Gunung Padang, Sebuah Perjalanan Menembus Dimensi Waktu
15.10.15(Foto: Helmi Fithriansyah, Liputan6.com) |
“Masih jauh, ya?”
Seorang teman
bertanya kepada saya, dengan napas ngos-ngosan
saat kaki mereka mulai lelah dan menapak tak sabar untuk sampai di atas. Di
kanan-kiri kami, semak belukar, pepohonan kecil dan rimbun menemani perjalanan
langkah. Setidaknya, ini pukul lima pagi lebih sekian. Langit berwarna biru
gelap, dan Matahari masih enggan menampakkan wujudnya. Aneh, meski hawa magis
kental terasa, dingin yang seharusnya menggigit—khas pegunungan atau dataran
tinggi—tak mampir di tubuh. Di depan kami, tiga sampai empat orang berkaus
tentara—hijau loreng-loreng hitam—mengajak berbincang. Rupanya mereka memang
sedang menginap di situ. “Sampai penelitian selesai,” kata salah satu bapak,
sambil menggendong beberapa botol air.
Pada waktu itu,
lokasi kami berada, Gunung Padang memang sempat mencuri perhatian banyak orang.
Apalagi sejak September 2014, ketika Tanah Air digegerkan oleh penemuan artefak
mirip kujang dan koin tua. Sebuah penemuan yang tidak tanggung-tanggung. Sebab,
diperkirakan kedua temuan itu berasal dari masa 5.200 SM. Itu baru dari satu
sisi. Sisi lainnya, para ahli percaya; situs megalitikum ini bahkan lebih tua
dari Piramida Mesir; bahkan mungkin jadi bangunan prasejarah terbesar di dunia!
Pantas saja,
beberapa teman yang tahu; atau saya beritahu langsung dengan segera berminat ke
tempat ini—tanpa tahu bahwa untuk sampai ke atas pun, pengunjung harus mendaki
sekitar 350 anak tangga, plus dengan ketinggiannya yang lumayan curam.
Buat saya, inilah
kali ketiga menyambangi tempat ini. Kali pertama, benar-benar murni pelesiran.
Sementara sisanya, menjadi guide untuk
beberapa teman yang penasaran. Sungguh aneh rasanya, mendatangi satu tempat
berkali-kali, padahal menurut orang lain: tempat tersebut biasa-biasa saja.
Tetapi kini, biarkan
saya menggambarkan sedikit tentang Gunung Padang. Batu-batu panjang dan besar
berserakan di mana-mana, sebagian tersusun bertumpuk, atau berdiri sejajar
seperti mengkonstruksikan sesuatu, sebagian lagi tidak; lima teras (undakan)
yang semakin ke atas, semakin mengecil luasannya; lapis rumput hijau serupa
karpet yang menyambut pengunjung, tumpukan gunung batu—belakangan saya tahu,
yang paling tinggi terlihat disebut “Mahkota Dunia”, (katanya) titik pusat
energi di Gunung Padang, di mana salah satu pembuktiannya: keberadaan sinyal handphone yang sangat kuat di lokasi
tersebut; dan pepohonan rimbun, serta lapis gunung yang mengelilinginya, bahkan
dari segala arah mata angin.
Gunung Padang sendiri
sebenarnya adalah sebuah bukit. Namun, sudah jadi kebiasaan masyarakat setempat
untuk menyebut bukit sebagai gunung. Letaknya, di Desa Karyamukti, Campaka,
Cianjur, Jawa Barat. Bila dari arah Puncak, sangat mudah dijangkau dengan
mengambil jalan ke arah Cianjur. Pastikan untuk selalu melihat ke arah kiri
atau berpedoman pada GPS, karena setelah beberapa kilometer, plang bisa
langsung dengan mudah terlihat.
Seperti Berkunjung ke Rumah Flintstone
Matahari baru saja
menampakkan semburat kuning keemasannya saat rombongan kami sampai di puncak.
Di teras lima—bagian dasar kompleks bebatuan megalitikum Gunung Padang,
terlihat awan putih bergulung-gulung bersama cahaya kuning. Di depan saya,
lapis-lapis bukit—bergradasi hijau kebiruan memanjakan mata, indah sekali. Yang
paling jauh terlihat, belakangan saya tahu adalah Gunung Gede-Pangrango.
Bebatuan
kecil-besar, posisi tegak berdiri hingga terbaring tidur, berserakan di hadapan
kami. Rasanya, seperti berkunjung ke rumah keluarga Flintstone. Saya
membayangkan, apa jadinya bangunan atau tempat ini di masa yang silam? Adakah
susunan bebatuan ini punya makna? Bagaimana sosok masyarakat setempat pada masa
itu? Bagaimana cara mereka menyusun konstruksi Gunung Padang? Apakah suasananya
ramai atau justru sepi penuh dengan daya magis?
Pak Nanang, juru
kunci Gunung Padang mengatakan, dua buah batu yang berdiri di teras satu,
dahulunya berfungsi sebagai gapura atau gerbang masuk. Wajar saja, dahulu
Gunung Padang memang difungsikan sebagai tempat ritual, bahkan hingga kini oleh
beberapa kelompok orang.
Pak Nanang
bercerita, pada zaman dahulu, orang-orang datang membawa sesaji melalui gerbang
masuk; menapaki lapisan batu di tanah yang ditata serupa tegel; meletakkan
sesaji di meja (batu yang menyerupai meja); diiringi musik gamelan—yang
sebenarnya ditabuh dari batu gamelan—sebuah batu yang akan menghasilkan nada
tertentu jika dipukul dengan alat pukul semisal kayu atau batu kecil.
Setelah itu,
perjalanan ritual akan terus berlanjut hingga teras lima. Masing-masing teras
dihubungkan oleh tangga yang menempel pada tumpukan batu serupa benteng,
pemisah antara satu teras dengan teras yang lain. Kini, beberapa anak tangga
dan konstruksinya sudah hancur dan tak lagi berbentuk. Pinggirannya pun sudah
diberi tali—sebagai pengingat, pengunjung tak boleh naik menggunakan tangga
tersebut. Sebagai gantinya, pengunjung harus melewati pinggirnya—sebuah jalan
setapak, sedikit menanjak, yang sengaja dibuat untuk mengurangi kerusakan.
Gunung Padang dan Segala Pertanyaan yang
Tak Terjawab
Perjalanan kami
berakhir dengan duduk-duduk santai di wilayah “Mahkota Dunia”, sebuah bagian
yang terletak di teras dua; merupakan pusat terbaik dunia yang ada di Gunung
Padang. Matahari sudah semakin naik, dan hawa panas mulai terasa dan menjadi
terik. Namun, di tempat kami duduk, angin berhembus sejuk sekali. Dari sini,
lapis-lapis gunung yang mengelilingi Gunung Padang terlihat lebih jelas,
sementara ratusan bebatuan yang terserak di teras satu—berpadu dengan hijau
rumput, terlihat indah dari ketinggian. Terlepas dari benar atau tidaknya
tempat ini sebagai “pusat dunia”, saya mengakui: ini adalah tempat terbaik
untuk menikmati keindahan Gunung Padang, sambil bercakap dan mengobrol hangat
dengan orang terdekat.
Sesungguhnya ada
banyak pertanyaan yang saya punya terkait dengan Gunung Padang. Segala misteri
yang ada di dalamnya, berikut peradaban Atlantis—sebuah peradaban tinggi, kaya
raya, namun musnah karena bencana—yang digadang-gadang berlokasi di Sundaland.
Mungkin benar, mungkin juga tidak. Sebab dalam bahasa Sunda, kata “Padang”
berarti siang, terang, atau cahaya.
Jika benar tempat
ini berasal dari ribuan atau bahkan puluhan ribu tahun silam, tentulah misteri
dan kontroversi Gunung Padang sudah merentang pada periode yang sangat panjang.
Ada yang mengaitkannya dengan kejayaan Prabu Siliwangi; harta karun yang
besar—baik berupa material maupun sisa peradaban masa lalu—yang mungkin akan
mengubah sejarah dunia; hingga sebuah cerita tentang Atlantis yang hilang.
Tetapi benarkah semua pernyataan tersebut? Toh selama ini belum ada penelitian
yang benar-benar mampu mengesahkan pernyataan tersebut. Tetapi sebelum berkutat
benar atau tidaknya, dan memperdebatkan secara keilmuan, saya rasa kita semua
sepakat: sebuah perjalanan pasti punya maknanya sendiri-sendiri. Tak selalu sama,
melainkan berbeda bagi masing-masing orang.
***
Sebelum siang
merangkak naik, kami memutuskan untuk turun. Lebih dari tujuh jam kami
melakukan perjalanan hingga ke tempat ini dan belum sempat beristirahat. Heran
rasanya. Untuk menikmati pagi yang terlalu dini saja, harus jauh-jauh pergi dan
merasakan sensasi Matahari, di tempat yang cukup sulit didatangi. Tetapi toh,
setiap perjalanan kadang harus mentok dengan
logika. Ia sebuah pengalaman; yang kerap meruapkan rasa senang, bahagia, harus,
sedih, marah, kecewa—tanpa kita tahu sebabnya.
Kaki saya
melangkah pelan-pelan melalui tangga berbeda; sebuah undakan kira-kira 750 anak
tangga, dua kali lipat jumlahnya, terbuat dari semen dan tertata dengan rapi.
Tangga ini memang sengaja disediakan bagi para pengunjung, untuk memudahkan
pendakian, atau justru mencegah tangga batu asli, rusak. Di sebelah kiri saya,
hijau bukit, hutan, maupun semak belukar terlihat memanjakan mata. Cahaya
kuning Matahari memantul-mantul di atasnya. Indah sekali. Sayang, iklim Cianjur,
meski di daerah perbukitan sekalipun, masih terasa terik.
Kami melanjutkan
perjalanan absurb ini. Dan Gunung Padang beserta misterinya (yang mungkin masih
tak terpecahkan hingga beberapa tahun ke depan) tetap berdiam di sana. Setengah
bercanda, seorang teman saya, heran menyadari “hanya batu” sebagai destinasi
kami—tujuan kami datang jauh-jauh. Tetapi kami semua tahu; tak pernah ada “cuma”
dalam sebuah makna perjalanan.
*Tulisan ini pertama kali dipublikasikan di Phinemo.com
0 komentar