Arsitektur Indis: Beradaptasi, Lalu Terancam Mati

14.7.16



Modernisasi sering kali melenyapkan segala hal yang dicap kuno, lalu menggantinya dengan yang lebih baru. Beragam bangunan kokoh jejak masa lalu menjadi saksinya. Digempur ragam arsitektur futuristik, bangunan bergaya Indis menjadi saksi bisu yang kini terhimpit sesak, lalu mencoba bertahan di tengah-tengahnya.    

Jakarta yang basah. Hujan deras mengguyur kawasan Kota Tua, Jakarta Barat yang sedang sibuk-sibuknya. Musim libur panjang telah berakhir, aktivitas ibu kota kembali padat. Segala jenis kendaraan hilir mudik mengangkut ribuan penumpang. Mulai dari stasiun kereta api, terminal bus, hingga terminal bayangan, disesaki orang. Meski begitu, salah satu bangunan bergaya Neo-klasik yang berdiri megah, masih dilingkupi senyap. 

Tak banyak pengunjung yang datang ke Museum Bank Indonesia—dahulu bernama de Javasche Bank—di hari biasa, seperti ini. Mungkin, tak banyak pula yang tahu keistimewaan bangunan ini. Bercat putih terang, berpilar besar, berdiri kokoh mencolok perhatian—sebuah simbol keagungan pemerintahan Belanda—bangunan ini mungkin terlihat sama seperti bangunan-bangunan lain, peninggalan khas kolonial pada masanya. Namun, tahukah Anda, bangunan ini ternyata adalah arsitektur pertama di Hindia Belanda yang memadukan unsur Eropa-Jawa di dalamnya? 

Sistem Politik Etis, sebuah 'balas budi' yang digagas pemerintah Belanda pada 1901 memang telah mengubah pendekatan kolonialisme. Tak hanya memperbaiki sistem pendidikan serta kemakmuran masyarakat Hindia Belanda. Pada akhirnya, sistem ini juga berkontribusi pada modernisasi kota-kota lama dan menghadirkan bangunan yang lebih memperhatikan alam maupun budaya lokal di kota besar, seperti Jakarta. 

Arsitek-arsitek kenamaan mulai berdatangan langsung dari negeri Belanda. Mereka mencari dan mendiskusikan sebuah formula baru, terutama yang dirancang untuk mengantisipasi matahari, hujan lebat, serta iklim tropis Nusantara. Belakangan, kita tahu beberapa nama arsitek muda seperti Thomas Kaarsten atau Henri Maclaine Pont, yang salah satunya, sukses dengan pembangunan kampus Technische Hogeschool (Institut Teknologi Bandung)— sebuah gedung kokoh paduan langgam Eropa dengan ornamen, maupun nilai tinggalan lokal. 

Tetap Nyaman di Iklim Tropis  

Hari berbeda. Panas terik Jakarta tengah hari terasa membakar kulit. Namun, sebuah gedung—kini dikenal sebagai Museum Tekstil—yang berada tak jauh dari kawasan perniagaan Tanah Abang, Jakarta Pusat belum kehilangan geliatnya. Belum lama, satu rombongan bus sekolah dasar memasuki pelataran. Menggunakan seragam khas merah-putih lengkap dengan dasi, serta topi, masing-masing anak membawa buku, papan sandar, dan alat pencatat. 



Liandro N. I. Siringoringo; www.manual.co.id



Hawa sejuk langsung terasa ketika memasuki pelataran bangunan bekas landhuis (vila) milik seorang keturunan Prancis di Batavia, yang didirikan pada awal abad ke 19 ini. Di sekeliling, rimbun pepohonan besar berbaris, memayungi kepala dari terik matahari. Ada pula beberapa taman peneduh luas menyambut, serta serambi di muka bangunan utama. Di bagian belakang, teras dengan halaman luas mengingatkan kita pada semarak pesta kebun, sebuah ciri yang bisa kita temui dari rumah tinggal atau bangunan Indis.  



Liandro N. I. Siringoringo; www.manual.co.id



Arsitektur Indis lahir berkat perpaduan kolonial-lokal dan menjadi bagian kebudayaan Indis yang ditengarai berkembang subur di abad ke-18 hingga ke-19. Beberapa menyetarakannya dengan periode arsitektur eklektisme, yakni perpaduan dari segala jenis gaya arsitektur yang berkembang di Eropa, seperti Klasik, Neo-klasik, Romantik, hingga Gothik, dengan unsur lokal.  

Karakternya dapat dengan mudah dilihat dari keberadaan serambi yang difungsikan sebagai filter udara lembap atau panas sebelum masuk ke dalam rumah; sekaligus menyesuaikan dengan kebiasaan kumpul-kumpul warga lokal di pendapa. Sebuah ciri yang sejenak mengantarkan kita pada bayangan masa lalu, di mana satu-dua penghuni duduk santai sembari meneguk secangkir teh, mengobrol hangat, lalu mengagumi keindahan taman-taman yang tertata apik tanpa harus mengeluhkan terik panas yang menyengat. 

Unsur Lokal dan Nilai Lokal  

Di beberapa bangunan, terutama kota-kota bekas pendudukan penguasa Hindia Belanda, maupun rumah pesanggrahan di pegunungan berhawa sejuk, kita dapat menemukan peninggalan arsitektur Indis. Beberapa sarat dengan atap pelana, atap limas, atau kombinasi keduanya, lengkap dengan teritisan lebar, sebagai cara beradaptasi dengan curah hujan yang tinggi.  

Unsur lokal lainnya kentara dalam penamaan ruang bangunan rumah Tjitrap (Citeureup) milik Agustin Michiels atau Majoor Jantje, seorang tuan tanah kaya dan terkenal di kalangan pribumi. Bangunan utama disebut Gedong Pandjang, bangunan tingkat bagian atas disebut Gedong Loehoer, sementara sisa-sisa bangunan terdahulu disebut Gedong Kramat—bekas makam pemilik pertama, seorang lokal bernama Raden Sakee. 

Umumnya, untuk menangkal udara panas, dibuatlah dinding-dinding tebal bermaterial batu alam, salah satu alasan mengapa konstruksi bangunan mampu bertahan lebih lama. Bukaan-bukaan dibuat besar, sementara langit-langitnya dirancang lebih tinggi untuk menghadirkan hawa sejuk di dalam ruang. Bangunan rumah tinggal juga akan dibuat lebih tinggi di atas permukaan tanah. Lantainya, dilapisi ubin atau tegel, untuk mengantisipasi udara basah atau lembap.  

Di abad ke-19, bangunan rumah tinggal cenderung dilengkapi dengan banyak kamar, lengkap dengan  paviliun serta bangunan-bangunan samping (bijgebouw) yang sangat luas. Beberapa difungsikan sebagai tempat tinggal keluarga besar, menunjukkan bahwa landhuis seperti ini biasanya dihuni banyak anggota keluarga, yang terdiri atas keluarga inti dengan puluhan, bahkan ratusan budaknya. Sistem yang sesuai dengan keadaan alam yang berhawa panas, serta gaya hidup seperti ini tentulah tidak dikenal di negeri Belanda. 

Sayangnya, tak banyak bangunan bergaya Indis yang dapat kita temui saat ini. Meski terjamin kokoh dan nyaman, nyatanya bangunan perlahan hilang satu per satu, mengikuti runtuhnya masa kejayaan Hindia Belanda sejak 1942. Tidak jelasnya status kepemilikan, hingga penggusuran semenjak tahun 1960-an demi kepentingan ekonomi dan perdagangan, menjadi penyebab banyak bangunan megah tersebut dijadikan bank, pertokoan, bahkan restoran cepat saji. Belum lagi perombakan serta pembangunan ulang yang meniadakan bentuk asli, hanya karena perubahan selera setiap tahunnya.   

Kini yang tersisa hanya bisa berharap. Pajak yang mahal, serta biaya perawatan yang tak murah kian menghimpit dan mendesak tangan-tangan terbuka untuk turun tangan, jangan sampai saksi sejarah ini akhirnya hilang ditelan zaman. 









Catatan: *Artikel ini pernah diterbitkan di Tabloid Rumah Edisi Mei 2015


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe