"Life is beautiful because
it’s unpredictable and temporary."
Aku ingat menulisnya satu minggu setelah kelulusan—momen
paling mengharukan sekaligus tak terduga bagiku. Keesokkan harinya, kabar buruk
berdatangan satu per satu. Seolah aku langsung saja ’diuji’ dan usai dihajar
kabar buruk bertubi-tubi, aku benar-benar habis.
Lalu setelah mengambil jeda beberapa minggu,
sesuatu datang ke hidupku. Seorang yang terasa seperti kawan lama, padahal aku
sama sekali tidak mengenalnya. Belasan tahun lalu, dunia kami bersinggungan dan
siapa sangka—kami sudah mengenal dunia yang sama jauh sebelum itu.
Sama sepertiku, kini ia sedang membangun dunianya
sendiri. Namun, pertemuan kami, sama-sama membuat senang. Mengingatkan kami
pada masa-masa ringan yang rasanya sudah lama sekali. Semacam perasaan gembira
dan lega karena di tengah ramai pasar monokrom dan kau sendirian, tiba-tiba ada
yang kau kenal. Ia sepertimu, bingung dan tak ingat apa-apa. Lalu kalian saling
mendatangi, pergi nongkrong, bermain gim bersama, membicarakan
apa saja, menertawakan apa saja, merenungkan rupa-rupa. Di hadapanmu, dunia
kembali berwarna hanya karena pembicaraan soal kemarin.
Hal yang sungguh aneh mengingat sebelum ini, masa
lalu kami bahkan tak pernah lebih dari pembicaraan satu kalimat tanya. Aku tak
ingin mempertanyakan soal waktu, sebab barangkali inilah ’momennya’. Porsinya
pas, tidak lebih dan kurang. Aku menghormati perjalanan hidupnya, pun setiap
orang yang menyertainya hingga sekarang.
Namun, yang ingin kukatakan adalah, setelah
beberapa kali pertemuan kami, aku kembali membuka beberapa lembar buku lama.
Mengunjungi Facebook dan menyadari senyumku banyak terkembang.
Seperti kubilang, masa-masa yang ringan, tetapi penuh. Ramai gejolak, mimpi,
jatuh-bangun, dan cita-cita. Masa-masa yang hangat, khas usia dua puluh—di mana
apa saja yang kau utarakan seperti riak lincah air bening. Melompat-lompat
begitu tinggi, sebelum polusi dan gravitasi realitas melemparkanmu begitu keras
ke bumi.
Kukatakan padanya bahwa ada rangkaian tahun yang
tak kuingat sama sekali. Aku lupa yang kulakukan, bersama siapa, dan
mengupayakan apa. Lalu pembicaraan kami menggali momen-momen itu. Menyadari
bahwa hidup dapat berjalan begitu temporer, termasuk suka dan duka; kemudahan
atau justru masalah.
”Lucu, ya? Hal-hal yang kita rasa begitu berat,
begitu gawat, bikin pusing, bikin enggak enak
hati, ternyata kalau dipikir sekarang, ’ya ampun cuma begitu?’ atau solusinya
padahal mudah banget, tinggal komunikasi dua arah. Tapi
dulu, enggak kepikir, kan?” Kataku sambil melahap satu tusuk
sate babi yang kebetulan sedikit alot (lihat betapa
sederhananya aku mengingat momen hanya dengan kata kunci ’sate babi alot!’).
Lucu untuk mengakui bahwa kami cenderung berpikir
ke hal yang kompleks lebih dulu, untuk menyelesaikan masalah yang sebetulnya
sederhana. Akan di mana kami sekarang, jika dahulu bisa berupaya semaksimal
mungkin untuk hal-hal yang diinginkan, karena tahu kalau gagal pun, kami tidak
akan kenapa-kenapa?
Tapi yang kuingat, pembicaraan kami tidak berpusat
pada what-if. Kami hanya bercerita untuk menerima bahwa masa
lalu ada dan begitulah jalannya. Namun, di masa depan, aku akan berjanji
melakukan segala cara, menerobos segala ketakutan dan keraguan, karena yakin,
kalaupun jatuh lagi, aku masih akan baik-baik saja.
Saat itu aku merasa sekumpul gelitik udara dingin
naik ke tenggorokan. Sensasi yang ganjil: tidak nyeri, tapi penuh harap.
”Mungkin, dan aku berharap, hal yang sama juga bisa terjadi dengan saat ini,
ya. Semua yang saat ini terasa begitu rumit, kompleks, semoga bisa jadi mudah
di kemudian hari. Atau setidaknya, bisa kita tertawakan dan ceritakan tanpa
emosi apa pun di sepuluh-dua puluh tahun lagi,” kataku hati-hati, sebab aku
tahu apa yang ia hadapi. Ya, aku memang tidak akan bisa sepenuhnya memahami. Namun,
setidaknya aku berupaya berempati, sebab saat ini, hening dan waktu jauh lebih
bermakna ketimbang kata-kata.
Ia mengiyakan singkat, lalu kembali bicara banyak
soal masa lalu dengan mata berbinar. Aku tak keberatan untuk mendengarkan,
sebab aku menikmati momen ini. Kumohon dalam hati agar tidak sedikit pun
melupakan momen ini: senyum yang merekah, setidaknya untuk beberapa jam ke
depan. Sebelum kami pulang ke rumah masing-masing, dan kuharap, kali ini tidak
dengan tangan hampa.
Dengan kapasitasku hari itu, rasanya aku bisa
mengerti bagaimana kau bangun di suatu pagi, tahu-tahu dunia sudah berjalan
tiga dekade lebih. Di kanan-kiri, beberapa kantong kewajiban menatapmu. Kau
punya ini dan itu yang orang bilang ’hidup ideal’, tetapi lupa, mimpi juga
punya konsekuensi yang dapat mengurasmu habis-habisan. Lalu kau kebingungan
karena ada rangkaian tahun yang sama sekali hilang dari ingatan. Aku pernah ada
di sana. Mencari tahun-tahun yang hilang dengan hati hampa, sebab ada masanya aku
lupa, hari ini bangun untuk apa.
Dan memori—entah itu yang senang atau
tidak—membuatku merasa jadi manusia. Aku mulai mengingat bahwa
karena satu hal, ada tiga tahun yang sengaja kukunci rapat dalam peti buruk
rupa, lalu kutimbun sedalam-dalamnya, di lokasi yang tidak pernah kudatangi
lagi. Agar aku tidak terluka. Padahal, bagaimanapun, rangkaian itu juga punya
hal-hal menyenangkan dan pelajaran berharga. Membuka hal-hal menyenangkan,
berarti harus berani merangkul yang sebaliknya. Tak adil jika kau hanya siap
dengan satu sisi.
Aku juga membuka akun Soundcloud. Lagu-lagu
pada eranya yang kudengarkan saat bekerja dari jam sembilan hingga tak
terhingga. Berangkat berdesakan di bus kota, sepanjang hari mengejar deadline sampai
lupa makan-minum, lalu pulang dengan keringat di kerah dan rasa lelah akan
esok yang belum datang. Saat itu,
aku banyak mendengarkan musisi lokal: Frau, Banda Neira, Afternoon Talk, Float,
The Trees and The Wild, Tulus, Parisude, Gardika Gigih. Hari ini aku putar ulang semua
yang tersimpan dan gelitik itu mampir lagi. Seakan aku kembali ada di meja
kerja dekat televisi tua, bau tumpukan koran dan buku lawas,
mengetik berita. Di kiriku, satu buku catatan kecil berisi to-do-list hari
ini, dan di kananku: satu piring rujak buah traktiran para senior tiap sore,
menggugah selera.
Aku mengingat lagi masa-masa itu. Aku sudah
menjalani profesi impianku sejak SMA hingga kuliah dan menyadari: untuk bisa
hidup dalam mimpi kita juga harus mampu merayakan kenyataan yang tak sesuai
harapan. Aku sudah lulus dari kuliah tahap dua—sebuah keinginan yang kuupayakan
dari balik meja kerja yang sama. Aku sedang menjalani pekerjaan dari mana
saja—itu juga bagian dari doaku, ketika luar biasa lelah menghabiskan waktu di
jalan. Kini sudah sebulan aku lulus training dan punya
legitimasi untuk mengajar—satu lagi keinginan setahun lalu yang terkabul.
Inilah hal-hal yang kulupa: bahwa sering kali aku
bangun dan merasa tersesat terlalu jauh, padahal hanya sesekali berhenti di
jalur yang sama. Hidup selalu mengembalikanku dengan caranya sendiri, dan aku
terlalu banyak fokus pada rasa tidak nyamannya.
***
Sembari menunggu film mulai, kami mengunjungi satu
toko buku yang pada masanya, jaya sekali. Rencananya, kami ingin bertaruh,
masihkah kartu anggota mendapat diskon seperti dahulu? Namun, kami urung,
karena setelah berkeliling, aku dan ia tak menemukan satu buku pun yang ingin
dibeli. Belasan tahun berlalu, sepertinya toko buku ini baru bergerak maju
satu-dua tahun. Tidak ada hal yang baru, kecuali jumlah rak yang semakin
sedikit; hilangnya section majalah; atau banyak ruang yang
kini terisi dengan rekanan produk mainan dan olahraga. Pun karena satu dan lain
hal, lebih dari lima tahun aku tak lagi membeli buku fisik. Kecintaanku pada
buku dan fiksi benar-benar turun drastis.
Kuhampiri ia di salah satu lorong nonfiksi,
mendapati ia masih sesekali membolak-balik cover dan
membaca summmary-nya.
”Udah ketemu?” Tanyanya.
Aku menggeleng. ”Rasanya kayak masih
2014. Cuma tokonya yang mengecil. Dari tadi keliling mau cari rak majalah enggak ada.
Mau lihat hal-hal baru. Separah ini, ya?”
Aku bergidik: inilah tahun-tahun yang kulewatkan.
Sementara aku banyak bekerja untuk mimpi atau sekadar bertahan hidup hari ini;
media massa—khususnya cetak, yang dulu jadi duniaku—telah tergerus sebegitunya.
Kini di tengah gempuran media sosial, yang online pun (atau
apa pun media massa selain itu) mulai kehilangan taring dan integritasnya. Kau
bisa dapat informasi tentang apa saja dalam sekian detik; dan ngerinya, tak
lagi mau peduli apakah itu valid atau tidak. Sekadar tahu, sudah bisa jadi
modal banyak bicara. Jawaban instan jadi bungkus penghakiman di arena rajam, sementara
kita sudah memegang batu kebenaran sendiri-sendiri. Tak terkecuali aku.
Perjalanan kami berlanjut dengan jalan kaki
menyusuri gang-gang sempit dan jalanan becek. Berbekal maps di
ponsel, kami menuju satu lagi tempat makan populer. Udara makin dingin dan ia
beberapa kali menggosok lengan. Kutawarkan naik ojek agar segera sampai tujuan,
tapi ia menolak. Katanya, sudah lama sekali ia tidak jalan kaki. Sehabis ini,
ia ingin sesekali naik transportasi umum dan banyak jalan kaki.
”Seseorang menginspirasiku untuk banyak-banyak
jalan kaki. Ia bilang, kalau sedang banyak pikiran atau emosi, ketimbang
reaktif, lebih baik keluar jalan kaki. Sehabis itu, segalanya bisa jadi lebih
jelas dan tenang,” tiba-tiba aku ingat A—orang yang dua tahun lalu meninggalkan
kecamuk dalam hati: dari yang senang, lega, sedih, hingga kecewa. Kuputuskan untuk
memaafkan, melepaskan, lalu mengingat yang baik-baik saja—sebab begitulah,
setiap orang, tanpa sadar selalu memeluk alasan di balik perbuatannya.
Hari berakhir dengan satu mangkuk wedang ronde yang
kuhabiskan sendirian dengan lahap. Udara dingin menusuk dan kami berjalan kaki
pulang untuk menghangatkan diri. Kutahu belakangan, kakinya sedang sakit. Ia
tidak bilang, sebab katanya ingin mengobrol lebih lama. Aku pun demikian. Bukan
apa-apa; kami hanya seperti teman lama yang tak sengaja bertemu, lalu merayakan
memori sebelum kembali pada hidup masing-masing.
Kami berpisah sambil berterima kasih dan mengucap
hati-hati di jalan. Katanya di esok hari: malam itu ia tidur sangat nyenyak.
Tidur terbaik selama beberapa minggu belakangan. Aku senang, tetapi kubilang
saja: efek dari jalan kaki lebih dari sepuluh ribu langkah.
***
Dengan caranya yang ajaib, hidup selalu
mengingatkanku untuk kembali berjalan di jalur. Setelah hari itu, aku
mendapatkan banyak energi untuk bekerja, membaca buku, menulis, menggambar,
bermusik, dan berolahraga. Aku bahkan berani membuka-buka sejumlah arsip lama,
menyelesaikan lirik lagu dua tahun lalu, dan meninjau aneka moodboard untuk
menakar upaya melanjutkannya kembali. Aku berjanji untuk mulai lagi; dan
seperti yang kukatakan: untuk bisa hidup dalam mimpi kita juga harus mampu
merayakan kenyataan yang tak sesuai harapan.
Ia mengantarkanku pulang. Sebelum turun, kukatakan
padanya agar jangan ragu mencari bantuan saat kebingungan dan sendirian. Aku
tersenyum senang saat ia bilang akan menghubungi sejumlah kawan lama (yang ia
ingat sepanjang perjalanan kami) atau sekadar aktif kembali main basket.
Kami tak lagi mengobrol sejak hari itu karena
kesibukan dunia masing-masing. Pun ketika beberapa bulan setelahnya, kutemukan
ia berbohong untuk mengupayakan pertemuan-pertemuan kami. Tentu aku kecewa, tetapi
aku berdoa, semoga sama sepertiku, ia baik-baik saja dan menemukan lagi arah
pulang.
I’ll
take you home, just wanna take you home.
I’ll
take you home, just wanna take you home.
I’ll
take you home, just wanna take you home.
I’ll
take you home, just wanna take you home -- I'll Take You Home -- Suara Awan (Ananda, Rara,
Gigih, Pepi, Jimi, Suta, Alfin) - 2015.
Jakarta,
Mei 2024