Lorong Waktu
13.8.20
Satu
tahun lalu, malam-malam pernah terasa seperti neraka baru. Ingatan-ingatan
kekecewaan dan pertanyaan ‘mengapa’, memenuhi kepala. Membikin dada begitu
sesak, tangan gemetar. Genangan tidak mau berhenti mengalir. Keinginan buruk
apa saja datang. Segala ketidakmungkinan yang jika ingat, kini justru saya pertanyakan
habis-habisan.
Setelah
membabat habis tiga musim Dark, saya
jadi berandai-andai, jika mesin dan lorong waktu benar-benar ada, saya ingin
kembali ke masa lalu: tiga tahun, dua tahun, satu tahun lalu dan menemukan saya
yang berbeda. Saya yang berbinar, saya yang redup, saya yang begitu terluka.
Segalanya tentu telah berlalu, sudah selesai, dan ternyata hidup masih baik-baik
saja. Tetapi jika bisa, saya ingin kembali memeluk potongan-potongan itu dan
bilang bahwa saya, sungguh-sungguh bangga terhadap mereka.
Tiga tahun lalu. Saya
ingin memeluk diri yang merasa begitu kecil, begitu naif, dan meyakinkan ia: tidak
ada yang salah dengan itu. Sebab binar-binar mata yang begitu bercahaya, pernah
memberikan penuh rasa percaya—kemampuan paling besar yang saya kira tak pernah
tersedia untuk orang lain. Rasa percaya yang mulanya begitu menyakitkan, tetapi
memampukan saya belajar bahwa memberi tidak selalu boleh beriringan dengan
meminta kembali. Rasa percaya yang kini begitu melegakan, sebab jika ia pernah
ada, mungkin suatu hari nanti, saya bisa memberikannya lagi kepada siapa pun
dengan senyum yang merekah, kerelaan yang hadir berbongkah-bongkah, serta
langkah yang pampat dengan keputusan-keputusan bijak dalam setiap pijaknya.
Dua tahun lalu. Saya ingin menatap jauh ke dalam mata yang kian redup dan berkata: jangan sedih terlalu lama, sebab binar warna-warni itu pernah melakukan
hal yang begitu besar. Mereka membangun kekuatan yang memampukan saya di masa kini dan
(mungkin) orang lain di masa lalu untuk maju dan melawan semua ketakutan. Mau
setidaknya meniti jalan terjal meski kepastian hanya tampak sebesar biji
sesawi, lalu begitu menyakini: sekejam-kejamnya semesta, ia selalu bisa menyerah
pada mereka yang punya gigih seteguh baja.
Dan
sekalipun luka tetap menganga dan berbekas, rasa nyeri itu berhasil melunakkan
bebatu yang begitu tajam. Membentuknya, membentukmu. Mengubah keadaan menjadi
lebih baik. Membuat orang begitu bersuka, menikmati bahwa hidup tidak lagi harus dipenuhi kesusahan-kesusahan yang sama.
Lalu setahun lalu--akan
saya katakan pada diri yang pernah meringkuk di sudut ruang, merasa dirinya benar-benar kacau sendirian: hatimu sungguh
sekuat atom. Tidak mau menyerah terhadap apa pun. Berani menghadapi kehancuran apa pun di
depan mata, meski sebetulnya kecut hati dan ingin pergi.
Kelak ingatlah, kekecilanmu
di hadapan semesta dan orang-orang yang memandangmu remeh, justru membuatmu
begitu besar. Begitu lapang. Begitu luwes untuk dibentuk menjadi jauh lebih baik. Dan nilai itu, kau tahu—tidak bisa
dihargai oleh apa pun di muka bumi.
0 komentar