Lagu Cinta

10.7.16




“Hei, coba kau nyanyikan lagu cinta!”

Meski setengah berteriak, suaramu kalah oleh angin. Pun dengan deru ombak di belakang kita. Panas matahari menusuk kulit. Baru hari kedua, gosong sudah ia terbakar—sekalipun tabir surya lapis sekian berkali-kali kutimpa di atasnya. Rambut gondrongmu menari bersama angin; membuatnya kusut, berantakan. Jangan tanya soal bau dan lengket tubuh. Kita mandi sekali sehari; itu pun dengan air laut. Lengkap sudah. Kita—dua orang merindukan pelesir hemat—kini nampak serupa orang jembel. 

Kau menyodorkan gitar yang sedari tadi ada dalam genggamanmu. Soal ini, pastilah kau yang akan mendominasi. Aku bertaruh, seperempat aku bernyanyi; Yamaha-mu pasti sudah kau tarik kembali. 

“Mengapa harus lagu cinta? Aku sedang tak ingin,” balasku. Kuselipkan sisa-sisa rambut yang terlepas dari kuncirnya ke belakang telinga; kusembunyikan geliat kupu-kupu yang kian menyesaki rongga dada. 

“Ah, itu karena lagu cinta versimu sungguh melankolis!” 

Gugusan bukit hijau terlihat dari kejauhan. Gundukan teletubbies (itu kataku), menyembul dari biru permukaan. Aku menatap kilau perak langit yang memantul-mantul di air. Di dasarnya, sesekali bisa kulihat barisan ikan warna-warni berenang-renang. Cantik sekali.

“Kau kurang pakai perasaan. Menurutku lagu bernada minor itu indah. Tak selalu tentang cinta, lalu teriris-iris patah hati. Sekali-kali, cobalah menikmatinya pakai hati.”

“Aku sudah.” Gitarku—maksudku, gitar yang tadi ada dalam genggamanku—kau rebut kembali. Kau petik pelan; sembari memejamkan mata. Seolah duniamu sedang ada di sana; dalam baris-baris nada acak yang spontan saja kau mainkan. Kali ini genrenya jazz. Ah, kau memang pintar bermain gitar. Lalu petikanmu mengencang; menghasilkan suara jreng yang keras; dan mulutmu; matamu—duniamu yang sedari tadi terkatup, mulai kau buka. Kau bagi padaku.

Suaramu lantang terlepas di udara. Meneriakkan lagu cinta versimu. Nada riang yang aneh; tentang ingatan ia yang dahulu, hingga sekarang kau cinta. Tentang hatimu yang menetap di sana; namun sayangnya: ia tak pernah ingin kembali.

“Suaramu fals. Sumbang. Buruk sekali. Merusak suasana,” sudah jadi kebiasaanku berkata terlampau jujur; dan sudah jadi kebiasaanmu menerimanya sambil terpingkal. Sengaja kubuyarkan saja duniamu; sebelum kau meledak, oleh perkara yang selalu itu-itu saja.

“Aku tahu. Aku sedang memancingmu bernyanyi, wahai nona penyanyi kamar mandi. Tak ada satu pun orang yang akan melihatmu. Ayolah.”

Aku memandang sekeliling. Rombongan kapalku sedang menikmati makan siang menu seafood. Tapi selera makanku sudah hilang, meski konon masakan Bapak Stefan, koki kapal ini, enak sekali. Aku tak punya alasan ke mana-mana. Momentum ini membuat tubuhku berat; tak sanggup kusangga.  







“Ah, aku tahu! Mari kita mengarang lagu. Tentang cinta musim panas.”

“Dan siapakah kita dalam kisah itu?”

“Aku laki-laki yang tersesat pada cinta musim dingin; dan kau—oh kau bisa jadi wanita yang mendamba salju turun di nusa tenggara!”

“Ya ampun, aku tidak mau. Lagumu aneh. Tak estetis, dan itu-itu saja. Aku bosan. Lagu patah hati picisan.”

Kau mencibir sebal. Tapi sumpah mati, aku lebih sebal lagi. Tahunan aku mengenalmu; dan lagu cintamu hanya ada satu versi: jatuh cinta, tergila-gila, kehilangan, lalu patah hati. Kini siapa yang lebih melankolis? 

“Oke. Kau harus dengar laguku.” Kataku sembari mengambil sekaleng soda dingin dari kotak es. Cuaca terik bukan main; dan sekujur tubuhku nyeri seperti ditusuk jarum. Heran, sakitnya masih saja tetap tembusmeski pakaianku sudah tebal; seperti orang menggigil di musim dingin. 

“Kau mengarang lagu?”

“Tentu. Memangnya kau saja yang bisa?”

“Tumben. Aku ingin dengar.”

“Tidak sekarang. Akan kukirim via e-mail begitu kita sampai rumah.”

Perjalanan tersisa setengah jam lagi. Satu gugus pulau yang jadi tujuan sudah terlihat di hadapan. Kuambil kamera; dan kutangkap seadanya. Bukan bakatku mengabadikan momentum. Tapi apa saja akan kulakukan; untuk membuat diri sanggup menghadapi pembicaraan mahacanggung ini.

“Aku penasaran. Seperti apa isinya?”

“Lagu cinta versiku. Nanti kau akan tahu.”

Kutenggak lagi sekaleng dingin soda sambil berlalu. Berat, tapi biarlah kupaksa. Panas ini terlampau terik. Rasa-rasanya, lima puluh kaleng soda pun tak mampu mengatasi kerontang yang kurasakan sejak lama. Aku ingin terjun; mencebur di lepas ombak yang tenang; lalu hanyut mengikuti alur. Aku ingin pulang, kini sungguh-sungguh menuju rumah.




Izinkan aku jadi ikan di luas samuderamu; meski aku bisa saja abadi menyelam di sana; atau justru berakhir di piring sisa.




***




Burung dan ikan bicara tentang cinta
Tapi dunianya berbeda
Burung dan ikan pergi mengejar cita
Tapi dunianya tak sama
Satu berakhir di kandang pemburu
Satunya disantap, dibanjur bumbu








You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe