Bulan di Kotamu, Bayangan di Kotaku

8.4.20





Kau pernah bilangpara pemikir kesukaanmu menyebut bulan sebagai dewi kecantikan. Namun, aku bilang, bulan hanya benda bulat yang punya banyak bopeng di wajahnya. Ia tidak bercahaya, hanya memantulkan cahaya. Kemudian kau berkelit dan menceritakan padaku banyak sejarah peradaban yang menggantungkan dirinya pada, bulan.


Yogyakarta, Januari 2000.


Percakapan kita malam itu tentu masih terngiang di kepalaku, mengendap di otakku, lalu hatiku. Kita berbeda. Kau memandang segala hal dengan hati, sementara aku, akan selalu mati-matian mencari alasan logisnya. Tidak tahu mana yang benar, yang jelas tak mungkin aku yang salah atau kau.


Seperti kali ini. Malam ini. Belum sampai pukul sepuluh dan aku terlampau asyik membenamkan pikiranku di bawah atap teras depan. Sesekali jujur saja, aku masih mengingatmu, mencari sisa kata-katamu, sebab aku yakin benar, ada bagian dirimu yang tertinggal di sini.


Sudah sepi di sekitar. Listrik di kotaku mendadak padam. Membuat dua kompleks pemukiman yang dikelilingi kebun dan sawah jadi begitu gelap. Jika kau ada, aku tahu mulutmu tak akan berhenti mencecar, mempertanyakan kebijakan ini-itu, dan setelahnya sikap tubuhmu akan jadi gelisah betul—sebab sudah sepuluh tahun berlalu, kota kita masih saja jauh dari peradaban.


Beruntung, bukan hanya kau yang gelisah sendiri. Listrik padam juga membuatku tidak bisa melanjutkan pekerjaan, padahal setengah jam lalu, telah habis tenggatku. Jadi, inilah diriku kini: duduk sendiri di teras depan, menatap langit, menikmati secangkir teh panas yang tidak juga dingin, dan membayangkan hal paling muskil: kau minggat dari kota modern itu lalu kembali ke sini, ke tempat ini, di waktu sepuluh tahun lalu.


Kau jelas sudah berbeda. Hebat. Kata pertama yang paling cocok untuk kuucapkan padamu. Keren, padanan kedua. Menggunakan kemeja lengan panjang, sering kali berbalut jas berlapis beludru mungkin sedikit membuatmu gerah, tetapi itulah simbol kekuatan yang selalu ingin kau raih. Dan aku sungguh ingat, suatu hari kau menceritakan padaku dengan gairah yang meledak-ledak, bahwa semua orang di kotamu inginkan simbol itu. Hanya yang kuat, yang akan menang. Katamu kemudian. Ah, maka ingatlah aku padanan ketiga yang cocok untukmu: kuat.  


Aku meniup teh yang masih belum dingin. Menyeruputnya sedikit, lalu meniupnya lagi. Masih panas. Sepanas inikah neraka yang selalu kau sanjung sebagai surga?


Di cakrawalaku, bulan bercahaya terang sekali. Bulatan yang utuh, berwarna jingga, favoritmu. Kau pernah bilang, inilah bulan paling indah yang tidak hanya bisa dilihat, tetapi juga didengarkan, dan dirasakan.


Lalu risik pepohonan membuatku beralih ke satu titik. Bayangan. Tidak ada cahaya. Listrik masih padam dan sinar lilinku tak akan cukup untuk membentuk bayangan sebesar ini.


Bulan punya cahaya. Ia menerangi. Katamu tenang, benar.


Namun, waktu berjalan. Begitupun dengan bulan, atau mungkin hidup. Aku kira rodanya telah berputar terlalu ekstrem dan kita—telanjur berubah jadi pribadi yang berbeda, tetapi tetap bertolak belakang. Kau mencoba berpikir masuk akal, sementara aku yang sudah lama kehilangan akal—ikut-ikutan sepertimu: dengan perasaan, hati, keindahan.


Aku tahu, sama seperti tahun-tahun yang lalu, hatimu akan sungguh bergembira melihat liuk bebayang pohon tertiup angin di sini. Kau akan berjingkrak, lalu kita akan sama-sama bermain tebak bayangan tangan, seolah-olah lupa, sekian lamanya gelap telah jadi musuh bersama. Namun, mungkin saja kau—di kota yang terlampau canggih itu sedang menikmati ribuan pendar cahaya di layar raksasa. Dan tak memperhatikan, bulan kali ini berwarna jingga.


Bulan di kotamu mungkin sudah tergusur oleh gemerlap lampu penerangan yang membuatmu, serta orang-orang di kotamu buta untuk melihat ke sana. Membuatmu dan seluruh orang di sana lupa, walau sekadar menyadari, ada bayangan yang terpantul di tempatmu menjejak—sehingga kau dan orang-orang di kotamu yang sudah mati rasa itu bisa sama-sama mengingat bulan.


***

Angin masih berembus dan bayangan menari ke kanan dan kiri mengikutinya. Bayangan itu masih ada, begitupun bulan, dan aku.


Cuma kau yang menghilang. Bukan ditelan bumi, tetapi ditelan hatimu yang telanjur beku oleh kotamu sendiri.


Dan aku bisa menebak, lagi dan lagi, seperti apa neraka yang selalu kau sebut surga.



Bulan malam ini mungkin masih ada di kotamu, tetapi bayangannya jelas ada di kotaku.





Jakarta, 12 Januari 2010.  


You Might Also Like

2 komentar

  1. Kak bisa sertakan nama penulis agar yang baca bisa menuliskan dengan kredit. Tulisan disini sangat istimewa

    BalasHapus

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe