Pada Suatu Hari, Ketika Badak Tinggal dalam Kotak Kaca...

7.10.15

http://media.viva.co.id/thumbs2/2015/10/05/340564_badak_663_382.jpg

Satu ekor Badak Jawa berdiri kaku. Dari balik etalase bingkai kaca, ia memandang lurus ke depan. Kulitnya hitam-legam, matanya tanpa nyawa; tanpa ucap. Barangkali karena memang, ia tak pernah sempat bicara—sejak sebutir peluru Mauser kal 9.3 menembus kulitnya yang tebal; seperti tameng baja—berpuluh tahun lalu...

Para petugas museum tak punya pilihan. Menembak mati badak jantan adalah jalan—ketimbang membiarkannya hidup sendirian dan menderita. Kelak, solusi ini pun dianggap mampu memberi sumbangsih bagi ilmu pengetahuan. Satwa langka berbobot lebih dari dua ton, memiliki panjang sekitar tiga meter, dan tinggi 1,5 meter ini akhirnya diboyong ke Pusat Penelitian Biologi LIPI. Kini, kita bisa menemukannya utuh—dalam “rumah” yang tak lebih dari sebuah kotak kaca di Museum Zoologi, Bogor.

Ada kisah tragis terselip di tengahnya, pada secarik keterangan bertulis: “Inilah badak terakhir di Jawa Barat, badak terakhir di Priangan”. Badak jantan itu berasal dari daerah Karangnunggal, Tasikmalaya. Badak—hewan penyendiri yang dikenal sebagai “si pemelihara” ini rupanya harus kehilangan si betina, yang dibunuh oleh para pemburu ilegal di tahun 1914. Tanpa pasangan dan sebatang kara; tak mungkin ia yang tersisa, dipindah ke Cagar Alam Ujung Kulon atau kebun binatang sekalipun. Apalagi, sudah lama sekali ia hidup terpisah dari kelompoknya. Ketidakmampuannya menggabungkan diri dan beradaptasi dengan habitat baru dikhawatirkan justru membuatnya menderita atau mungkin, bernasib sama seperti si betina.

Perburuan badak sendiri memang bukan hal baru. Banyak alasan maupun mitos yang melatarbelakanginya, yakni: kulitnya yang “baja” dibuat perisai; cula yang amat berharga untuk pengobatan, hingga status “keperkasaan” yang langsung melekat seketika bagi para pemburu hewan langka ini. Akibatnya, kini populasi badak menurun drastis. Dari 30 jenis, satwa langka yang sudah ada sejak zaman tertier (sekitar 65 juta tahun lalu), sekarang hanya tersisa lima spesies. Dua di antaranya, ada di Indonesia, yakni: Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus) dan Badak Sumatera (Dicherorimus sumatrensis)
  
Sayangnya kita harus tahu: kedua jenis ini pun masih dikategorikan dalam status kritis-terancam punah (critically endangered species) dalam Daftar Merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN).

Abah Gede, Tak Perlu Lagi Takut Diburu

Di atas jalanan tanah berlumpur, beberapa ekor badak baru saja meninggalkan jejak-tapak yang masih bau basah. Di sekitarnya, ada sisa dedaunan robek, bekas tercabik. Para penjaga Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) bersuka cita. Jejak-jejak itu seakan bicara: ada penghuni baru telah lahir di penghujung Juli 2006!

Tak banyak yang mampu melihat atau merekamnya langsung, sekalipun itu 16 kamera otomatis yang dipasang permanen di TNUK. Abah Gede—sebutan masyarakat sekitar untuk Badak Jawa—memang istimewa. Berjumpa atau sekadar melihatnya melintas, tentulah dianggap sebagai sebuah keberuntungan.

Barangkali karena memang sudah sifat badak yang penyendiri. Kecuali pemburu—secara alamiah, Badak Jawa tak punya predator. Indera pendengaran dan penciumannya tajam; bahkan mampu merasakan keberadaan musuh, meski dalam kondisi yang tak memungkinkan sekalipun. Biasanya, badak cenderung menghindari manusia, meski ia bisa juga bertindak agresif bila merasa terganggu. Culanya sendiri jarang digunakan untuk bertarung, melainkan hanya untuk memindahkan lumpur di kubangan, menarik tanaman, atau membuka jalan rintisan.
 
Memang, berkat sosialisasi yang marak digalakkan, tak lagi ada perburuan badak dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi, tak berarti masalah tuntas sudah. Beberapa penelitian mencatat: Badak Jawa tak bisa hidup di sembarang tempat. Upaya penangkaran badak di tahun 1800-an hingga 1907, misalnya: tak membuahkan hasil signifikan, bahkan semakin buruk. Penyebabnya, harapan hidup badak di penangkaran justru berkurang, yakni hanya mencapai usia 20 tahun, kira-kira separuh dari usia yang bisa dicapai bila badak hidup di habitat aslinya.

Adapun ancaman terbesar tak lain adalah tingkat perkembangbiakannya yang cenderung lambat. Dalam interval empat hingga lima tahun, badak betina hanya melahirkan satu ekor. Itu pun dengan masa kehamilan 15-16 bulan. Persoalan lalu bertambah, semenjak berkurangnya keragaman genetis akibat populasi badak yang sedikit. Terjadinya perkawinan satu turunan berisiko menurunkan kualitas anak-anak badak, dan justru membuat spesies ini rentan ketika harus menghadapi wabah penyakit, atau bencana alam.

Secara alamiah, badak tergolong sebagai makhluk herbivora. Dengan bobot dan besarannya, ia mampu makan 50 kg per hari ragam jenis tumbuhan seperti: tunas, ranting, daun-daun, dan buah. Masalah muncul ketika habitatnya tak lagi mampu mencukupi kebutuhan konsumsi badak. Invasi tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) tak diingkari sudah menggantikan hampir 30 persen habitatnya—di semenanjung Ujung Kulon. Ditambah lagi, sebagian besar pakan badak rupanya serupa dengan banteng (Bos javanicus)—sehingga mengharuskan mereka sama-sama berkompetisi untuk mendapatkan makanan.

Sementara itu, data terakhir World Wildlife Fund for Nature (WWF) menyebutkan, populasi Badak Jawa di TNUK kini tinggal 60 ekor (jantan: 33, betina: 27) dan Badak Sumatera tinggal 200 ekor. Bila terus begini, masihkah kita ingin berdiam?

Rumah Terakhir Badak dalam Kotak Kaca?

Tahunan berjalan, upaya observasi dan penelitian masih terus dilakukan untuk mencari rumah kedua yang nyaman bagi badak. Banyak pihak; meliputi: WWF, Departemen Kehutanan, Balai Taman Nasional, masyarakat lokal, maupun komunitas pemerhati masih terus mengkaji kemungkinan yang ada—mengikuti jejak Afrika dan India, terutama soal kesuksesannya meningkatkan populasi badak secara signifikan, melalui perancangan “rumah kedua”.

Masalahnya, selain dua ancaman yang sudah disebutkan; TNUK yang kini menjadi tempat badak berdiam pun bukanlah tempat yang aman. Berdekatan dengan Gunung Krakatau yang masih aktif, lokasi TNUK tentulah rawan ancaman tsunami maupun gempa bumi.

Itu belum termasuk risiko badak terjangkit penyakit—mengingat bagian timur TNUK berbatasan langsung dengan perkampungan masyarakat yang umumnya memiliki ternak. Sistem “pelepasan” hewan ternak untuk mencari makan tentu akan meningkatkan potensi penyebaran dan penularan penyakit dari hewan ternak ke satwa liar. Adapun salah satu penyakit paling mematikan adalah anthrax—yang dampak penyebarannya tergolong tinggi.

Sebagai langkah penanggulangan risiko, setidaknya delapan lokasi “calon rumah” badak sudah disurvei. Dari delapan (termasuk di antaranya Taman Nasional Halimun, Gunung Salak, Jawa Barat) lokasi itu kian mengerucut menjadi dua: Cikeusik, Pandeglang yang dikelola Perhutani, dan Cikepuh, sebuah taman margasatwa yang berada di Sukabumi.

Lantas, bagaimanakah kriteria rumah badak yang ideal?

Syarat pertama, suatu tempat haruslah bisa menyediakan sumber makanan yang berlimpah dan tentunya: bebas dari risiko bencana serta kehadiran manusia. Indikatornya, daerah tersebut haruslah berupa hutan hujan dataran rendah. Ketersediaan rerumputan, sungai, dataran basah, dan tentunya kubangan lumpur menjadi kriteria lanjutan, di mana badak bisa hidup nyaman. Cikepuh misalnya—yang dipilih karena lokasinya berkontur bukit, terisolir dari keramaian, serta punya potensi spot yang bisa dijadikan kubangan air. 

Memang, bukan perkara mudah untuk mencari rumah kedua bagi badak. Selain harus menyeleksi secara ketat, ada banyak risiko yang tak bisa diingkari, seperti: kegagalan proses pemindahan; badak yang stres selama masa perpindahan; atau paling buruk: ketidakmampuan badak dalam beradaptasi hingga akhirnya mati. Namun, bukan berarti tak mungkin dan tak bisa dilakukan.

Pada akhirnya, menjaga kelestarian badak sendiri bukan cuma tugas pihak TNUK, Departemen Kehutanan, Balai Taman Nasional, atau komunitas pemerhati—melainkan kita semua. Bayangkanlah, jika suatu hari kelak, mungkin anak-cucu kita hanya bisa mendengar badak dari dongeng belaka, menyaksikannya dari balik etalase kaca, atau justru paling banter...memahami rupanya dari kemasan minuman penyegar.

Apakah kita mau? Relakah kita?

Adapun dengan menyosialisasikan pelestarian badak—membiarkan seluruh komponen masyarakat memahami manfaat dan risikonya—bukan tak mungkin segala cara akan menemukan hasilnya. Jangan sampai, seluruhnya ternyata hanya tinggal wacana yang terus-menerus digaungkan dalam rangka memeringati Hari Badak Sedunia, tiap 22 September.


*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba menulis Cerita Anda dengan tema "Bagaimanakah Rumah yang Nyaman Untuk Badak?"




You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe