KITA BERTEMU LAGI, AKHIRNYA.
Di
dua kursi dan satu meja di tengah kita
Aku
ingat pertemuan terakhir kita
Sedang
bertengkar hebat, lalu diam tak bicara
Tak
ada kata maaf yang terucap
Pun
selamat tinggal tak pernah terdengar
Hanya
ada kata
Cukup
sudah...
Ada suatu masa, manakala
hanya sesak yang membuncah di dada. Kau dan aku duduk di ruang yang sama;
tetapi kita tidak sedang satu frekuensi. Aku, begitu ingin menyentuh, merengkuh
punggungmu, menangis tersedu, dan rebah di dadamu yang biasa nyaman. Namun, kau
tahu, seluruh tubuhku enggan. Otot yang terlampau kaku, barangkali juga soal
nyali yang mundur satu per satu.
Hingga kemudian, satu
sentuhan saja terasa begitu tajam seperti belati. Kita membeku bersisian. Untuk yang
pertama, keheningan yang kita puja, menyakiti sebegitunya. Embusan
karbondioksida menelan habis semua kata-kata. Memberangus seluruh isi hati yang ingin
meledak, menjadikan kita terlampau remuk di dalam. Padahal hidup senantiasa
menuntut untuk berlagak seperti biasa. Seolah manusia tidak pernah tidak
apa-apa.
Setelahnya, entah kau, aku,
atau justru kita berdua ingin pergi. Berjudi dengan segala kemungkinan jika tidak
bertemu lagi. Kembali pada hidup yang setidaknya akan berlanjut begitu-begitu
saja, lalu melepaskan keinginan hati yang telah lama kita biarkan terpatri.
Sama-sama berdamai dengan kehilangan, padahal sungguh--tiada yang lebih nyeri
dari merelakan mimpi yang pelan-pelan kita upayakan sendiri.
Lalu
pergi saling membelakangi diri
Menoleh
untuk terakhir kali tak kita lakui
Benci
memeluk diri...
Dan kita memilih pulang. Tanpa salam
perpisahan atau sekadar hati-hati di jalan. Pun berkali-kali dengan rasa marah,
sebab segala yang kita pikir rumah, ternyata mudah sekali menyerah. Ada kata
pergi yang kita rapal lebih dari satu kali. Bikin
malam selanjutnya terasa sungguh sesak, hingga kita tahu--atau setidaknya
aku yang tahu, tak ada satu malam pun terlewat tanpa mengingatmu. Menerka kabar
dan diam-diam berdoa, apa pun yang akan direstui semesta, semoga kau selalu
baik-baik saja.
Namun
masing-masing kamar kita telah menjadi saksi
Siapa
nama yang kita tangisi?
Dan
bingkai mana yang kita peluk berulang kali
Hingga
jatuh air mata ke dasar
Hingga
menggenang...
Lalu yang kuingat, kegelisahan menyelimuti.
Membuatku terus mengucap mantera: semoga
sinyalku sampai padamu. Semoga seluruh suara hati ini berbisik di telingamu.
Rindu
yang kita tangisi
Haruskah
menipu diri?
Dan
kabar yang diam-diam kita curi...
TAPI ADA SUATU MASA, kita
tersenyum lama. Memandang tiada henti satu sama lain. Memeluk. Bersyukur atas
pertemuan, atas hidup, atas jalan semesta yang tidak pernah bisa tertebak. Terasa
seperti surga; dan hati sungguh bahagia. Kita, frekuensi yang sempat berbeda,
memutuskan untuk kembali bertemu. Puluhan jam penuh duka, resah yang tidak nyaman,
mengirimkan sinyal rinduku padamu. Semoga tetap seperti ini, semoga terus
setenang ini.
Kita
bertemu lagi, akhirnya,
Siapa
peduli cerita di baliknya J
KFC Lenteng Agung,
28 Juli 2018, 01:38
577 hari setelah pertemuan pertama kita.