LOKAL

7.5.22



“Kamu percaya santet?”

Sambil menyuap sesendok tahu telor di sebuah kafe modern bermenu lokal-tradisional, hari itu A bertanya. Kacamatanya turun-turun, dan pertanyaan iseng itu mampir begitu saja. Kami baru saja bicara soal hantu dan menilai aku cukup skeptis untuk yang satu itu, ia mengganti pertanyaan dengan yang lebih berwujud dan diakui: santet.

Sebagai seorang Jawa, sebenarnya keduanya sulit dijawab. Apalagi dengan jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Sebab, seberapa jauh aku mencoba berjarak dengan yang orang sebut mistis; hal-hal yang sifatnya spiritualis (aku pilih menyebutnya demikian), tak pernah terpisahkan dalam hidup sehari-hari. Sulit untuk menjadi objektif, ketika kamu juga menjadi subjek. Dan sering kali, dorongan menjadi objektif dengan buru-buru mengesampingkan yang subjektif, dapat membuatmu terjebak pada ego dan nafsu.

“Tergantung definisinya.”

“Ya santet. Dikirim dukun. Bikin korbannya sakit. Muntah paku. Muntah darah.”

“Hm, aku lebih melihatnya sebagai energi. Energi netral, tetapi ia dapat berubah jadi desktruktif. Toh, kita dikelilingi oleh energi-energi yang memengaruhi tubuh. Elektronik di sekitar, memancarkan radiasi yang dalam skala tertentu bisa juga menyebabkan mutasi sel, menimbulkan kanker, dan gangguan lain. Bentuk lain, tubuh kita juga memproses energi desktruktif seperti gaslighting, sugesti, intimidasi. Mengakibatkan gangguan kejiwaan yang dalam kadar tertentu dapat memicu gejala psikosomatik yang sering kali tak terdeteksi pemeriksaan seperti rontgen atau tes darah. Kupikir, santet juga bekerja dengan cara demikian. Perbedaannya, orang kerap kali meletakkan santet sebagai yang irasional: klenik, kampungan, tak logis. Sementara penjelasan kedua dianggap rasional: modern, berilmu pengetahuan.”

Menarik bagaimana kita dapat membuat dua kategori yang ‘bermusuhan’ terhadap satu mekanisme yang sama. Seorang peneliti memang akan memilih jalan kategorisasi untuk mempermudah proses berpikir dan penarikan kesimpulan. Sebab, kategorisasi memuat batasan: ada ukuran jelas, sistematis, berbentuk. Namun, aku pikir, ada pemahaman-pemahaman tertentu yang tak boleh terjebak pada batasan. Ia harus terbuka pada penyangkalan, pengujian, kritik untuk terus memperbarui dirinya. Kupikir, inilah yang terjadi pada tataran spiritualisme Jawa (kali ini hanya pada batas yang kuketahui). Ia menghargai yang samar dan menolak rumusan yang terlalu saklek. Ia fokus pada keselarasan dan proses pemurnian yang tidak terjadi pada ukuran satu (satu kali; atau mencari satu-satunya). Ia berkesinambungan.

Proses mencapai keselarasan tidak pernah statis. Ia terus diuji dengan nafsu-nafsu yang saling menarik dan menyeimbangkan. Nafsu alamiah, tetapi ia bisa berbahaya ketika mengental, memburu, dan mendapatkan energi dari pemuasan diri pada tataran objek/wujud.

Saat itu aku paham jika A sedikit bingung dan tampak tak puas. Mungkin, jawaban sesungguhnya yang ia harapkan hanya ‘ya’ atau ‘tidak’. ‘Ya’ yang menggenapkan keyakinannya; atau ‘tidak’ yang bisa jadi mengacaukan dorongannya menemukan kebenaran.

“Ttapi santet itu benar-benar ada, lho,” katanya tak ingin salah, seolah aku menjawab ‘tidak’. Ia lantas bercerita soal sang paman yang melihat leak terbang; dan balik lagi membahas penyakit tak terdeteksi (sepertinya dia kurang menyimak).

“Aku nggak bilang kamu mengada-ada. Kita selalu boleh percaya apa yang ingin kita percayai.”

Hari itu jadi pertemuan terakhir kami. Aku merasa kami tidak cocok dan ketidakcocokan itu tidak sekaku benar-salah; atau hitam-putih. Kami mungkin ada di ranah abu yang tidak ingin kujelaskan secara logis dan sistematis untuk menghindari jebakan plus dan minus, seakan penting bagi manusia untuk memiliki kebaikan dan tabu baginya untuk memiliki keburukan. 

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe