Tentang Sesuatu Bernama Firasat, yang Dulu Diabaikan dan Kini Datang Tiba-tiba

21.9.17




Kau tahu, ketika ada yang mengganjal di dadamu, semesta seolah memperlihatkannya pelan-pelan. Melalui terik yang terlalu pagi; commuter line yang lengang; jejak embun pada rerumputan yang anomali; atau bau Bumi sehabis basah membuat kuyup Jakarta.

Aku tidak tahu apa itu pertanda baik, atau justru buruk. Tapi biarlah. Toh kelak, jika diizinkan, jawaban akan hadir di depan matamu sendiri. Anggap saja sebagai persiapan; sehingga nanti, ketika ia datang--kau bisa menghadapinya sendiri. 

Atau jangan-jangan—biarlah aku sedikit menerka—barangkali ini adalah sedikit firasat tentangmu?


***


68.media.tumblr.com


Sekian bulan berlalu, setelah aku mengabaikan firasat. Saat tabir antara benar-salah tidak lagi jelas; atau duniaku yang dahulu hitam-putih kini punya banyak lapis warna. Kau tahu, manusia tidak benar-benar terlahir jahat atau baik. Di tengah-tengahnya, ada bayang samar. Rahasia yang tidak dapat kau ketahui--apalagi bisa kau mengerti.

Ibu bilang, "Seburuk-buruknya manusia, jadilah baik, Nak."

Masalahnya, Bu, mereka yang menyakiti tidak selalu jahat. Lalu bagaimana, jika sesuatu yang kita anggap baik--ternyata berdampak buruk bagi orang lain?

25 tahun kau tinggal dalam kotak kaca. Bak porselen yang tidak tersentuh. Begitu murni, begitu halus. Bebas gores, apalagi luka. Lalu suatu saat, seseorang membuka kotak itu. Meminta izin pada ayah dan ibu; untuk membawamu ikut serta. Agar kau mengenal ruang yang baru, sembari berandai-andai kelak kau akan betah dan tidak lagi sekadar singgah. Aku ingin menjadi rumahmu, katanya. Tempatmu berpulang. Tempatku menyimpan segala bahagia, keluh, dan kesah.

Kau yang mulai jengah dengan kotak kaca, mencari cara untuk ikut serta. Kau yang percaya, hanya ada dua macam orang di dunia: jahat atau baik, antusias menyambut tawaran. Kau tahu, pilihanmu tidak pernah mudah. Tetapi di dunia yang baru, kau tak sabar ingin berbagi kebahagiaan, memberikan nyaman yang kau dapatkan dari kotak kaca. Bersemangat menyelamatkan seseorang dari luka, dari segala ketidakpastian hidup yang penuh risiko.

Namun di sanalah justru kau meluka. Untuk yang pertama, sesakit-sakitnya. Di sanalah matamu terbuka: benar-salah, baik-jahat, hitam-putih, hanyalah relatif. Sementara kau berputar-putar kepayahan, dalam pusar ketidakmengertian: mengapa seseorang bisa menyakiti yang lain sebegitu dalamnya? Mengapa mudah saja untuk menciptakan duka, sementara suka saja belum tentu berarti bahagia?

Aduh Ibu, tidak pernah kau katakan kalau luka bisa seperih ini. Tidak pernah kau bilang padaku, jika mengampuni, ternyata sungguh-sungguh seberat ini.

Atau barangkali, Bu, beginilah cara kau menjagaku sekian lama? Menempatkanku dalam kotak kaca. Membiarkanku tidak tersentuh orang. Mengunci ingatanku pada bahagia, suka, dunia yang putih, jiwa yang murni dan kesanggupan berwelas asih sekian dalam?




You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe