Semangkuk Besar Es Krim untuk Ibu dan Setangkup Rindu
8.4.20
Perempuan itu memesannya pada rintik
air yang tahu-tahu mengguyur basah di bulan Desember. Saat gerimis kecil
perlahan menjelma badai, dan gemercik bola air melompat, lalu memantul keras di
jalanan aspal. Sang Pelayan, meski sudah hafal pesanannya: semangkuk besar es
krim rasa vanili, bertabur buah plum, dan aromanya rhum—tetap saja
bertanya-tanya, mengapa pelanggannya yang satu ini tak pernah kapok memesan es
krim di situ.
Sembari lewat menyapa dengan senyum si
penjaga kasir dan membayar pesanan lebih dulu, perempuan itu duduk acak di satu
set meja-kursi kosong pinggir jendela. Dari baliknya, bintik-bintik air
hinggap, menjelma bebayang embun yang menghalangi jarak pandang. Menyebabkan
matanya, kini hanya mampu menangkap bias-bias oranye dan merah lampu kendaraan
berpendar. Di udara, alunan nada penyanyi jazz yang asing menggema di telinga.
Riuh klakson mobil dan deru sepeda motor yang sedari tadi menemani perjalanan,
tertinggal, hilang tak bersisa.
Sambil menyeka jejak embun pada jendela
berbingkai persegi, perempuan itu lalu tersenyum canggung saat melihat pantulan
jelas wajahnya di hadapan. Ia telah datang terburu-buru hingga tak menyadari:
rona merah darah lipstik menempel terlalu tebal di bibirnya yang
tipis; tebal alis yang tak seimbang; bahkan ia lupa mengenakan perona pipi! Ia
cuma bisa malu sendiri. Tak pernah sebelumnya ia melewatkan hal sebanyak ini.
Pesanannya sendiri belum datang, jadi sesungguhnya ia punya waktu untuk
menelisik lagi ketidakjeliannya. Barangkali karena restoran kecil ini sedang
ramai-ramainya dan ia bisa melega, sebab tak akan ada seorang pun yang peduli
kekeliruan ini.
Ia biasa duduk di sini pukul empat,
pada setiap tanggal sepuluh bulan basah. Saat ini baru pukul tiga kurang. Ada
seseorang yang sedang ia tunggu dan ia sangat tak ingin terlambat. Jika perlu,
ia akan hadir sedini mungkin. Seharusnya sepuluh menit lagi orang itu datang
dan perempuan itu terus saja duduk menghitung. Keterlambatan adalah fatal
buatnya dan menunggu adalah hal yang membosankan. Maka lagi-lagi ia sengaja
mengedarkan pandangannya ke sekeliling: seorang ibu yang duduk gelisah,
menepuk-nepuk pundak sang anak yang rupanya lapar bukan kepalang; seorang pria
paruh baya sibuk bertanya pada setiap pelayan yang mondar-mandir di hadapannya;
baru saja, satu pasangan kekasih justru melenggang keluar—membatalkan pesanan.
Dengan bersabar, dan duduk dengan diam—ia sendiri sudah cukup lumayan.
Pandangannya beralih menuju mejanya
sendiri. Satu pot bunga plastik bertulis ‘Made in Taiwan’ di bagian
dasar menghiasi ujung meja kecil cokelat muda—asli mahoni. Baru
saja ia sadar, ada cacat di ujung kaki meja sebelah kiri. Bagian
yang takik itu, ternyata selama ini diganjal pecahan keramik
warna kunyit. Seluruhnya tersembunyi dan menyaru di balik lapisan karpet
penutup lantai warna biru langit.
Empat pepucuk bunga krisan warna putih,
kuning, oranye, dan merah muda bertengger dengan selaras di dalam pot.
Seluruhnya imitasi—dan ia jelas tak tahu pasti berapa seharusnya jumlah yang
sesuai. Di meja lain, ia menghitung setidaknya ada lima hingga enam buah,
setangkai-dua tangkai lebih banyak daripada yang ia punya. Di ujung kelopak,
setitik debu ia seka dengan selembar tisu yang ia raih dari kanan siku, sambil
menerka: sejak kapan dan bagaimana bisa sang pemilik melewatkannya? Sebuah buku
menu berisi daftar macam-macam sengaja ditinggalkan pelayan di hadapannya.
Namun, nafsunya sekarang hanyalah semangkuk besar es krim. Harus rasa vanili,
dengan taburan buah plum, dan aroma rhum.
Satu menit lagi, dan dari jauh, ia
menangkap mata orang yang dicarinya berjalan tergesa. Seorang laki-laki
berpakaian necis, dengan rambut dan sepatu sama mengilatnya, buru-buru
menghampiri meja, menarik kursi kayu, dan duduk di seberangnya. Laki-laki itu
tersenyum, dibalas dengan anggukan tenang si perempuan.
“Sudah lama ya, Mbak? Maaf aku hampir
saja telat. Nggak biasanya, resto ramai begini, sedang ada banyak pesanan
soalnya,” kata laki-laki itu merasa tak enak, tetapi tersenyum senang ketika
matanya mengedari sekitar. Sedang ada perayaan di situ, ulang tahun seorang
nenek berusia hampir seratus tahun. Satu keluarga besar yang terdiri atas
puluhan orang datang berkunjung. Sambil bernostalgia, seluruhnya tersenyum
senang. Tak biasanya tempat ini lepas dari nuansa muram.
Sang perempuan hanya menjawab
pernyataan itu dengan kedua tangan yang cekatan mampir di kerah laki-laki itu.
“Kerahnya sampai terbalik, tuh. Setrikanya kurang panas, ya? Jangan sampai lecek
begini, nggak enak dilihat sama pelanggan, Dit.”
Si laki-laki tersenyum paham. Tahunan
telah berlalu, orang di hadapannya tetaplah sama. Rutinitasnya, kepekaannya,
tak kurang kegelisahannya. Ia memandang lekat si perempuan yang menggiringnya
kembali ke masa silam. Sungguh betul, ia hafal garis muka itu atau terampil
tangan yang beberapa detik lalu mampir di kerahnya. Ia mengenali bau tubuh,
lapis senyum gingsul yang serta-merta muncul diwariskan masa lalu. Namun,
tahunan telah berjalan. Segalanya berubah dan waktu, tetap saja tak mau tahu.
Selalu ada masanya hal-hal akan pergi atau justru berganti. Dan si laki-laki
paham, mereka yang tak bisa menerimanya, akan selalu jadi yang tertinggal di
belakang.
Maka dengan hati-hati yang sama,
laki-laki itu memberanikan diri bertanya, dengan nada menggantung di akhirnya,
“Mbak Sekar baik-baik, kan?”
Sebuah pertanyaan basa-basi, sebab ia
sendiri tahu jawabannya.
“Kamu tahu aku selalu baik, Dit.”
Ada kejap tak terima dalam bola mata si
laki-laki saat perempuan itu menjawab singkat. Datar dan tetap tenang seperti
telaga, padahal gelombang badai pernah menabrak dan meluluhlantakkannya dalam
sekejap. Namun, si laki-laki itu terus memilih menyembunyikannya rapat. Dan si
perempuan, dalam mata yang sibuk mengitari sekitar, telanjur menjatuhkan
jangkar pandangnya pada gerak pelayan yang bolak-balik mengantarkan
pesanan.
Si perempuan gelisah. Ia melirik
putaran jarum jam yang tersemat di lengan kirinya. Es krim pesanannya belum
juga datang.
Maka laki-laki itu memanggil salah satu
pelayannya yang dengan sigap menghampiri meja mereka. Sang pelayan tahu: ia
harus tetap mengatakan hal yang sama, “Maaf, Mbak, kebetulan stok es krim kami
sudah habis. Mau diganti pesanan lain? Kami punya banyak menu baru bulan
ini...”
Namun, belum sempat si pelayan
mengakhiri penawarannya, laki-laki yang dipanggil Dito menghela nafas,
lalu buru-buru mengisyaratkan sang pelayan untuk pergi. Seolah ia telah
mengatakan hal yang berkali-kali jumlahnya kepada perempuan ini, dan tetap saja
perempuan ini tak pernah mengerti.
“Mbak Sekar,” pelan-pelan Dito berkata,
“Mbak tahu, kan, kita sudah nggak produksi es krim lagi sejak Ibu...”
Ada hening yang menggantung di ujung
bibir. Ada sekumpul gelitik dingin yang menjalari punggung, bergerak merambati
sumsum tulang belakang, lalu naik ke kerongkongan. Namun, dengan cekat yang ia
tahu berusaha menghambatnya, Dito memutuskan untuk tetap berbicara. Dengan
helaan nafas panjang dan wajah nanar yang lagi-lagi tak sanggup ia sembunyikan.
“Nggak ada menu es krim di sini, Mbak. Sudah nggak ada.”
Lalu perempuan itu menatap sang
laki-laki sebentar, sebelum kembali mengedarkan pandang ke sekitar. Seharusnya
ia sudah terbiasa. Tahunan ia selalu datang ke tempat yang sama, di tiap awal
bulan basah—dan Dito—sang adik, tetap setia berada di sana. Seluruhnya
seharusnya tak berubah, seluruhnya seharusnya masih tetap sama.
“Kalau sudah habis, aku bisa cari di
tempat lain, Dit.”
“Tapi, Mbak...”
“Ada toko es krim yang baru dibuka di
ujung jalan sana, kan?”
Lagi-lagi Dito menghela nafas. Ia tak
punya pilihan kecuali mengiyakan. Kata “iya” dalam bungkam yang lagi-lagi sama.
Pemakluman, rasa manut yang tak ada habisnya. Ia tak pernah menang
melawan perempuan di hadapannya. Ia memilih kalah, bahkan sebelum berperang.
Maka setelah hening mengambang di ujung, Dito bersuara:
“Sampai kapan, Mbak? Sudah lima tahun
seperti ini.”
Perempuan itu tak menatapnya. Matanya
sibuk berkeliling. Menyelisik sekitar, menghitung berapa banyak hal-hal yang
sudah tak lagi sama, atau barangkali ia tetap bertanya-tanya, mengapa es krim
pesanannya tak kunjung datang. Tak lama ia teringat. Ada hal-hal yang hampir
saja ia lupakan.
“Dito, ada debu di ujung sini. Jangan
sampai kotor-kotor.”
Dito yang frustrasi. Dito yang habis
akal, dan laki-laki itu tak punya jawaban lain. “Iya, Mbak.”
“Bunga di meja ini kurang satu, Dit.
Besok dicari satu lagi, ya, biar seimbang.”
Lalu perempuan itu bangkit berlalu,
melangkahkan kaki untuk mencari pesanannya yang tak lagi ada di sana,
meninggalkan sang adik yang tak lagi tahu harus berbuat apa. Dito tak mengejar,
ia merelakan. Hari-hari telah berubah dan keberaniannya cuma sebesar debu yang
terbawa angin ketika badai menampakkan wujudnya. Barangkali karena ia cuma
debu. Rasa sakitnya hanyalah sementara, sebab dalam hitungan detik ia bisa
terbang, berpindah, meloncat, melarut, atau justru kabur meninggalkan.
Namun, Dito tahu, perempuan itulah
kapal besar yang karam. Ia tujuan yang kehilangan nakhoda. Tahunan lalu,
gelombang badai besar datang dan memecahnya jadi kepingan. Dito mengerti, sakit
dan rindunya bisa jadi selamanya. Serpih-serpih pecahannya akan selalu ada,
terombang-ambing dihanyut ombak, atau justru tenggelam menjelma karang di dasar
pusaran. Selalu ada bekas, yang tak serta-merta hilang hanya dengan kata
ikhlas. Dan sebelum perempuan itu benar-benar beranjak pergi. Dito memanggil:
“Mbak Sekar,”
“Ya?”
“Jangan terlalu lama, ya.”
“Apanya?”
“Kenangannya. Rindunya.”
Ada satu hal yang perempuan itu sadar:
tahunan telah berganti dan ritual itu tak lagi sama. Adiknya tentu tak pernah
paham itu. Barangkali cuma ia yang mengerti, betapa berharganya kenangan yang
harus terus menjadi candu. Namun, ia terus berlalu, membawa setangkup rindu
yang wajib jadi utuh hari ini, mewujud dalam semangkuk besar es krim rasa
vanili, bertabur buah plum, dan wangi rhum.
Sambil berlalu, tak peduli bahkan jika
harus kembali menerjang hujan, ia melintasi celah jalan, lalu melewati para
pelanggan yang duduk santai di sisi kanan dan kiri. Matanya terus mengedari
sekitar, menghitung seberapa banyak perubahan telah terjadi: seorang tetangga
yang dahulu gemuk, kini telah langsing semampai bak model papan atas; jam antik
yang tak lagi ada; cat dinding yang seharusnya telah mengelupas di bagian atas,
tetapi kini tertutupi oleh wallpaper corak kembang; sebuah
keluarga kecil tertawa riang sambil menyantap seloyang besar pizza; jumlah set
meja-kursi yang kini bertambah dua pasang; seorang pelayan yang mengenakan make
up terlalu tebal; meja kasir yang catnya telah berganti; hingga fasad
restoran yang sepenuhnya berubah. Banyak hal telah ia lihat dan tak pernah
luput, tetapi ketika tak juga ia temukan menu es krim di situ, ia kembali
sadar, bahwa kejelian pun ternyata tak mampu membuatnya memahami: mungkin sudah
ada banyak hal yang terlewat.
Sementara kenangan, akan terus berjalan
lambat dan hanya sudi memenuhi kepala orang-orang yang mengingat.
0 komentar