Tak Perlu Siap-Siap

15.9.22

Sematang apa pun kau berupaya, ternyata, tak ada yang pernah benar-benar siap akan kehilangan. Beberapa darinya, tidak pernah datang tiba-tiba. Mereka seperti langit mendung yang kau lihat dari balik jendela; atau angin dingin yang menjalar di tengkuk sehabis kering panas menyengat. 

Lewat serangkaian pola, nalurimu tahu, sebentar lagi hujan tiba. Maka, kau mengambil payung, bergegas menuju tempat yang lebih aman, atau diam, menunggu–sebab kadang kala, angin menggeser awan mendung.

Segala kemungkinan dan upaya mitigasi risiko dapat kau bawa dalam kepala. Kau bisa tunda jam keberangkatan atau diam-diam berdoa, agar hujan tak datang sekarang. Namun, kau tetap tidak dapat menghentikan waktu–atau paling tidak, mengusahakan agar hujan batal turun.

Sulit untuk mengupayakan jalanan tidak basah. Sulit untuk membuat hujan tak jatuh ke permukaan. Sepasang jas hujan bisa kau lipat dan simpan rapi dalam tas; tetapi ketika hujan datang, kau tidak pernah tahu seberapa cukup benda itu melindungi dari kerasnya titik air, ancaman petir yang sewaktu-waktu menyambar, atau flu dan pilek yang datang setelahnya. 


Ada kehilangan yang kau pikir mampu hadapi, tetapi setelah ia datang, persiapanmu justru ambyar.

Kau tidak pernah siap.

 

Aneh, mengingat segala upaya dari A hingga Z, telah dikerahkan, dan kau tidak pernah kebal dari hujan. Dari rasa kehilangan yang membuat mata basah, meski kau sungguh tahu apa-apa saja yang harus dilakukan setelah ini; meski payung tersedia di tangan atau teh hangat cepat-cepat kau buat usai sampai di rumah. 

Maka kini kau pikir, mungkin kurangi saja buat banyak persiapan. Sebab, kehilangan memang seperti pencuri yang menunggu dengan sabar, untuk muncul dan mengoyak waktu lengah. Atau barangkali, sekarang ia hanya seperti sepotong dada ayam gosong, karena terlalu lama kau panggang.

Kau punya pilihan membuangnya ke tempat sampah, tetapi kau justru duduk menghadapi hidanganmu. Kau pisahkan kulit-kulit kering yang hampir jadi abu, lalu kau pilih daging yang masih layak santap. Kau nikmati saja pahit dan getir yang menempel di langit-langit mulut; sebab beginilah kadang-kadang kehilangan membuatmu belajar mengerti untuk,

 

tak perlu lagi kau siap-siap,

sebab mungkin saja,


kita memang tidak pernah siap.

 

 

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe