Hujan

2.9.15


http://www.viewbug.com/album/8541/photo/519443



Hujannya orang meninggal, Nak.” Ibu menggumam pelan. Cucian yang baru saja dijemur pukul sepuluh, tak serta merta ia angkat dan selamatkan. “Nanti juga berhenti, hujan cuma bertugas mengingatkan.”

Hujan yang mengingatkan. Pada kenyataannya, aku lebih suka bila hujan hari ini tak usah berhenti saja. Lihatlah, kemarau ini terlampau panjang. Agustus yang panas. Kering, kerontang. Seperti halnya dengan suka, apakah duka pun perlu diingatkan? Agar apa? Ibu bilang, agar manusia tak punya waktu berlebih untuk bahagia, sekaligus nelangsa. Tapi mengapa? Suatu hari pernah kutanyakan hal itu, namun ia menahan mulutku sambil berkata: tak boleh kita manusia mempertanyakan tuhan.

Maka aku menelan semua pertanyaan itu bulat-bulat. Tak lagi kucerna, karena konon katanya mencerna pertanyaan hanya akan mengantarkanmu pada pertanyaan berikutnya. Sebab bila kau tak puas akan satu, maka jadilah dua. Tak puas lagi, jadilah tiga, hingga berlipat kali banyaknya. Tapi bukankah memang benar, sebab pepatah pun berkata: sudah pada dasarnya manusia takkan pernah puas?

Sungguh, bila kata “mengapa” adalah mantera, maka percayalah, aku sudah merapalnya ribuan kali. Mendaraskannya berulang-ulang untuk segala pertanyaan yang tak pernah bisa kutahu jawabannya. Tapi apakah itu jawaban, apakah itu pertanyaan?







You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe