6.11.24

 

"Life is beautiful because it’s unpredictable and temporary."


Aku ingat menulisnya satu minggu setelah kelulusanmomen paling mengharukan sekaligus tak terduga bagiku. Keesokan harinya, kabar buruk berdatangan satu per satu. Seolah aku langsung saja ’diuji’ dan usai dihajar kabar buruk bertubi-tubi, aku benar-benar habis.

Lalu setelah mengambil jeda beberapa minggu, sesuatu datang ke hidupku. Seorang yang terasa seperti kawan lama, padahal aku sama sekali tidak mengenalnya. Belasan tahun lalu, dunia kami bersinggungan dan siapa sangka—kami sudah mengenal dunia yang sama jauh sebelum itu.

Sama sepertiku, kini ia sedang membangun dunianya sendiri. Namun, pertemuan kami, sama-sama membuat senang. Mengingatkan kami pada masa-masa ringan yang rasanya sudah lama sekali. Semacam perasaan gembira dan lega karena di tengah ramai pasar monokrom dan kau sendirian, tiba-tiba ada yang kau kenal. Ia sepertimu, bingung dan tak ingat apa-apa. Lalu kalian saling mendatangi, pergi nongkrong, bermain gim bersama, membicarakan apa saja, menertawakan apa saja, merenungkan rupa-rupa. Di hadapanmu, dunia kembali berwarna hanya karena pembicaraan soal kemarin.

Hal yang sungguh aneh mengingat sebelum ini, masa lalu kami bahkan tak pernah lebih dari pembicaraan satu kalimat tanya. Aku tak ingin mempertanyakan soal waktu, sebab barangkali inilah ’momennya’. Porsinya pas, tidak lebih dan kurang. Aku menghormati perjalanan hidupnya, pun setiap orang yang menyertainya hingga sekarang.

Namun, yang ingin kukatakan adalah, setelah beberapa kali pertemuan kami, aku kembali membuka beberapa lembar buku lama. Mengunjungi Facebook dan menyadari senyumku banyak terkembang. Seperti kubilang, masa-masa yang ringan, tetapi penuh. Ramai gejolak, mimpi, jatuh-bangun, dan cita-cita. Masa-masa yang hangat, khas usia dua puluh—di mana apa saja yang kau utarakan seperti riak lincah air bening. Melompat-lompat begitu tinggi, sebelum polusi dan gravitasi realitas melemparkanmu begitu keras ke bumi.

Kukatakan padanya bahwa ada rangkaian tahun yang tak kuingat sama sekali. Aku lupa yang kulakukan, bersama siapa, dan mengupayakan apa. Lalu pembicaraan kami menggali momen-momen itu. Menyadari bahwa hidup dapat berjalan begitu temporer, termasuk suka dan duka; kemudahan atau justru masalah.

”Lucu, ya? Hal-hal yang kita rasa begitu berat, begitu gawat, bikin pusing, bikin enggak enak hati, ternyata kalau dipikir sekarang, ’ya ampun cuma begitu?’ atau solusinya padahal mudah banget, tinggal komunikasi dua arah. Tapi dulu, enggak kepikir, kan?” Kataku sambil melahap satu tusuk sate babi yang kebetulan sedikit alot (lihat betapa sederhananya aku mengingat momen hanya dengan kata kunci ’sate babi alot!’).

Lucu untuk mengakui bahwa kami cenderung berpikir ke hal yang kompleks lebih dulu, untuk menyelesaikan masalah yang sebetulnya sederhana. Akan di mana kami sekarang, jika dahulu bisa berupaya semaksimal mungkin untuk hal-hal yang diinginkan, karena tahu kalau gagal pun, kami tidak akan kenapa-kenapa?

Tapi yang kuingat, pembicaraan kami tidak berpusat pada what-if. Kami hanya bercerita untuk menerima bahwa masa lalu ada dan begitulah jalannya. Namun, di masa depan, aku akan berjanji melakukan segala cara, menerobos segala ketakutan dan keraguan, karena yakin, kalaupun jatuh lagi, aku masih akan baik-baik saja.

Saat itu aku merasa sekumpul gelitik udara dingin naik ke tenggorokan. Sensasi yang ganjil: tidak nyeri, tapi penuh harap. ”Mungkin, dan aku berharap, hal yang sama juga bisa terjadi dengan saat ini, ya. Semua yang saat ini terasa begitu rumit, kompleks, semoga bisa jadi mudah di kemudian hari. Atau setidaknya, bisa kita tertawakan dan ceritakan tanpa emosi apa pun di sepuluh-dua puluh tahun lagi,” kataku hati-hati, sebab aku tahu apa yang ia hadapi. Ya, aku memang tidak akan bisa sepenuhnya memahami. Namun, setidaknya aku berupaya berempati, sebab saat ini, hening dan waktu jauh lebih bermakna ketimbang kata-kata. 

Ia mengiyakan singkat, lalu kembali bicara banyak soal masa lalu dengan mata berbinar. Aku tak keberatan untuk mendengarkan, sebab aku menikmati momen ini. Kumohon dalam hati agar tidak sedikit pun melupakan momen ini: senyum yang merekah, setidaknya untuk beberapa jam ke depan. Sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, dan kuharap, kali ini tidak dengan tangan hampa.

Dengan kapasitasku hari itu, rasanya aku bisa mengerti bagaimana kau bangun di suatu pagi, tahu-tahu dunia sudah berjalan tiga dekade lebih. Di kanan-kiri, beberapa kantong kewajiban menatapmu. Kau punya ini dan itu yang orang bilang ’hidup ideal’, tetapi lupa, mimpi juga punya konsekuensi yang dapat mengurasmu habis-habisan. Lalu kau kebingungan karena ada rangkaian tahun yang sama sekali hilang dari ingatan. Aku pernah ada di sana. Mencari tahun-tahun yang hilang dengan hati hampa, sebab ada masanya aku lupa, hari ini bangun untuk apa.

Dan memori—entah itu yang senang atau tidak—membuatku merasa jadi manusiaAku mulai mengingat bahwa karena satu hal, ada tiga tahun yang sengaja kukunci rapat dalam peti buruk rupa, lalu kutimbun sedalam-dalamnya, di lokasi yang tidak pernah kudatangi lagi. Agar aku tidak terluka. Padahal, bagaimanapun, rangkaian itu juga punya hal-hal menyenangkan dan pelajaran berharga. Membuka hal-hal menyenangkan, berarti harus berani merangkul yang sebaliknya. Tak adil jika kau hanya siap dengan satu sisi.  

Aku juga membuka akun SoundcloudLagu-lagu pada eranya yang kudengarkan saat bekerja dari jam sembilan hingga tak terhingga. Berangkat berdesakan di bus kota, sepanjang hari mengejar deadline sampai lupa makan-minum, lalu pulang dengan keringat di kerah dan rasa lelah akan esok yang belum datang. Saat itu, aku banyak mendengarkan musisi lokal: Frau, Banda Neira, Afternoon Talk, Float, The Trees and The Wild, Tulus, Parisude, Gardika Gigih. Hari ini aku putar ulang semua yang tersimpan dan gelitik itu mampir lagi. Seakan aku kembali ada di meja kerja dekat televisi tua, bau tumpukan koran dan buku lawas, mengetik berita. Di kiriku, satu buku catatan kecil berisi to-do-list hari ini, dan di kananku: satu piring rujak buah traktiran para senior tiap sore, menggugah selera.

Aku mengingat lagi masa-masa itu. Aku sudah menjalani profesi impianku sejak SMA hingga kuliah dan menyadari: untuk bisa hidup dalam mimpi kita juga harus mampu merayakan kenyataan yang tak sesuai harapan. Aku sudah lulus dari kuliah tahap dua—sebuah keinginan yang kuupayakan dari balik meja kerja yang sama. Aku sedang menjalani pekerjaan dari mana saja—itu juga bagian dari doaku, ketika luar biasa lelah menghabiskan waktu di jalan. Kini sudah sebulan aku lulus training dan punya legitimasi untuk mengajar—satu lagi keinginan setahun lalu yang terkabul.

Inilah hal-hal yang kulupa: bahwa sering kali aku bangun dan merasa tersesat terlalu jauh, padahal hanya sesekali berhenti di jalur yang sama. Hidup selalu mengembalikanku dengan caranya sendiri, dan aku terlalu banyak fokus pada rasa tidak nyamannya.   

 

***

 

Sembari menunggu film mulai, kami mengunjungi satu toko buku yang pada masanya, jaya sekali. Rencananya, kami ingin bertaruh, masihkah kartu anggota mendapat diskon seperti dahulu? Namun, kami urung, karena setelah berkeliling, aku dan ia tak menemukan satu buku pun yang ingin dibeli. Belasan tahun berlalu, sepertinya toko buku ini baru bergerak maju satu-dua tahun. Tidak ada hal yang baru, kecuali jumlah rak yang semakin sedikit; hilangnya section majalah; atau banyak ruang yang kini terisi dengan rekanan produk mainan dan olahraga. Pun karena satu dan lain hal, lebih dari lima tahun aku tak lagi membeli buku fisik. Kecintaanku pada buku dan fiksi benar-benar turun drastis.

Kuhampiri ia di salah satu lorong nonfiksi, mendapati ia masih sesekali membolak-balik cover dan membaca summmary-nya.

”Udah ketemu?” Tanyanya.

Aku menggeleng. ”Rasanya kayak masih 2014. Cuma tokonya yang mengecil. Dari tadi keliling mau cari rak majalah enggak ada. Mau lihat hal-hal baru. Separah ini, ya?”

Aku bergidik: inilah tahun-tahun yang kulewatkan. Sementara aku banyak bekerja untuk mimpi atau sekadar bertahan hidup hari ini; media massa—khususnya cetak, yang dulu jadi duniaku—telah tergerus sebegitunya. Kini di tengah gempuran media sosial, yang online pun (atau apa pun media massa selain itu) mulai kehilangan taring dan integritasnya. Kau bisa dapat informasi tentang apa saja dalam sekian detik; dan ngerinya, tak lagi mau peduli apakah itu valid atau tidak. Sekadar tahu, sudah bisa jadi modal banyak bicara. Jawaban instan jadi bungkus penghakiman di arena rajam, sementara kita sudah memegang batu kebenaran sendiri-sendiri. Tak terkecuali aku.

Perjalanan kami berlanjut dengan jalan kaki menyusuri gang-gang sempit dan jalanan becek. Berbekal maps di ponsel, kami menuju satu lagi tempat makan populer. Udara makin dingin dan ia beberapa kali menggosok lengan. Kutawarkan naik ojek agar segera sampai tujuan, tapi ia menolak. Katanya, sudah lama sekali ia tidak jalan kaki. Sehabis ini, ia ingin sesekali naik transportasi umum dan banyak jalan kaki.

”Seseorang menginspirasiku untuk banyak-banyak jalan kaki. Ia bilang, kalau sedang banyak pikiran atau emosi, ketimbang reaktif, lebih baik keluar jalan kaki. Sehabis itu, segalanya bisa jadi lebih jelas dan tenang,” tiba-tiba aku ingat A—orang yang dua tahun lalu meninggalkan kecamuk dalam hati: dari yang senang, lega, sedih, hingga kecewa. Kuputuskan untuk memaafkan, melepaskan, lalu mengingat yang baik-baik saja—sebab begitulah, setiap orang, tanpa sadar selalu memeluk alasan di balik perbuatannya.

Hari berakhir dengan satu mangkuk wedang ronde yang kuhabiskan sendirian dengan lahap. Udara dingin menusuk dan kami berjalan kaki pulang untuk menghangatkan diri. Kutahu belakangan, kakinya sedang sakit. Ia tidak bilang, sebab katanya ingin mengobrol lebih lama. Aku pun demikian. Bukan apa-apa; kami hanya seperti teman lama yang tak sengaja bertemu, lalu merayakan memori sebelum kembali pada hidup masing-masing.

Kami berpisah sambil berterima kasih dan mengucap hati-hati di jalan. Katanya di esok hari: malam itu ia tidur sangat nyenyak. Tidur terbaik selama beberapa minggu belakangan. Aku senang, tetapi kubilang saja: efek dari jalan kaki lebih dari sepuluh ribu langkah.

 

***

 

Dengan caranya yang ajaib, hidup selalu mengingatkanku untuk kembali berjalan di jalur. Setelah hari itu, aku mendapatkan banyak energi untuk bekerja, membaca buku, menulis, menggambar, bermusik, dan berolahraga. Aku bahkan berani membuka-buka sejumlah arsip lama, menyelesaikan lirik lagu dua tahun lalu, dan meninjau aneka moodboard untuk menakar upaya melanjutkannya kembali. Aku berjanji untuk mulai lagi; dan seperti yang kukatakan: untuk bisa hidup dalam mimpi kita juga harus mampu merayakan kenyataan yang tak sesuai harapan.

Ia mengantarkanku pulang. Sebelum turun, kukatakan padanya agar jangan ragu mencari bantuan saat kebingungan dan sendirian. Aku tersenyum senang saat ia bilang akan menghubungi sejumlah kawan lama (yang ia ingat sepanjang perjalanan kami) atau sekadar aktif kembali main basket. 

Kami tak lagi mengobrol sejak hari itu karena kesibukan dunia masing-masing. Pun ketika beberapa bulan setelahnya, kutemukan ia berbohong untuk mengupayakan pertemuan-pertemuan kami. Tentu aku kecewa, tetapi aku berdoa, semoga sama sepertiku, ia baik-baik saja dan menemukan lagi arah pulang.  

 

I’ll take you home, just wanna take you home.

I’ll take you home, just wanna take you home.

I’ll take you home, just wanna take you home.

I’ll take you home, just wanna take you home -- I'll Take You Home -- Suara Awan (Ananda, Rara, Gigih, Pepi, Jimi, Suta, Alfin) - 2015.

 

 

Jakarta, Mei 2024

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe