Kebenaran

17.8.20


Seperti meminta sepuluh orang mengelilingi seekor kambing, lalu menjelaskan apa yang ada di depannya, begitulah cara manusia memandang kebenaran.

 

Ada yang hanya melihat bagian ekor, kepala, dua sisi kaki, atau gerombol bulu putih halus. Seluruhnya tidak salah. Hanya tidak penuh.

 


Seorang yang bijak memiliki kemampuan untuk berjarak, keinginan mendengarkan, dan mengetahui dari sudut mana ia melihat sesuatu untuk menjalin keutuhan—sebelum ia menentukan langkah lanjutan yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua pihak secara adil.

 


Namun, sekalipun sudah (dirasa) utuh, satu hal belum tentu dapat disebut kebenaran. Keputusan seorang bijak pun, tidak dapat dihayati sebagai kebenaran.

 


Sebab sesungguhnya realitas adalah abstrak yang ingin selalu kita bentuk menjadi utuh, mutlak, agar bisa dipahami.



Bahkan “kambing” adalah term yang kita pilih atau sepakati. Sebuah konsep ajek yang kita susun sendiri untuk mendefinisikan hewan berkaki empat, berbulu, bersuara mbek’, dan segenap ciri lain yang melekat padanya.

 


Mengapa tidak kita sebut sebagai “jamur” atau “sapi” yang sama-sama berkaki empat? Karena sejak dulu kita telah menyepakati dan diajarkan secara turun-temurun untuk mengidentifikasikan semua ciri tersebut sebagai “kambing”. Seiring waktu, kita bahkan sudah lupa bahwa “kambing” sebenarnya adalah sebuah konsep. Kini, tanpa perlu berpikir, kita akan langsung menyebut hewan berkaki empat, berbulu, bersuara ‘mbek' sebagai “kambing”.

 


Lalu kita melupakan “kambing” sebagai konsep bentukan, dan menghayatinya sebagai kebenaran.



 

Hal yang sama terjadi pada kebenaran-kebenaran yang kita yakini. Kebangsaan, seksualitas, atau agama dan sains yang hampir selalu bertubrukan. Tidak ada benar-salah, sebab membangun konsep, adalah kemampuan intelektual yang digunakan secara kreatif oleh manusia untuk memaknai sekitarnya. Menciptakan konsep adalah salah satu insting manusia bertahan hidup.



Ketika sedang mencari kebenaran, sebetulnya manusia juga sedang mencari pegangan untuk mengorientasikan hidupnya (karena sebetulnya kita enggan terus-menerus bertanya, ‘mengambang-ambang’, dan tanpa pijakan saat berhadapan dengan segala tanda, atau realitas yang ada di sekitar).

 


Lalu menjadi lazim, bahwa setelah menemukannya—kita memiliki kecenderungan untuk menilai segala sesuatu dari sudut pandang tersebut.

 


Kebenaran akan terus diperbarui saat ia bertemu dengan konsep lain di luar yang telah kita yakini. Namun untuk terus menjadi baru, kebenaran membutuhkan waktu—atau paling tidak: penyangkalan. Sebagaimana kita bersikeras mengajari bahwa langit berwarna ‘biru’ atau daun ‘hijau’, saat melihat anak-anak mewarnai langit mereka dengan ‘ungu’ atau daun dengan ‘merah’.



Memaksakan diri menemukan kebenaran mutlak, bisa jadi adalah memaksakan kehendak pada gagasan tertentu. Sebab, kebenaran tidak pernah mudah memunculkan dirinya. Kebenaran begitu cair dan selalu bergantung pada penafsiran manusia.

 


Sampai di sini, kita tidak akan pernah mempermasalahkan mengapa A lebih memercayai satu hal ketimbang hal lain. Sampai di sini, kita akan mengerti, sama seperti kita—orang lain juga memiliki cara untuk memaknai dunianya. Kekacauan terjadi ketika kita tidak memahami dan memaksakan kebenaran versi kita. Kesemrawutan hadir karena kita menginginkan satu konsep tunggal untuk menyeragamkan kompleksitas manusia.



Padahal, konsep kebenaran yang kita punya selalu bergantung pada hal-hal yang ingin atau tidak ingin kita percayai.

 


Pun dengan perspektif kebenaran yang Anda baca sekarang.

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe