Tu-han-tu

6.7.15




Pagi yang basah dan hujan turun begitu derasnya. Rintik-rintiknya membasahi pori-pori Bumi—meruapkan bau tanah lembek yang basah. Petchrichor—mereka menyebutnya. Aku memandangi anomali ini dari balik jendela yang menyingkap lapis-lapis tirai air. Ada getir yang mencekat, seolah ia tersangkut di leher seperti deduri, sementara kesunyian cuma bisa bergerak jeri di ceruk-ceruk hati. Kau tak tahu, betapa rindunya aku pada hujan. Serupa aroma menthol yang mampu melegakan hidung dari flu yang sering kali menyebalkan. Serupa kehadiranmu yang kini menjelma tak lebih dari segenggam harapan.

Tapi sayangnya, ini masih bulan Agustus, Sayang. Sambil merapal dengan mata tertutup pun aku mampu menghafalnya: ini adalah titik-titik puncak musim kemarau. Di mana kering dan gersang memenuhi petak-petak tanah yang kerontang. Jakarta sedang panas-panasnya, meski di sini tak ada satupun makna yang bisa kubaca lewat pucuk pepohonan jati yang meranggas.

Aku tahu, tak sama sepertimu, bukan bakatku membaca pertanda alam. Ada kuasa yang kau pikir tak bisa kupahami. Sama halnya ketika Merapi—katamu, batuk, lalu memuntahkan lahar panas yang hampir membinasakan satu desa. Tapi katamu lagi, ia tak membinasakan. Lahar itu menghidupi lebih dari dua desa, memuntahkan material pasir pengokoh bangunan yang kini mampu dijual bertruk-truk banyaknya. Beriman dan percaya, bagimu cukup untuk hidup bahagia.

“Jadi lebih baik cinta sama Tuhan, tho, daripada sama manusia? Dia tidak mengecewakan,” lalu suaramu terngiang, menyambar sesakku. Di sebuah taman kota tua, kuingat kau berusaha menepuk pundakku pelan, dan mengucapkan sebaris kata dengan mudah, seolah akulah satu-satunya orang yang butuh penghiburan.

Kata siapa? Kau tidak tahu betapa kecewanya aku saat kau tidak ada, sementara aku selalu ada. Kau tidak tahu betapa kecewanya aku ketika segala yang telah kuupayakan, semua mimpi-mimpi, pada akhirnya tak membawaku ke mana-mana. Kau tidak tahu betapa kecewanya aku, ketika orang yang aku cintai-selamanya-tidak mencintaiku balik, apalagi untuk selamanya.

Tetapi semua protesku padamu pada akhirnya terberangus sunyi. Sementara hanya bungkusan karbondioksida yang keluar dari mulutku, aku cuma bisa terduduk kaku di sebuah kursi taman warna hijau tahi kuda—aku terbiasa menyebutnya begitu—yang sudah luntur termakan usia. Di sana-sini, bisa kau lihat ada goresan kecil mural khas remaja—siti cinta budi-budi cinta siti, selamanya—saat mereka belum mengerti, betapa berbahayanya kalimat “cinta selamanya” yang bahkan mampu membuatku bergidik ngeri tiap mendengarnya. Kata “cinta selamanya” yang begitu kau amini akan kau panggul, lengkap dengan risiko yang harus kau tanggung “selamanya”.  

Tapi kau pikir, bukankah harus seperti itu kisah cinta? Ia punya pasarnya sendiri. Pasar yang ambisi—sebab cerita-cerita melankolis konon katanya bisa membuatmu lebih baik, lebih perasa, lebih empati. Tapi aku tak percaya. Manusia kini adalah makhluk yang tak punya empati, rasanya telah mati. Bisakah kau lihat orang-orang terlantar di pinggir jalan sana, mengiba—tanpa satu pun yang mau memberi? Bisakah kau melihat, hanya soal iman, kepercayaan, dan keinginan membela, manusia pun tega membunuh yang lainnya? Bisakah kau melihat, hanya soal keinginan yang belum tersampaikan, hanya karena pilihan hidup yang belum saja terjalankan, manusia yang iri bisa dengan begitu tega menghabisi hidup orang lain, menghabisi harapan hidup orang lain?

Di bawah sana, kulihat perempuan-perempuan berkain cokelat lurik sibuk meratapi tangis. Mereka percaya, hujan di siang bolong, apalagi di kemarau yang hebat ini, bukanlah pertanda baik. Hujan menguarkan gema sedih yang sedari tadi menelusup lincah, menusuk-nusuk nyeri. Sesungguhnya aku ingin ikut menangis, aku ingin meledak, membuncah dalam air mata. Tetapi aku tidak bisa. Seperti sudah beratus tahun lamanya ia mengering—menjadi selaput tipis sungai gersang tak lagi punya muara. Lapis-lapis waktu berjejal memaksa masuk. Seolah ini bukan tempatku pulang, dan muaraku telah menghilang.

Tapi barangkali itu bukan salah Tuhan, bukan? Karena seperti katamu, Tuhan tidak pernah mengecewakan. Manusialah yang mengecewakan, sementara iblislah segala asal pertanyaan, kesedihan, kemarahan, ketidakmampuanku menerima suratan. Katamu, Tuhan selalu ada dalam baris-baris harapan yang lalu menjelma jadi sekadar bayang-bayang semu, maya. Lalu, apa itu sebenarnya garisan takdir, jika Tuhan tidak pernah sekalipun berkonspirasi pada kekecewaan yang dirasakan manusia?





You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe