Maka Terjadilah
16.12.19
Aneh, ketika kau berusaha
mengingat bagaimana rasanya berbunga-bunga dengan yang lalu, tidak ada
satu pun ingatan itu muncul. Kau mengingat setiap momentumnya. Detik dan kali
pertama ia datang menyapa, pembicaraan-pembicaraan di pagi hingga malam, detail
janji dan kata cinta yang amat murah diobral, jalinan tangan, peluk, dan cium
yang begitu erat bersisian, semuanya. Namun, kau lupa bagaimana rasanya.
Seakan-akan, segala kesenangan menghilang dan yang sudah terjadi hanya duka
berkepanjangan.
Lalu kau menyadari, selantang
apa pun kau meneriakkan rasa sayang (meski memang itu sungguh-sungguh ada dan
nyata), kau tidak pernah bahagia. Kau mencintai dalam sedih. Entah karena pada
dasarnya cintamu hanyalah sekumpulan kesedihan; dia yang membuatmu begitu
sedih; atau justru kau, kau yang membuat dirimu sendiri begitu luka, rusak, dan
tidak tersembuhkan.
Sampai pada suatu ketika,
semesta datang dengan kejutan-kejutannya. Sebagaimana kesedihanmu yang lalu
adalah sekumpulan kejutan, kali ini suka terasa nyata di depan mata. Kesenangan satu
per satu hadir dengan cara yang tak disangka-sangka, lewat orang yang bahkan
tidak pernah kau duga. Dan seperti harapanmu, doa dalam nyeri yang kau ucapkan
setiap malam—segalanya berjalan dengan cara yang adil. Tidak satu kali pun kau
merasa salah memulai.
Lalu semua hal berjalan begitu
saja. Pelan-pelan matamu (mungkin hatimu juga—ini yang belum kau benar-benar
ketahui), terbuka pada orang yang entah mengapa, begitu bisa kau percaya.
Bahkan, sekalipun sebelumnya, tidak pernah kau bertukar cerita. Segalanya
terasa benar dengan dia; yang untuk pertama kalinya, membuatmu sungguh-sungguh
memohon pada semesta walau dengan segala harapan yang timbul-tenggelam, sebab
kau pun masih takut menggantungkan ekspektasi terlampau tinggi.
Ia adalah orang yang membuatmu
mau kembali berani dan sungguh berusaha memaafkan diri sendiri. Ia yang
pelan-pelan membuatmu menyadari, sebenci apa pun kau pada hidup, selalu ada
kepak kupu dan terang melingkupimu. Kendati kau tidak ingin sembarang menerka
perasaan ini bernama apa, hatimu menghangat dan melega karena kali ini,
kesedihan tidak lagi menjadi alasan pertamamu untuk menulis.
Sebab
satu-satunya yang kau tahu, di setiap subuh dan larutmu, kau hanya ingin
melihat layar ponselmu dan mendapati namanya di sana.
0 komentar