Seperti meminta sepuluh orang mengelilingi seekor kambing, lalu menjelaskan apa yang ada di depannya, begitulah cara manusia memandang kebenaran.
Ada yang hanya melihat bagian ekor, kepala, dua sisi kaki, atau gerombol
bulu putih halus. Seluruhnya tidak salah. Hanya tidak penuh.
Seorang yang bijak memiliki kemampuan untuk berjarak, keinginan
mendengarkan, dan mengetahui dari sudut mana ia melihat sesuatu untuk menjalin
keutuhan—sebelum ia menentukan langkah lanjutan yang dapat mengakomodasi
kebutuhan semua pihak secara adil.
Namun, sekalipun sudah (dirasa) utuh, satu hal belum tentu dapat disebut
kebenaran. Keputusan seorang bijak pun, tidak dapat dihayati sebagai kebenaran.
Sebab sesungguhnya realitas adalah abstrak yang ingin selalu kita bentuk menjadi utuh, mutlak, agar bisa dipahami.
Bahkan “kambing” adalah term yang kita pilih atau sepakati. Sebuah
konsep ajek yang kita susun sendiri
untuk mendefinisikan hewan berkaki empat, berbulu, bersuara ‘mbek’, dan segenap ciri lain yang melekat
padanya.
Mengapa tidak kita sebut sebagai “jamur” atau “sapi” yang sama-sama
berkaki empat? Karena sejak dulu kita telah menyepakati dan diajarkan secara
turun-temurun untuk mengidentifikasikan semua ciri tersebut sebagai “kambing”.
Seiring waktu, kita bahkan sudah lupa bahwa “kambing” sebenarnya adalah sebuah
konsep. Kini, tanpa perlu berpikir, kita akan langsung menyebut hewan berkaki
empat, berbulu, bersuara ‘mbek' sebagai “kambing”.
Lalu kita melupakan “kambing” sebagai konsep bentukan, dan menghayatinya sebagai kebenaran.
Hal yang sama terjadi pada kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Kebangsaan, seksualitas, atau agama dan sains yang hampir selalu bertubrukan. Tidak ada benar-salah, sebab membangun konsep, adalah kemampuan intelektual yang digunakan secara kreatif oleh manusia untuk memaknai sekitarnya. Menciptakan konsep adalah salah satu insting manusia bertahan hidup.
Ketika sedang mencari kebenaran, sebetulnya manusia juga sedang mencari
pegangan untuk mengorientasikan hidupnya (karena sebetulnya kita enggan
terus-menerus bertanya, ‘mengambang-ambang’, dan tanpa pijakan saat berhadapan
dengan segala tanda, atau realitas yang ada di sekitar).
Lalu menjadi lazim, bahwa setelah menemukannya—kita memiliki
kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari sudut pandang tersebut.
Kebenaran akan terus diperbarui saat ia bertemu dengan konsep lain di luar yang telah kita yakini. Namun untuk terus menjadi baru, kebenaran membutuhkan waktu—atau paling tidak: penyangkalan. Sebagaimana kita bersikeras mengajari bahwa langit berwarna ‘biru’ atau daun ‘hijau’, saat melihat anak-anak mewarnai langit mereka dengan ‘ungu’ atau daun dengan ‘merah’.
Memaksakan
diri menemukan kebenaran mutlak, bisa jadi adalah memaksakan kehendak pada
gagasan tertentu. Sebab, kebenaran tidak pernah mudah memunculkan dirinya. Kebenaran begitu cair dan
selalu bergantung pada penafsiran manusia.
Sampai di sini, kita tidak akan pernah mempermasalahkan mengapa A lebih
memercayai satu hal ketimbang hal lain. Sampai di sini, kita akan mengerti,
sama seperti kita—orang lain juga memiliki cara untuk memaknai dunianya.
Kekacauan terjadi ketika kita tidak memahami dan memaksakan kebenaran versi
kita. Kesemrawutan hadir karena kita menginginkan satu konsep tunggal untuk menyeragamkan kompleksitas manusia.
Padahal, konsep kebenaran yang kita punya selalu bergantung pada hal-hal
yang ingin atau tidak ingin kita percayai.
Pun dengan
perspektif kebenaran yang Anda baca sekarang.