Menyesap Nostalgia pada Segelas Kopi Es

25.2.16




Satu seruput es kopi susu melepaskan dahaga di tengah hawa Jakarta yang panas. Teguk kedua, lintasan memori berputar; membuat Anda menerka-nerka, seperti apa wajah zaman di awal abad 20; saat lapis kenangan yang kini berbingkai foto, betul-betul menjelma nyata. 

-------

Kopi Es Tak Kie”—sebuah kedai kopi di tengah keramaian surga kuliner Gang Gloria mungkin telah lama populer di kalangan pecinta kopi. Bagaimana tidak, kedai yang telah berusia lebih dari delapan dekade ini bahkan sudah memiliki pelanggan setia sejak zaman kolonial hingga reformasi. Pengunjungnya beragam, dari kalangan tua-muda, penikmat lokal—hingga mancanegara.

Kedai Kopi Es Tak Kie, atau akrab dengan sebutan “Tak Kie”, memang sudah berdiri sejak tahun 1927. Tak seperti sekarang, mulanya Tak Kie bukanlah kedai kopi. Pada masa itu, kedai lawas yang berlokasi di Jalan Pintu Besar Selatan III No. 4-6 Pancoran, Glodok ini dikenal dengan sajian tehnya; bersanding dengan kebiasaan ngobrol santai masyarakat Tionghoa. Sebagai pelengkap, ada pula beragam kuliner khas peranakan yang disediakan, mulai dari jenis kudapan (tausa, pia, cakwe, lemper, dsb) hingga jenis makanan berat (bubur, nasi campur, bakmi, dsb). Sayangnya, berbagai perubahan kini telah meniadakan beberapa menu khasnya.

Pesona Kuliner Tempo Dulu

Bukan hanya soal cita rasa, Tak Kie juga dikenal dengan nuansa “tempo dulu”. Apalagi, pengelolanya—Latif Yulus, akrab dipanggil Koh Ayauw—merupakan generasi ketiga si pemilik kedai, Kwie Tjong yang dahulu datang dari Tiongkok. Ada beragam menu minuman yang bisa dicoba, namun yang paling populer yakni: kopi hitam, kopi susu, es kopi, dan es kopi susu.

Duduk menyeruput sedikit demi sedikit kopi khas Tak Kie sendiri seperti mengembalikan pengunjung pada imajinasi liar kondisi zaman yang berubah pelan-pelan. Bangku-bangku kayu, berpadu manis dengan meja jati tua dan interior lawas kedai. Di sekeliling, foto-foto tua menggantung apik di dinding. Ada yang menggambarkan kondisi kedai yang tak banyak berubah, pengunjung populer, hingga poster film berlatar Tak Kie. Di sudut ruang, ada bagian dapur terbuka, dengan papan bertulis “Kopi Es Tak Kie” tergantung di atasnya.

Mencicipi Menu Andalan

Di sini, kopi biasa dibuat pukul empat pagi. Setiap harinya, cairan kopi akan ditampung di dalam panci berukuran sedang, dengan harapan, kopi sudah dingin saat kedai mulai buka pukul tujuh pagi. Ini pula sebabnya, rasa kopi tak berubah atau justru hilang—bahkan saat ditambahkan es.

Biji-biji kopi digiling sendiri dengan mesin tradisional yang sudah berumur puluhan tahun. Salah satu menunya, yakni Es Kopi Tak Kie, merupakan campuran aneka biji kopi, mulai dari jenis Robusta hingga Arabika dari Lampung, Toraja, bahkan Sidikalang.

Terdapat satu menu kopi andalan yang harus diminta dengan pesanan khusus. Namanya, kopi Tak Tak atau kopi “tantangan”. Rasanya sangat kuat; dijamin melek. Ini, adalah hasil racikan campuran kopi Lampung dengan resep khusus.

Sebagai pelengkap sensasi, Anda bahkan bisa mencoba cara unik menikmati segelas Kopi Tak Kie—dengan cakwe. Meski terdengar aneh, namun hal ini lumrah mengingat dahulu, cakwe sering kali dijadikan sebagai teman minum. Caranya, cukup dicelupkan ke dalam kopi hingga menyerap hampir putus; lalu langsung dimakan.

Nama “Tak Kie” pada akhirnya dipilih karena sarat akan makna. “Tak” artinya orang yang bijaksana, sederhana, dan tidak macam-macam. Sementara “Kie” berarti mudah diingat orang. Bila digabungkan, maka akan berarti “kedai kopi sederhana yang menyimpan kebijaksanaan dan mudah diingat orang”. Sama seperti namanya, barangkali esok, lusa, maupun tahun-tahun yang akan datang, diharapkan nama Tak Kie akan terus dikenal, bukan hanya karena cita rasa kopinya yang memikat; melainkan juga karena keberadaannya yang mampu bertahan, meski sudah melewati rangkaian zaman.
  



You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe