meruntuhkan tembok-tembok
pertahananku.
“Kamu....apa
kabar?” Hening mengambang di ujung.
“Baik....baik
sekali,” kataku dengan nada yang dibuat-buat. Tak mudah menyembunyikan lapis
rindu yang rasanya ingin meledak. “Apa kabar, dunia...pereskriman?”
“Kayaknya, mau
bangkrut,” katamu santai. Seolah aku tak pernah tahu, betapa sulit sudah yang
kau lakukan selama ini. “Sepenuhnya salahku, kok.”
Lapis benteng
terluarku runtuh sudah rasanya. “Dateline
yang waktu itu kubuat, masih jelas, kan?”
Hening mengambang,
kupikir aku tahu yang sudah kulakukan, dan kau menjawab dengan nada tenang,
“Masih.”
“Sorry.”
“I’m okay.”
Seolah tahu bahwa
aku telah salah mengucap pertanyaan. Tinggal hening yang tersisa. Kita saling
berpandangan, dan orang sebelahku masih sibuk dengan sarapan paginya, sambil
sesekali basa-basi menawarkan makanan. Ingin kujawab “ya” agar aku bisa keluar
dari pembicaraan mahacanggung ini, tapi telah kutolak mentah-mentah penawaran
itu lebih dulu. Kau mengotak-atik handphone-mu,
dan dengan sedikit tidak rela, aku masih berharap kau belum menemukan wanita
idamanmu. Aku tersenyum—kau masih sama seperti yang dahulu, garis rambutmu,
senyum tipismu, dan segalanya masih sama seperti yang dahulu, dan ternyata: aku
merindukan itu.
Selapis dongakan
kepalamu membuatku terkesiap kikuk. Setahun lalu kita merencanakan perjalanan
ini, tapi belum sempat setengah bulan berselang, apa yang telah kita
perjuangkan tiba-tiba kandas di tengah jalan. Sekarang aku memilih berjalan
sendirian—telah kurelakan jika tiket orang di seberangku direbut orang, tapi
ternyata kau ada di sana—menatapku dengan pandangan yang sama.
Keretaku; kereta kita melaju
pelan—melewati baris kotamu yang kau bangga-banggakan, melewati
baris-baris kenangan, saat dahulu kita sibuk menjadi diri sendiri yang mengejar
mimpi. Tapi kini segalanya sudah berubah. Umurku sudah dua puluh delapan—dan
kau tiga puluh. Usia yang sudah dewasa. Kuputuskan untuk
mengakhirinya dengan cincin lapis lazuli yang tersemat di jari manisku.
Kusembunyikan itu di balik sarung tangan—sesungguhnya ingin kucopot—tapi suatu
saat, kau harus tahu.
https://id.pinterest.com/pin/447404544204489539/ |
“You left me.” Kataku dengan nada
tertahan—senormal mungkin, dan rasanya aku sudah ingin meledak sebesar mungkin.
“Nggak pernah,
Sekar,” nadamu yang nyaman selalu saja membuatku luluh-lantak. Tapi kali ini,
tolonglah. Tidak lagi.
“Kenapa kamu nggak
pernah cari aku?”
“Karena kamu nggak
pernah ingin ditemukan. Kamu pergi—ke sana, ke sini, bisa jauh sekali—dan sama sekali nggak pernah bisa
kudapat kesempatan untuk ngomong sama
kamu. Kamu bilang kamu mau pulang, tapi aku nggak tahu—ke mana rumah kamu.”
“Yes, you know!” Kataku tidak terima.
Pertanyaan itu meluncur sudah. Kutahan bungkusan air mata, tapi kantong itu
tidaklah ajaib. Dan ternyata kau mengenalku lebih jauh. Bintik-bintik air turun
sudah.
“Ya, finally.” Katamu dengan nada memurung.
Ingin rasanya kupeluk kau—mengelus punggungmu yang bidang, tapi ruang gerak
membatasi. Segala pembatas ada membatasi pergerakanku. Dan lagi-lagi aku sangat ingin
meledak.
“Kita, nggak bisa.” Kataku dengan suara
senormal mungkin. Lalu matamu bertanya kenapa dan kujawab sendiri tanpa harus
kau bertanya. Kita sudah cukup saling memahami.
“Karena ini,”
kucopot cincin lapis lazuli yang sedari tadi kusembunyikan. Kau menatapku dengan
tatapan penuh tak terima. “maaf, tapi cepat atau lambat, kamu akan tahu.”
Kau menunduk.
Pertahanan terakhirku runtuh sudah. Air mataku menggenang—aku ingin menangis,
aku ingin meledak, tapi yang keluar yang bungkusan hampa suara dan bintik air
yang menggenangi mata.
https://id.pinterest.com/pin/371547037977658018/ |
Pada akhirnya kita
berpisah. Di sebuah pelabuhan—aku menjumpainya yang terlebih dulu sampai menggunakan
pesawat. Kau melambaikan tangan—dan setengah berlari aku memelukmu dengan erat.
Pada akhirnya pertemuan ini usai. Kita kembali lagi jadi makhluk asing yang
berpikir akan lebih baik bila tidak saling menyapa sama sekali. Aku kembali
jadi manusia setengah—sebab segalanya takkan lagi pernah utuh, dan roda hidup
tetap berjalan tidak mau tahu.