Satu seruput es
kopi susu melepaskan dahaga di tengah hawa Jakarta yang panas. Teguk kedua,
lintasan memori berputar; membuat Anda menerka-nerka, seperti apa wajah zaman
di awal abad 20; saat lapis kenangan yang kini berbingkai foto, betul-betul
menjelma nyata.
-------
-------
“Kopi Es Tak Kie”—sebuah kedai kopi di
tengah keramaian surga kuliner Gang Gloria mungkin telah lama populer di
kalangan pecinta kopi. Bagaimana tidak, kedai yang telah berusia lebih dari
delapan dekade ini bahkan sudah memiliki pelanggan setia sejak zaman kolonial
hingga reformasi. Pengunjungnya beragam, dari kalangan tua-muda, penikmat
lokal—hingga mancanegara.
Kedai Kopi Es Tak
Kie, atau akrab dengan sebutan “Tak Kie”, memang sudah berdiri sejak tahun
1927. Tak seperti sekarang, mulanya Tak Kie bukanlah kedai kopi. Pada masa itu,
kedai lawas yang berlokasi di Jalan Pintu Besar Selatan III No. 4-6 Pancoran,
Glodok ini dikenal dengan sajian tehnya; bersanding dengan kebiasaan ngobrol santai masyarakat Tionghoa.
Sebagai pelengkap, ada pula beragam kuliner khas peranakan yang disediakan,
mulai dari jenis kudapan (tausa, pia, cakwe, lemper, dsb) hingga jenis makanan
berat (bubur, nasi campur, bakmi, dsb). Sayangnya, berbagai perubahan kini
telah meniadakan beberapa menu khasnya.
Pesona Kuliner Tempo Dulu
Bukan hanya soal
cita rasa, Tak Kie juga dikenal
dengan nuansa “tempo dulu”. Apalagi, pengelolanya—Latif Yulus, akrab dipanggil
Koh Ayauw—merupakan generasi ketiga si pemilik kedai, Kwie Tjong yang dahulu
datang dari Tiongkok. Ada beragam menu minuman yang bisa dicoba, namun yang
paling populer yakni: kopi hitam, kopi susu, es kopi, dan es kopi susu.
Duduk menyeruput
sedikit demi sedikit kopi khas Tak Kie sendiri seperti mengembalikan pengunjung
pada imajinasi liar kondisi zaman yang berubah pelan-pelan. Bangku-bangku kayu,
berpadu manis dengan meja jati tua dan interior lawas kedai. Di sekeliling,
foto-foto tua menggantung apik di dinding. Ada yang menggambarkan kondisi kedai
yang tak banyak berubah, pengunjung populer, hingga poster film berlatar Tak
Kie. Di sudut ruang, ada bagian dapur terbuka, dengan papan bertulis “Kopi Es
Tak Kie” tergantung di atasnya.
Mencicipi Menu Andalan
Di sini, kopi
biasa dibuat pukul empat pagi. Setiap harinya, cairan kopi akan ditampung di
dalam panci berukuran sedang, dengan harapan, kopi sudah dingin saat kedai
mulai buka pukul tujuh pagi. Ini pula sebabnya, rasa kopi tak berubah atau
justru hilang—bahkan saat ditambahkan es.
Biji-biji kopi
digiling sendiri dengan mesin tradisional yang sudah berumur puluhan tahun. Salah
satu menunya, yakni Es Kopi Tak Kie, merupakan campuran aneka biji kopi, mulai
dari jenis Robusta hingga Arabika dari Lampung, Toraja, bahkan Sidikalang.
Terdapat satu menu
kopi andalan yang harus diminta dengan pesanan khusus. Namanya, kopi Tak Tak
atau kopi “tantangan”. Rasanya sangat kuat; dijamin melek. Ini, adalah hasil
racikan campuran kopi Lampung dengan resep khusus.
Sebagai pelengkap
sensasi, Anda bahkan bisa mencoba cara unik menikmati segelas Kopi Tak
Kie—dengan cakwe. Meski terdengar aneh, namun hal ini lumrah mengingat dahulu,
cakwe sering kali dijadikan sebagai teman minum. Caranya, cukup dicelupkan ke
dalam kopi hingga menyerap hampir putus; lalu langsung dimakan.
Nama “Tak Kie” pada akhirnya dipilih karena
sarat akan makna. “Tak” artinya orang yang bijaksana, sederhana, dan tidak
macam-macam. Sementara “Kie” berarti mudah diingat orang. Bila digabungkan,
maka akan berarti “kedai kopi sederhana yang menyimpan kebijaksanaan dan mudah
diingat orang”. Sama seperti namanya, barangkali esok, lusa, maupun tahun-tahun
yang akan datang, diharapkan nama Tak Kie akan terus dikenal, bukan hanya
karena cita rasa kopinya yang memikat; melainkan juga karena keberadaannya yang
mampu bertahan, meski sudah melewati rangkaian zaman.