Ketakutan

13.12.15


Apa yang paling buruk dari terus-terusan terobsesi mengalahkan rasa takut?


Saat kau melangkah jauh; hanya untuk pergi ke tempat yang belum pernah kau singgahi; menjejak di jalan-jalan yang belum pernah kau lewati; tertidur-bernapas-bergerak-berlari-di sisi-sisi yang belum pernah kau kenali—dan tujuanmu cuma satu: jadi berani.

Aku sungguh paham maksudmu. Toh, kita manusia—memang selalu ingin melampaui batas-batas imajiner. Garis-garis yang mengikat, mengekang—sementara dirimu adalah manusia yang ingin bebas, lepas, meloncat, terbang, jika perlu menghilang (meski kerap, bisa saja kau dengan kurang ajarnya, kembali).

Tetapi ingatlah. Sebab ada kalanya kita tersesat dalam ruang, waktu, pikiran, dan berkali-kali perasaan yang tak pernah sungguh kita pahami. Kita menapak, memutar, berbelok, berjalan, (hingga berputus asa) menelusur labirin—tanpa benar-benar tahu ke mana alur akan membawa. Akankah ke jalan yang baru; ke tempat baru; ke tantangan baru; atau justru kembali ke jalan yang lagi-lagi sama?

Tersesatkah kita? Jadi beranikah kita? Atau justru euforia akan ketakutan-ketakutan yang telah selesai, hanya akan membawa kita pada ketakutan-ketakutan baru yang tak pernah ada ujungnya?

Kita, kan memang sedang berjudi. Lagi-lagi kau berkata. Siapa yang pernah benar-benar tahu arah dari jemari semesta yang kerap jahil dan suka bercanda ini?

Kau kabur. Balasku lagi. Apakah kau sungguh-sungguh ingin jadi berani? Atau memang, adakah sesuatu di luar sana—yang sumpah mati tak seekor monyet pun tahu—yang ingin kau hindari? Yang (selalu) ingin kau hindari?

Aku tak peduli habis ini apa lagi. Tapi jangan berlari. Jangan kau kabur. Janganlah hilang, sekalipun peradaban membuatmu sesak, mual, dan ingin muntah. Jangan.

Ada kalanya yang kau butuh hanya diam di sini. Mengenali tiap senti labirin yang kau lewati, mengenali tanda, mengenali udara, mengenali bentuk dan rupa, lalu carilah pola. Jalan baru tak selalu berarti pintu baru; yang bisa begitu saja kau buka, kau masuki, lalu kau tutup—hingga apa yang kau takuti menghilang dari bingkai mata.

Sebab mereka tetap akan ada di sana. Sementara kau akan terus berlari, mencari pintu lain, tertawa puas sebab kau jadi berani, lalu mencari lagi ketakutan-ketakutan lain—tanpa kau sadar bahwa beranimu ternyata cuma ilusi. 




Kita tidak pernah sungguh-sungguh tahu apa yang kita takuti; apa yang membuat kita jadi berani; sekalipun kau dan aku telah bersama-sama mendaki gunung tertinggi; mengarungi laut, samudera, menapaki tiap jengkal bumi yang luas sekaligus sempit; atau mengasingkan diri di kedalaman hutan.

Maka sebelum kau mencari cara untuk pergi jauh; jauh sekali—entah untuk sementara atau justru selamanya, carilah alasan. Bahwa tak ada lagi hal yang bisa membuatmu takut ataupun ngeri, sekalipun kau memilih pergi atau justru bertahan.


Dengan begitu kau akan tetap jadi orang bebas. Sebab batasan—hanya ada di dalam kepalamu. Tak ada yang benar-benar menahanmu, termasuk ketakutan. 


*Foto dan Gambar:

1. https://www.bloglovin.com/blogs/nauticalwheeler-3170182/wanderlust-argentina-3953814389
2. http://pixsearching.com/pictures/tumblr-ocean-photography/






You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe