Untuk Para Bintang di Luar Sana yang Sedang Berputar, Mencari Orbitnya

15.7.15



Tidak ada yang sungguh-sungguh paham, kenapa di setiap perjalanan—apalagi ke tempat yang jauh dari hiruk-pikuk kota dan benderang cahaya—dorongan saya berani-beranian ke luar tiap malam adalah: melihat bintang. Memandang ribuan, atau mungkin jutaan kerlip di luar sana, membentuk gerombol pola; rasi bintang, yang sumpah mati meskipun ingin, nggak pernah bisa saya hafal. Menyaksikan semburat pita kabut/ Milky Way—yang bernama lain galaksi Bima Sakti. Melihat dengan mata telanjang pesona langit penuh sinar serupa kubah mahabesar di atas kita yang mendadak jadi sangat kecil. Membuat segalanya terasa sungguh dekat dari bingkai mata, padahal sebetulnya berjarak tahun cahaya.

Tapi itu semua akan terjadi, kalau saya lagi mujur. Kalau enggak, ya paling cuma satu-dua-hitungan jari bintang yang mejeng di depan mata. Sisanya, ketutup awan, ketutup mendung, ketutup mata yang nggak bisa melihat gajah di pelupuk mata, padahal semut di ujung pulau kelihatan....

*abaikan*

Beberapa teman pernah bertanya alasannya. Tetapi sampai sekarang, saya belum pernah bertemu orang yang benar-benar bisa dipercaya, dan tentu saja, percaya alasan saya—tanpa bilang kalau saya:  terlalu melankolis. Hahaha, iya, memang kok, alasannya sedikit sentimentil, melankolis, menye-menye. Plus tambahan kata: “Kan nggak semua yang di langit itu bintang. Kan, nggak semua yang bersinar itu bintang. Ada, kok bintang mati, bintang yang nggak bersinar...”

Ahelah, Pak, sekali-kali ngelihat sesuatu pakai rasa dong, jangan pakai logika melulu..

Rasa apa?

Rasa yang pernah ada di antara kita..

......

*abaikan*

Sementara saya sadar kalau “mata” saya jelek dan nggak bakat mengabadikan momentum lewat jepretan kamera, maka satu-satunya pilihan yang saya punya adalah: mengabadikan lewat ingatan. Menangkap momentum lekat-lekat, menyimpannya dalam satu ruang memori, lalu menuangkannya dalam tulisan; dalam ungkapan; dalam syukur yang saya rasa tidak akan pernah cukup untuk didaraskan.

Memandang bintang yang terasa begitu dekat mengingatkan saya sejenak pada wajah-wajah penuh sinar yang pernah saya temui, entah dalam wujud obrolan ringan bersama teman, hingga obrolan penuh semangat bersama para narasumber. Mereka yang dengan binar-binar cahaya di mata menceritakan mimpi-mimpi yang sedang, maupun sudah mereka wujudkan, mereka yang berkisah tentang jalan yang tak selalu mudah—tapi tak kehilangan semangat untuk berusaha, mereka yang selalu tahu: satu-satunya pilihan yang mereka punya adalah terus berlari, berjalan, merangkak, apa saja, asalkan tidak berhenti dan diam di tempat.

Mereka tidak menyerah pada realita. Pada kata orang yang menganggap segala hal—terutama berkaitan dengan uang—sebagai pilihan realistis yang mau tak mau harus diambil. Mereka tak mau mengalah pada mimpi. Betapapun tidak rasionalnya itu, hingga pada akhirnya, mereka menemukan orbitnya, rumahnya sendiri, di mana mereka bisa bersinar, dan terus bersinar—tanpa peduli kata orang.

Melihat bintang sendiri seperti memberi saya suntikan semangat, energi, tenaga, karena saya tahu: setiap hal di dunia ini selalu punya tempat, punya orbit, punya rumah. Ia tidak mengambang-ngambang di atas sana tanpa tujuan yang jelas. Ia punya misi—sadar maupun tidak—di mana ia bisa jadi dirinya sendiri, melakukan sesuatu dengan antusias, dan semangat yang menyala-nyala hingga pada akhirnya sadar: tidak pernah ada yang sia-sia, segalanya tetap baik-baik saja, dan ia bahagia.

Dan sesederhana pilihan itu: saya hanya ingin terus hidup dengan keyakinan, dengan perasaan bahagia yang sama. Keyakinan bahwa suatu saat, pasti ada rumah—ada tempat, yang tersedia di luar sana, sehingga mau—tidak mau, bisa—tidak bisa, saya tidak boleh berhenti mencari.

Saya tahu, pilihan itu sering kali ditemani pecutan-pecutan kecil setiap hari. Pecutan yang tiap kali mengingatkan, menagih hasil. Tetapi, saya ingat: di samping tagihan hasil dan pertanyaan “sudah sampai mana” yang sering kali hanya untuk menjatuhkan pilihan yang kita ambil, selalu ada doa-doa yang terucap tiap malam, dukungan sepenuh tenaga yang tak mengenal batas. Masih ada orang-orang yang sama tidak menyerahnya, seperti kita dan yang paling penting: masih ada keyakinan, bahwa dengan usaha keras dan niat baik, segalanya pasti akan berjalan baik-baik saja. Mereka yang menginginkan gunung langsung berdiri di hadapan tentu tidak tahu betapa nikmatnya mengumpulkan batu-batu kecil dengan tangan sendiri hingga akhirnya kelak menjelma bukit.

Tetapi saya tahu. Meski tidak mudah, saya tahu itu akan selalu jadi hal yang menyenangkan.

Jadi di sinilah saya. Tentu saja tak pernah berdiam diri, dan selalu percaya: sekalipun saya kecil, mirip debu di lingkaran semesta yang mahaluas ini, saya punya porsi, saya punya peranan, saya punya rumah. Tidak pernah ada alasan untuk tidak melakukan apa-apa.

“When I reflect on that fact, I look up. Many people feel small because they’re small and the Universe is big. But I feel big, because my atoms came from those stars.”





Ps:
1.  Tulisan ini subjektif dan tidak menerima kritik-kritik logis, seperti: tapi bintang kan ada yang macem-macem, blablabla—yang tentu saja kadang masuk-kadang enggak di otak penulis. Di sini penulis cuma pakai satu bahasa: bahasa perasaan. Ehciyee! Karena......emang belum ngerti yang logis-logis muahahaha! Oh iya satu saran buat yang baca tapi masih pengen debat ini-itu: sekali-kali pak perasaan dong, biar bisa memandang hidup yang lucu ini dengan indah!

2.  Tulisan ini banyak banget distraksi a ka curcol. Mohon maaf, karena pikiran emang dari sananya nggak fokus. Trust me, I’m trying my best to still focus, but I can’t :p

3.  Selamat menikmati. Bawa perasaan boleh sedikit-sedikit. Gagal boleh nangis, sebentar. Tapi harus lebih banyak usaha dan berdoa. Selamat sadar kalau kamu itu bintang (ingat: kata planet, bintang mati, asteroid, satelit, komet, dll tidak ada dalam tulisan ini, pokoknya kamu bintang!). Selamat berusaha menemukan orbit dan bersinar!



Salam,


Dari penulis serba penasaran yang cuma ingin jadi dirinya sendiri dan melakukan hal-hal yang ia cinta dengan sepenuh hati.
   

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe