Mitigasi

19.2.23

“Sudahlah, mitigasi risikomu itu nggak berlaku lagi.”


Sesungguhnya aku masih tidak ingat di mana kamu mengucapkan kalimat itu. Tebakanku hanya tiga: di tengah perjalanan kita naik commuter line menuju entah ke mana, di dalam ruang nyaman tempat kita bercerita banyak hal, atau di sela suapan nasi bebek Madura favorit—makanan paling anomali dalam duniaku. Ketiganya punya ruang khusus di hati: sebuah alasan yang mungkin masuk akal, karena menurutmu aku punya kecenderungan lupa pada dua situasi: yang kunikmati dan kusesali.


Seluruhnya kamu ucapkan sembari bercanda—mengejek kebiasaan mitigasi risikoku yang terbukti tak tokcer jua.


Kuingat aku hanya tertawa sambil mengumpat halus: sialan! Ya, mitigasi risikoku gagal, sebab tanpa kusadari, aku benar-benar jatuh cinta. Mungkin kali ketiga dalam hidupku. Sudah kuceritakan padamu bagian ini: kali pertama aku terluka. Kali kedua, hampir terluka. Kali ketiga, sayangnya juga demikian. Mitigasi yang kubangun ternyata tak membuatku kebal dari luka.


Kata orang: masa muda, jatuh cintalah banyak-banyak. Namun, aku tidak lagi muda dan tak ingin jatuh cinta banyak-banyak. Aku habis energi untuk yang satu ini. Meski ada kalanya, setelah kamu aku juga merasa dadaku mengembang ketika bertemu seseorang. Aku merasa melihat cahaya—lalu kemudian aku berdoa dan cahaya itu pudar—menyingkap tabir gelap yang membuatku mundur perlahan. Kupikir, itu bukan cinta atau bahagia jika harus melukai orang.


Lucunya aku seperti menelan ludahku sendiri: aku pernah mencintai tiga orang, dan aku terluka. Maka itu bukan cinta, bukan?


Manusia selalu benderang di mata yang tak tahu apa-apa. Barangkali itu sisi yang mesti semua orang terima, ketika sudah memutuskan bersama. Kamu benderang. Banyak jalanku yang jadi terang dan lebih mudah. Pun ketika doa menyingkap tabir-tabir hitammu, kamu tetap benderang. Namun, itulah, rupanya tabirmu adalah tabir sama yang sungguh melukaiku tahunan lalu. 


Dan aku takut. Sangat takut. Bagian dari mekanismeku bertahan diri yang sudah berjalan otomatis. Kuproyeksikan rasa takutku padamu—yang kemudian menyerah dan berhenti. Lalu kamu menemukan orang lain, yang mungkin lebih berani.


Berkali-kali aku kembali takut. Kucoba berdiri di pintu itu, menguatkan diri, meyakinkan hati untuk membukanya lagi. Beberapa datang, tetapi tak berhasil melewati ruang tamu. Sesekali angin bertiup membawa kabar burung tentang ini dan itu yang tak sanggup lagi kuterima. Lalu, lagi-lagi aku kembali menutup pintu yang sama. Tak kukunci, sebab suatu saat nanti, orang yang tepat akan datang mengetuk. Ia yang punya kunci, tetapi terjaga di depan dan sopan menunggu aba-aba. Ia yang sudah tahu waktunya. Ia yang mungkin sedikit banyak seperti kamu, kecuali pada bagian tabir hitam.


Lalu mitigasiku? Aku sudah lama tak pegang. Setelah peluh dan payah, aku tak punya rencana kedua. Yang kuinginkan adalah diam di rumah itu. Kembali mengerjakan hal yang kusukai. Kembali memercayai dan mendengarkan diri. Sebuah rencana tunggal yang jelas tidak mudah, tetapi setidaknya aku tahu: jika gagal lagi, aku selalu punya diri sendiri. Sudah cukup aku menghadapi badai dan sengaja menenggelamkan diri untuk alasan yang sama. 


Sebab ada beberapa hal yang (rasanya) hampir mustahil berubah. Kucoba memberikan kesempatan dan memercayai janji berulang kali; dan berulang kali pula mereka ingkar dan tidak menghargai. Aku memahami, manusia selalu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan. Untuk menghindari apa yang ia takutkan, termasuk belajar mahir berkata-kata. 


Namun, aku tidak lagi takut. Aku sudah tidak terluka. Kularungkan pahitku perlahan ke lautan. Kulepaskan segala amarah ke udara. Kurapalkan nyeri di tengah doa-doa agar aku mengampuni, meski aku juga tidak bisa bilang aku sudah mengampuni. Aku hanya merasa, segala sesak itu sudah tidak lagi punya nama. Katakanlah, aku sudah hampir lupa segala hal yang menyakiti dan kusesali. Seperti katamu, sebuah kecenderunganku, bukan? 


Dan itu sudah cukup, sekarang. Kelak, ingatanku tentangmu pun akan memudar. Menguap bersama angin musim dingin, menyisakan yang senang-senang saja. Namun, itu harapanku. Jika pada akhirnya kenangan itu masih ada, pun akhirnya akan aku terima, sebab itu tidak akan memengaruhiku lagi. 


Kali ini, kuberikan kesempatan pada diriku sendiri untuk berbahagia. Untuk menjalani waktu sebagaimana seharusnya. Untuk menikmati jalan-jalan yang pernah kutinggalkan. Untuk memaafkan dan memberi sebanyak yang kubisa. 


Untuk kembali bergerak pelan-pelan dan melanjutkan hidup, sebab hanya ini yang benar-benar kumiliki.

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe