Pengujung Desember

12.2.24

 



Dua kali kafe yang sama di pusat Jakarta, pada suatu hari. Kupesan minuman yang berbeda: jus jeruk dan seporsi lasagna untuk makan siang; lalu kusisakan ruang di rongga perut untuk minuman anomali pertama sepanjang hidupku: frappuchino dengan whipped cream dan ekstra saus karamel. Hari itu, resmi sudah pelatihan berakhir—setelah dua hari berturut-turut dari pagi hingga malam—dan aku kekurangan tempat ‘kabur’. Kafe ini, alternatif tempat menyepi yang paling ideal, sebab ada di mana-mana, ada stopkontak, dan wifi-nya lumayan.

Kupesan sambil bingung, sebab rupanya minuman itu tak pernah ada di menu. Kurasa murni racikan favorit seseorang selama puluhan tahun. Lumayan membangkitkan rasa ingin tahuku, karena sudah dua kali aku ke sini hari ini; dan aku bosan pesan es cokelat atau matcha latte.

Seruput pertama, aku menebak-nebak rasanya. Mirip seperti satu merek minuman instan yang dulu populer dengan kenyal bubble dan beragam topping. Jika ia ada di sini, mungkin akan kutunjukkan reaksi spontanku sambil menyeletuk: ‘astaga, kenapa mirip *** ice, deh?’. Sungguh tidak sesuai dengan profilnya: tinggi, gondrong, berewok, dan (mungkin) seram.

Seruput kedua, seperti ada gerenjil bubuk cokelat yang belum larut. Bisa dikunyah dan menurutku teksturnya lumayan. Plus, aku sedang mood yang manis-manis. Seruput ketiga, baru aku paham kenapa ini jadi minuman favoritnya.

Jujur saja, baru kusadari, untuk dapat mengenal seseorang, kita selalu bisa memulainya dari makanan dan minuman favorit. Setidaknya, itu cukup konsisten selama bertahun-tahun. Sebab, apa-apa yang kita sangka benar, dapat saja jadi prasangka. Contohnya, dia. Yang kukira seram, toxic, berantakan, bahkan jahat dan bajingan, ternyata mampu mengejutkanku. Ia sangat kontras, setidaknya bagiku yang lumayan mampu mengenali seseorang hanya dari satu atau dua pertemuan.

Sambil menunggu mood-ku terbangun dengan musik darurat kerja, kupandangi sekeliling. Satu pasang kekasih menarik perhatianku. Aku kenal tatapan itu. Wajah yang tak lagi bercahaya. Mata yang saling membuang pandang. Hening menusuk kulit. Bahasa tubuh yang kaku. Tisu di tangan dan gerakan cepat. Kaki yang gelisah. Orang normal pun tahu, saking sempitnya, sulit sekali untuk berjarak di tempat ini. Namun mereka rasanya…sungguh jauh.

Aku mengenali atmosfer itu. Yang paling menyakitkan, sudah tertinggal tahunan lalu. Di tempat serupa. Mungkin, pada waktu itu, ada juga orang yang menyadarinya. Tubuh yang kaku, mata yang menatap tajam, meski kini sudah kuterima, rasa muak rupanya bisa pula membuat seseorang tega berlaku kejam dan membenci sebegitunya. Aku memahami, dalam waktu yang sangat lama.

Waktu berlalu, telah kubagi berbagai momen menyenangkan maupun tidak menyenangkan pada J—si pecinta frappuchino gelas venti dengan whipped cream dan ekstra saus karamel. Ia sungguh manis dan untuk kali pertama, aku benar-benar merasa aman. Kami sepakat tidak bersama untuk hal-hal yang tidak ada jalan keluarnya. Namun, aku senang ia bersamaku pada sejumlah momen pentingku tahun lalu—menyaksikan upayaku ke sana-sini untuk ‘mencicil’ hal-hal yang lama tertunda. Ia ada saat aku bersemangat untuk mulai lagi hidup dengan lebih berani.

Meski sedih, kuingat momen perpisahan awal kami tidak menyakitkan. Semuanya terasa adil dan melegakan.  Aku merasa aman pada satu waktu, hingga aku menyadari, pada akhirnya musuhku memang selincah itu. Ia berani menghinggapi si pecinta frappuchino, seseorang yang tidak pernah kupercaya sanggup melakukan hal sedemikian rupa.

 

***

 

Yang paling kuhindari kembali terjadi. Satu bulan setelah perpisahan, J menghubungiku untuk mengajak bertemu: makan makanan favorit kami, ngobrol ringan, pergi ke sana dan sini, bahkan liburan dalam waktu dekat yang pasti. J mengungkap segala rencana, diselingi kata rindu yang terus-menerus dan entah mengapa aku begitu percaya. Di hari ketiga, ia rusak semuanya dengan kabar yang muncul tiba-tiba. J mempermainkanku dan aku tidak peduli apakah itu sebelum atau sesudah kabar itu kuterima.

Segalanya mungkin tidak akan begini, jika J tidak memasukkan perasaan di sana. Hal yang mungkin tidak pernah ia tahu: aku mendukungnya dalam apa pun. Aku juga bisa berbahagia atas kebahagiaan maupun pilihannya. Tapi itulah, manusia selalu mengupayakan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, termasuk belajar mahir berkata-kata. 

Aku terlalu naif untuk memercayai bahwa yang J katakan itu benar-benar dari hatinya, padahal ia hanya ingin mengupayakan kepentingannya. J sama seperti yang lain: tak peduli cara kotor atau bersih, asal sampai tujuan.

Lucu mengingat semua yang kukenal, dapat berubah jadi orang asing dalam satu kedipan mata. J kembali jadi prasangka. Ia sama seperti orang-orang yang dulu kuhindari. Segala janji dan rasa percaya yang dibangun pelan-pelan, tiba-tiba rusak dalam hitungan detik. J bukan hanya kehilangan integritas yang sebelumnya ia agung-agungkan. Ia serupa ayam lepas yang tidak ingin kehilangan kesempatan keluar kandang dan rela mematuk apa saja, termasuk lidahnya sendiri. Dengan cara yang sama, di mataku J berubah jadi orang asing yang begitu jahat, yang menikam seseorang dengan cara yang sumpah mati, tahunan lalu hampir membuatnya mati. Lalu aku merasakan atmosfer itu datang lagi.

Kali ini, lebih pekat dan menyesakkan. Musuhku bergegas lari ke kepala, lalu berjahil-ria menggerogoti. Tanpa basa basi, ia langsung menuju intinya.  Tak kenal waktu apalagi memberiku ruang siap-siap. Saat aku baru mendapatkan semangat lagi untuk memulai.

 

 

***

 

Aku memutus semua hubungan dengan J sambil berdoa agar keadilan bisa datang. Aku menepati janjiku untuk ‘tidak bermusuhan’, hanya saja, aku memilih untuk kembali jadi orang asing yang tak kenal (meski kini aku benar-benar tidak mengenalinya) dan peduli bahwa ia ada di bumi ini. Kupikir, ini cara yang paling mendekati impas. Sejujurnya aku marah, karena hampir saja, aku dapat kelegaan dari ‘perpisahan baik-baik’. Kini aku butuh waktu, tenaga, dan ruang lagi untuk memproses dan menerima. Sialnya, semua terjadi tepat saat aku baru mendapatkan semangat lagi untuk memulai.

Aku tidak ingin bertemu J atau orang seperti J selama sisa hidupku. Walau masih ada bagian diriku ingin melihatnya, setidaknya untuk terakhir kali, aku tidak mau tahu lagi. Ini bukan momen biasa, sebab ia tahu, ia sungguh tahu bagaimana cara memadamkan apiku dan ia melakukannya. Aku bahkan tidak bisa merespons saat menerima kata ‘maaf’.

J tetap jadi bagian dari ceritaku mulai berdiri, karena ia ada di sana. Aku berterima kasih pada semua kenangan baik. J pernah kudoakan banyak sekali, karena perasaanku sungguh tulus. Kukira aku sudah menyayanginya dengan cara berbeda. Perasaan yang tak menuntut apa-apa. Perasaan cinta yang ingin bahagia sekalipun tidak bersama. Perasaan ingin membersamai dalam setiap langkah. Perasaan seorang sahabat, seorang kakak, seorang pasangan; meski akhirnya aku sadar, tidak semua orang sanggup dan layak menerima cinta seluas itu. Kelak, setelah euforia itu berakhir, J akan tahu bahwa ia kehilangan segala hal yang bahkan tak perlu ia minta.

Di pengujung Desember, aku buat satu lagu untuknya. Merangkum semua kesanku padanya, setidaknya sampai perpisahan pertama kami yang ‘baik-baik’. Hal yang lucu, mengingat kisah dalam lagu ternyata bisa begitu temporer, padahal ia diciptakan untuk selamanya. Lagu ini untuk J yang kukenal sebelum Desember (jika ia benar-benar ada dan bukan pura-pura semata). Aku tidak mengenal J setelah itu, apalagi J kemarin.

Aku senang karena ini satu-satunya yang bertema cinta, tetapi melega. Aku baru sempat merekam yang pertama, sambil sesekali menulis liriknya. Belum matang dan penuh cela, tetapi itu yang kupunya. Aku kirimkan seapa-adanya, sebab setelahnya kuhapus. Kupikir aku masih punya banyak waktu untuk memperbaikinya, mengingat betapa baiknya hubungan kami. Akan kuberikan pada waktu yang tepat: ulang tahunnya, momen spesialnya, atau sekadar menunjukkan, akhirnya aku bisa meramunya dengan cara yang lebih baik. Sekarang, tidak ada lagi saat yang tepat.

Namun, lagu itu sudah jadi miliknya. Kali pertama yang kunilai indah karena berbeda. Dan keindahan, ada kalanya tidak abadi. Aku tak lagi punya arsip apa pun tentang nada, dan kuharap, begitupun dengan memori yang melekat di sana.

Aku menerima apa yang terjadi sebagaimana adanya: bahwa J tidak menghormati hubungan baik kami sebagai sesuatu yang perlu dijaga dalam waktu lama, bahwa aku terluka dengan cara yang paling tidak etis, bahwa aku sama sekali tidak mengenal J, bahwa akhirnya, Tuhan menjauhkanku dari rasa sakit yang mungkin berkepanjangan. Aku tidak menyalahkan diriku sudah memberi seluruh ketulusan dan hal-hal baik yang kupunya. Itu semua cuma-cuma, sebab ternyata aku berkelimpahan. Aku berbahagia, karena setelah sekian lama, ternyata aku masih mampu. Namun, manusia, selalu berubah dan itu satu-satunya yang tidak pernah bisa kuprediksi dan kendalikan. Begitupun hidup, ia begitu indah, sebab tak tertebak dan sementara. Sedih-senang, jahat-baik, hidup-mati.  Aku percaya sehabis ini akan ada cahaya dan setiap orang, termasuk J, berhak bahagia atas hidupnya. 

Namun, bahagia bukan berarti rekonsiliasi. Aku menyayangi diriku sendiri dan karena itu aku membuka diri pada seluruh kebaikan yang ingin datang. Pada orang-orang yang ingin bersama-sama tumbuh lebih baik. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta sebenar-benarnya, tidak akan pernah menghargai betapa dasyatnya kebaikan-kebaikan yang bisa lahir dari sana. Dan J, adalah satu dari beberapa orang yang tidak akan pernah kuberikan akses lagi untuk menyia-nyiakan apa pun yang kupunya.


Karena aku punya bongkahan besar cinta dan rasa sedahsyat itu. Tidak akan kuberikan pada orang yang begitu saja membuangnya.

 

***

 

 

Pengujung Desember

Pengujung Desember

Deras air turun, menghidupkan

Kerontang panjang, kau harap temukan arus pulang.

 

Penghujan Desember

Lampu kota bias, kandas.

Tak terhitung lagi, kau menepi, lelah, pasrah sudah.

 

Kelak hilang semua luka,

Ingat hatimu cahaya.

Di dalam terangnya, kita boleh untuk berbahagia.

 

Walau akan habis masa,

Tapi sinar akan memandu arah

Benderang di petamu, doaku bersamamu.

 

Menyala di dadamu, seluruhku mengantarmu.

 

*Ya, dini hari ini, aku mengantarmu pada jalan yang mulus tanpa kerikil, untuk menemukan apa yang kamu cari. Dengan sebongkah lilin yang kamu habiskan sia-sia, hingga aku jadi asap yang menghilang pelan-pelan dari bingkai mata.

 


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe