Yang sekarang kuingat, malam itu, kami melintasi jalan-jalan remang. Kami terpaksa mengambil penerbangan malam, karena hanya itu yang tersisa setelah jadwal kepulangan tertunda dua hari. Perasaanku campur aduk. Rute yang tidak familier, juga banyak peristiwa seminggu belakangan yang harus kucerna, membuatku lebih banyak diam, sampai kulihat ada satu nama toko yang menarik mata.
Toko Bahagia. Sekilas
kulihat, itu hanya toko kelontong dengan pencahayaan seadanya. Lampu kecil
warna putih menerangi ruang berukuran sederhana, dengan produk-produk yang
ditata ala kadarnya. Abang duduk di sebelahku, dan lagu Aku Pulang, Sheila
on 7 mengalun dari radio lawas Pak Supir. Lagu yang tahunan lalu
sempat membuatku menangis tak henti di balik masker perjalanan Depok-Tangerang
Selatan; kini rasanya begitu ganjil. Pelan-pelan air juga menggenang, tetapi
bukan karena rasa sakit lagi.
Abang
baru saja berdebat kecil soal jalan. Dengan tenang, ia meladeni Pak Supir yang
terlalu ngeyel ingin meminta tarif lebih. Aku tahu ia sedikit kesal.
Namun, aku diam saja. Untuk kali pertama, aku merasa lebih santai dalam hidup
karena tak perlu mengambil kendali atas semua hal. Untuk kali pertama, hidupku
terasa lebih ringan karena aku percaya, segala sesuatu bisa kami bagi berdua.
Gerimis
kecil turun. Kupikir, bias cahaya akan menyamarkan wajah kami. Namun, Abang
menyadari, titik air juga hinggap di mataku.
”Kok,
kamu jadi ikut-ikutan sedih?” Tanyanya sambil bercanda.
Sebelum
kami pamit, sepupunya memeluk Abang erat. Ia takut Abang kembali ke Jakarta,
karena sebelumnya, tak lama setelah itu, Opung Doli (sebutan untuk kakek dari
pihak ayah) berpulang. Sebetulnya, aku juga sedih akan hal itu. Dalam seminggu,
ada banyak hal mengejutkanku. Begitu jauh dari stigma yang banyak kudengar:
keluarga yang hangat, tak berjarak; ia yang ternyata begitu peduli dan penyayang;
celetukan-celetukan lucu yang mencairkan suasana; juga banyak tangan terbuka
yang membuatku merasa sangat diterima.
Kurang
dari seminggu sebelumnya, Abang mengajakku pulang ke kampung halamannya. Ia
ingin aku bertemu Opung Boru (sebutan untuk nenek dari pihak ayah). Aku
mengiyakan, sebab tidak punya kendala akan jadwal, senang ia punya inisiatif
demikian, dan selebihnya, aku ingin mengikuti arus. Pertemuan kami begitu cepat
dan jika harus, nyaliku masih penuh untuk menabrak semuanya. Kami berbeda
banyak hal: agama, suku, latar belakang. Banyak hal yang terdengar ngeri di
depan. Aku bahkan sudah mempersiapkan diri untuk penolakan. Namun, segala yang
kupikir akan sulit, justru terasa lebih mudah saat bersama Abang. Doa-doaku
begitu cepat terjawab, hingga berkali-kali aku bangun dan menerka: ini betulan
untukku? Ini benar-benar untukku, kan?
Kau tahu, perasaan orang yang begitu seringnya mendapat
penolakan? Ia sulit percaya, ketika hidup berbalik ramah padanya.
”Kamu
kenapa?” Tanyanya lagi.
”Hehe,
nggak apa-apa,” jawabku sambil cengengesan. Aku kesulitan untuk
mendefinisikan perasaan senang, tapi tak percaya. Sedih, karena keluarganya
harus berhadapan dengan kehilangan. Namun, aku lebih banyak terharu dan
bersyukur, karena akhirnya, aku bisa ada di situasi ini.
Abang
mungkin tahu, atau mungkin tidak tahu apa yang benar-benar kurasakan. Telah
kuceritakan padanya hal-hal yang harus kuhadapi tahunan sebelumnya. Tentang
betapa sulitnya memulai pagi dan melanjutkan hidup; atau begitu sulitnya
mengampuni dan berhenti menyalahkan diri. Dan gelontor itu memang datang lagi
pada hari-hari kami di Medan, di kamar masa kecilnya, tapi dengan atmosfer suka
dan rasa syukur.
Karena kali ini aku tahu, tangan Abang selalu siap sedia
menghapusnya dengan sabar.
***
”Tadi
di jalan aku habis ngeliat ada toko, namanya Toko Bahagia.”
”Terus,
kenapa jadi sedih?”
Abang
selalu merespons segalanya dengan logis. Kepalanya lebih banyak mengambil
andil. Kadang, aku meledeknya ’tak punya perasaan’, karena responsnya datar
saat kugelitik. Saat bertemu hal-hal yang membuatnya tak nyaman, ia hampir tak
reaktif. Gerakannya tenang, tetapi mampu bertindak tegas pada hal-hal yang
mungkin menyakiti atau merugikannya. Ia pengamat dan pendengar yang baik. Dalam
satu pertemuan, ia suka mengambil peran sebagai yang bicara seperlunya, sebab
aku tahu, ia melihat hal-hal yang tak tampak pada diri seseorang. Ia mampu
berempati pada apa yang terjadi dan berdiri di posisi yang netral, tak
menghakimi.
Aku
suka mengobrol dengannya. Di tengah jadwal padatnya, ia selalu mau
mendengarkan. Obrolan kami tak pernah melelahkan, sekalipun ada kalanya, kami
tidak sepakat. Ia adalah orang yang mampu menjelaskan seluruh argumennya dengan
runut dan baik; tetapi tak segan berkompromi agar kami dapat menemukan jalan
tengah. Walau aku bisa juga tak setuju, ia banyak memberikanku perspektif baru,
dengan cara yang dapat kuterima. Bersama dia, aku merasa banyak hal menjadi
mudah (meski sebenarnya, dengan orang berbeda, hal sepele bisa saja jadi amat
rumit).
Tidak
sedikit orang yang meragukan kami, karena waktu bertemu yang terlampau cepat. Tak
dapat kumungkiri, selama ini pun aku sulit sekali menjelaskan kepada banyak
orang. Anggaplah situasi kami begitu anomali dan bertabrakan dengan pola-pola. Aku
paham, kekhawatiran mereka tentu beralasan dan mereka ingin aku tak mengalami
hal-hal buruk seperti sebelumnya. Namun, bagaimana aku bisa menjelaskan secara
tepat dan logis tentang intuisi dan ’kebetulan-kebetulan’ yang dalam konteks
ini, lebih condong pada pengalaman imanku?
Ia seperti diberikan Tuhan, pada waktu yang dianggap
tepat. Kataku pada Romo saat
penyelidikan kanonik. Abang datang pada suatu hari yang tenang, tanpa
ekspektasi. Kami bertemu di sebuah kafe di mal Senopati, persis di lantai dasar
gedung kantor klienku. Meeting hari itu berakhir pukul tiga sore, jadi
jadwalku setelahnya cenderung santai. Kami janjian pukul lima dan aku tak
masalah jika harus menunggunya sidang sembari menyelesaikan beberapa pekerjaan
yang tertunda. Tidak ada ruginya. Sekali melangkah, satu-dua pulau terlampaui.
Pukul
lima lewat sekian, sudut mataku mengenali kemeja putihnya. Ia datang dengan
wajah terang dan langkah percaya diri. Dengan tegas, ia ulurkan tangan sambil
memperkenalkan diri. Aku menyambut dengan cara serupa, karena begitulah kupikir
akhirnya: kalaupun tak berhasil, kami akan saling jadi rekan kerja.
Kali
itu, aku tak sulit mencari topik. Tadinya, kukira akan lebih banyak diam karena
sudah di titik pasrah. Ini sudah kali yang tak terhitung aku ’mulai dari awal’,
setelah badai hebat menghantamku lima tahun lalu. Tak terhitung aku pulang
dengan tangan hampa dan luka-luka. Ada masanya pula, aku begitu habis dan
kehilangan rasa percaya. Namun, perjalanan mencari orang yang tepat, banyak
membuatku belajar. Tahun ke tahun, pertemuan demi pertemuan, juga (tak jarang)
luka-luka baru, membuat amunisiku semakin lengkap. Damai yang kudoakan dan
kuupayakan benar-benar datang. Nyaliku semakin besar: seperti bayi yang baru
saja belajar merangkak, sudah tahu sakitnya jatuh, tetapi tak lagi takut untuk
coba lagi. Aku tahu apa yang sudah aku miliki. Aku tahu, aku tidak pernah
dibiarkan menanggung nyeri sendirian.
Pembicaraan
kami mengalir begitu saja, dari nama-nama yang rupanya familier, hingga
sejumlah momen dan kesempatan yang banyak mempertemukan kami pada masa-masa
sebelumnya. Aku makin luwes, entah karena rangkaian kegagalan
sebelumnya, atau ia adalah orang yang membuatku begitu nyaman. Hari-hari
setelahnya, kami kerap bekerja bersama. Ia sebagai panitia atau peserta, dan
aku sebagai mitra, hingga pada akhirnya orang-orang berpikir, pekerjaanlah yang
mempertemukan kami.
Sebenarnya,
ada satu perasaan aneh yang sering sekali kupertanyakan: aku merasa ada
kemantapan. Aku tahu dan sedikit takut akan beragam kesulitan yang mungkin
datang karena perbedaan, tetapi hatiku tidak pernah ragu. Sebuah anomali,
mengingat sejumlah perjumpaan dengan orang sebelumnya, selalu ada bagian diriku
yang bertolak; seperti berhadapan dengan kutub magnet yang berlawanan.
Maka,
itulah. Kami bertemu pada saat yang tepat, ketika aku juga sudah banyak
belajar dan menjadi orang yang jauh lebih baik.
***
Abang
bukan orang yang ekspresif menyampaikan rasa cinta. Itu sebabnya, aku suka
sekali menggodanya dengan pertanyaan-pertanyaan klise. Ia tidak pernah mau
menjawab. Kali terakhir aku dengar ungkapan cinta, adalah 14 Februari. Mungkin
kali kedua, di hari ulang tahunku nanti. Sejujurnya, aku tidak peduli. Setiap
kali, aku merasa dirayakan. Lewat tangan yang selalu sigap menurunkan suhu
pendingin ruangan tepat di angka 26-27 derajat; segelas air yang ia antarkan
saat aku harus menyendiri bekerja di kamar; gerakan suwir daging saat aku
kesulitan makan dengan sendok; hal-hal remeh yang dikabulkan tanpa kuduga;
selimut atau usapan pelan saat tubuhku
refleks kedinginan; tawaran antar dan jemput tanpa diminta; segala inisiatif;
pijatan spontan di bahu saat badanku menunjukkan respons kurang sehat; teman
yang setia, walau akhirnya aku tahu ia banyak tak paham mengapa aku bisa
berjam-jam takjub memandangi kayu-kayu tua, ukiran-ukiran besar di pintu, tegel
lawas, jendela patri dengan kaca-kaca yang menguning; atau waktu bertemu
dan mendengarkan sebanyak yang ia bisa, di tengah seluruh aktivitas padat yang
membayangkannya saja, aku sudah kelelahan.
Kami
baru saja melakukan sesi prewedding. Tak seperti ia yang begitu menggebu
ingin sesi foto, aku justru sebaliknya. Aku tahu diri, sebab begitu payah dalam
hal foto. Gerakan tubuh yang kaku, wajah yang tiba-tiba menegang, atau ekspresi
yang berbeda-beda sudah tentu membuatku enggan berfoto.
Mereka
yang sudah lihat hasil foto kami, mungkin menganggap ini ideku. Kecintaanku
pada bangunan tua sepertinya begitu kentara. Namun, mereka salah. Hampir
seluruh foto dikerjakan Abang. Jauh-jauh hari, ia begitu semangat membuat
konsep, menghubungi fotografer dan bernegosiasi, memilih lokasi, mengolah brief
yang sudah dipersonalisasi berdasarkan karakter dan ’kekuranganku’, mencari
pakaian yang kami gunakan, menentukan mood, hingga berkali-kali
mengingatkan pose ketika aku sudah agak off-side.
Kusadari
satu hal saat melihat-lihat hasil foto mentah yang pagi ini dikirimkan:
ternyata kata kuncinya adalah tempat yang membuatku nyaman. Energiku meningkat
ketika ada di sana. Wajahku berbeda. Lebih bernyawa. Sekalipun belum diedit,
aku suka sekali hasil fotonya. Benar kata mereka: ini sungguh aku, tapi
kali ini—Abang yang buat.
Ternyata begini rasanya, ya. Aku bukan orang yang suka meminta. Hampir tidak pernah,
malah. Alih-alih meminta, dalam hidup, aku cenderung menggapai jalan yang sulit:
jatuh-bangun mengupayakan segala hal. Bukan berarti aku tidak ingin banyak hal kudapatkan
dengan mudah, tetapi aku banyak kecewa. Tak jarang, ’kemudahan’ yang diberikan
manusia sering kali diminta balik dalam banyak rupa. Bersama Abang, semua hal
jadi terasa sangat mudah. Banyak permintaanku yang tersedia begitu saja. Seluruhnya
diberikan dengan tulus, seakan kali ini, semesta benar-benar merangkul dan
memanjakanku. Dan tidak pernah satu malam pun kulewatkan, tanpa rasa syukur dan
ucapan terima kasih.
***
Nama adalah doa. Tiba-tiba aku penasaran alasan si pemilik memilih nama
’Toko Bahagia’. Menurutku, bahagia adalah konsep yang unik. Definisinya bisa
begitu kompleks, tetapi bisa juga sangat sederhana. Dulu, bahagia menurutku
mungkin bisa bermain hingga larut bersama teman, sambil menongkrong membahas hadiah
makanan kemasan atau menonton layar tancap. Aku ingat, hiburan pernikahan di
sekitar rumah menjadi satu-satunya momen di mana jam malamku melonggar. Aku
punya keleluasaan pulang ke rumah hingga pukul 22.00. Semakin dekat jarak
lokasinya, tentu semakin malam aku boleh pulang. Biasanya, Bapak akan memberi
kami sedikit uang jajan untuk membeli kacang rebus atau gulali, yang praktiknya
kuhabiskan untuk membeli kupon hadiah berkonsep judi. Kukatakan lagi, aku
hampir tidak pernah meminta. Hajatan adalah momen langkaku untuk mendapatkan
sedikit uang. Kutukar semua yang kumiliki dengan harapan, jika aku cukup
beruntung, aku bisa memenangkan mainan atau barang berharga lain dengan harga
murah.
Lantas
bahagia saat ini? Sejujurnya hingga kemarin, aku masih kesulitan
mendefinisikannya. Ada bagian dari diriku yang masih menolak dan meraba-raba;
apakah yang kumaksud benar-benar bahagia atau justru rasa senang? Mungkin, itulah
penyebabnya definisi bahagia jadi semakin kompleks ketika dewasa. Karena aku
punya pertimbangan ini dan itu; definisi yang banyak terpapar lingkungan
sekitar; atau mungkin sedari awal persoalannya memang sederhana: karena aku jarang
mengizinkan diriku merasa bahagia.
Ada
masanya aku takut merasa terlalu senang atau bahagia. Aku takut
kesenangan-kesenangan itu akan segera berganti kesedihan. Sementara karena
terlalu terlena, aku belum mempersiapkan mitigasi risiko jika hal-hal buruk
terjadi. Aku terbiasa dengan keteraturan. Jalur ini konstan, tidak seru, tapi
punya kestabilan dan kepastian. Aku tidak suka perubahan ekstrem. Buatku,
kestabilan menjanjikan rasa aman. Satu hal yang kupelajari juga dengan susah
payah, saat bertemu orang-orang kupikir potensial menjadi pasangan hidup.
Aku
masih tidak tahu apa yang ada dalam benak si pemilik toko memilih nama Toko
Bahagia. Mungkin ia ingin toko kecilnya mendatangkan kebahagiaan bagi seisi
rumah. Mungkin, ia ingin etalasenya dipenuhi hal-hal yang membuat si pembeli
bahagia, atau bisa jadi—hanya nama itu yang terlintas dalam benak. Namun,
anggaplah, setelah pencarian panjang dan duduk mengurainya satu per satu, setidaknya
definisi kebahagiaan masa kiniku sudah mulai semakin jelas.
Hal
yang kurasakan saat ini, ’bahagia’ ternyata begitu tenang. Ia tidak berisik dan
menghentak. Tidak ada angin ribut dalam perutmu, barisan kupu-kupu, atau dentum
kembang api dalam dadamu. Bahagia adalah padang rumput yang luas dengan
bunga-bunga lembut. Kau bebas berlari atau merebah, tanpa takut lagi duri dan
kerikil tajam. Kau bahkan jadi begitu berani mencelupkan kaki di air danau yang
dingin. Semilir angin memeluk dan cahaya matahari hangat mengusap wajahmu. Tidak
ada lagi yang membuatmu takut atau cemas. Seperti akhirnya kau pulang dan hatimu
melega menemukan nasi dan lauk panas terhidang di meja; hingga kekalahan atau
kemenangan di medan perang, tidak begitu penting lagi.
***
Lalu ingatanku mengucur deras sepanjang jalan. Kuucap
dengan rasa sakit tetapi ada harapan tinggi di sana: aku percaya, seseorang
akan mencintaiku dengan berani, pada saat yang tepat.
Aku
bukan orang yang mudah percaya. Mungkin karena aku takut rasa percaya akan
tumbuh menjadi harapan yang terlampau tinggi, dan berujung kecewa. Jatuh dari
situasi ini, rasanya sungguh menyakitkan. Maka berbahagialah mereka yang
percaya, apalagi ketika harimu gelap dan sekelilingmu begitu kabur.
Namun,
bagi orang beriman, rasa percaya bergerak melampaui kelogisan. Padaku, dalam
banyak kasus, rasa percaya akhirnya kulemparkan saja ke udara karena sudah
benar-benar pasrah. Hidupku pernah jungkir-balik dalam satu sapuan
pandang. Dengan cara yang tidak mudah, rasanya aku bisa memahami bahwa ketidakpastian, adalah
satu-satunya hal yang pasti di dunia ini.
Hidup
memang suka sekali bercanda dan kerap kali, candaannya pahit. Meski kini kau
tidak ingat lagi, kepahitan-kepahitan ini mampu membangunkanmu tiap malam atau
pagi. Kau terduduk karena rasa sedih yang tak bisa kau gambarkan. Tubuhmu
menggigil menolak sentuhan udara, sekalipun itu selembut kapas.
Rasa
pahit menetap. Ada masanya, ia memudarkan warna dan rasa yang datang padamu. Tentu
kau ingin terus berjalan lurus ke depan, tapi kau lupa membuang kacamata kuda. Hanya
batu-batu yang terlihat, padahal di kanan-kirimu, ada juga
kesenangan-kesenangan kecil yang menyertai. Kau lupa rasanya mengecap manis.
”Jangan
jadi kepahitan yang kamu simpan berlarut-larut,” kata Abang suatu malam. Malam
itu, ’kepahitan’ menjadi topik bicara kami. Sebaik-baiknya, tidak ada yang
luput dari pengalaman pahit. Aku senang kami bertemu setelah aku melarungkan seluruh
pahit ke lautan. Bukan berarti aku sudah benar-benar ’bersih’. Sebagai manusia,
dalam beberapa situasi aku masih kesal sedikit. Namun, seluruh perasaan itu,
tidak lagi dalam kadar yang merusak. Aku bahkan sudah tidak peduli apakah aku
sudah memaafkan atau tidak. Seluruhnya sudah kuterima sebagai bagian dari
perjalanan dan pelajaran; sambil terus berharap—apa pun kehendak Tuhan, yang
baik, terjadilah.
Kurang
dari dua bulan kami akan menikah. Buatku, inilah sebuah awal baru. Aku tidak luput dari banyak kesalahan terdahulu, tetapi aku ingin mulai lagi dengan cara yang
lebih baik. Dengan aku yang lebih baik. Seminggu lalu, kami baru saja
menyelesaikan perjalanan yang buatku, cukup sulit—baik dari segi jarak dan
budaya. Hal baru ini, sempat membuatku kewalahan. Namun, Abang selalu ada di sini
dan menguatkanku. Pun ketika akhirnya pertahananku runtuh juga, ia selalu mau ada
dan terjaga.
Kami tahu, segala hal di depan tidak akan selalu mudah. Perjalanan kami sebelumnya, juga bukan tanpa masalah. Namun, kini segala kerikil itu tidak lagi terasa sulit, seperti yang sebelumnya. Sebagaimana aku ingat, satu tahun lalu akhirnya aku ’meminta’ kepada Bunda Maria dengan rasa pasrah dan air mata, sebagaimana kini aku dipenuhi rasa syukur bahwa kemudahan itu, benar-benar datang.
Ternyata, aku tidak pernah pulang dengan tangan hampa.