Strangers-Lovers-Strangers

22.1.16



Ternyata kau berdiri di ujung sana. Di lorong tengah—dan di kanan-kirimu; kursi-kursi kereta ekonomi yang sedari tadi kosong, mulai terisi penuh. Di bahu tegakmu, tersangkut rapi carrier 65L—menandakan bahwa kau memang tak sedang bercanda, dan ingin melakukan perjalanan jauh. Pada lehermu, tergantung selendang songket warna cokelat kemerahan, itu pemberianku; dan senyum cerlang pada gigi-gigimu yang tak lagi kusamsungguh aku hafal itu.

Aku tak mampu lagi berkata selain tersenyum—sedikit girang. Perjalanan ini sepenuhnya milikku—kau boleh ikut, tentu saja juga boleh tidak. Setelah berbulan lamanya tak sanggup kuberanikan diri menyapamu, ternyata kita bertemu di sini, tersenyum kikuk; sedikit girang, sembari melangkah pelan-pelan. Orang-orang di sekitar tak mungkin tahu, atau mungkin tak mau tahu, tapi asal kau tahu; tetap aneh rasanya bertemu kau di sini—dan kursi yang kita pesan ternyata masih berseberangan.

Aku duduk di pojok. Memandang stasiun Lempuyangan dari balik kaca kereta yang menguning. Dengan kikuk, kau mengambil gerakan duduk di seberangku. Membuat kita saling berhadap-hadapan, dan mungkin saja, bercakap atau justru tertidur selama empat belas jam lamanya. Apa pun itu, kita akan tetap saling memandang. Dan aku tahu—tanpa memandangmu pun, aku sudah hafal betul garis wajah itu, kecuali tumbuhnya cambang tipis pada sisi pipi tirusmu, pun janggut di dagumu yang manis.

“Ternyata keretanya penuh, ya,” basa-basi pertamaku hari ini. Kau tersenyum kikuk sambil menjawab “Ya” yang sama kikuknya. Kita tertawa, dan mengamini: untung sudah pilih kursi di pojok.

“Hei, itu pilihanku!” Lalu aku berseru, dan kau tertawa tak mau kalah. Bagiku kursi pojok adalah salah satu anugerah bagi para pecinta transportasi murah semacam kereta. Bagi para pecinta berkeliling—tanpa biaya mahal. Di sekitar—orang-orang di gerbong ini menyantap sarapannya. Pembicaraan kita semakin normal—dan aku jelas tak tahu harus ke mana. Selapis kenangan muncul—meruntuhkan tembok-tembok pertahananku.

“Kamu....apa kabar?” Hening mengambang di ujung.

“Baik....baik sekali,” kataku dengan nada yang dibuat-buat. Tak mudah menyembunyikan lapis rindu yang rasanya ingin meledak. “Apa kabar, dunia...pereskriman?”

“Kayaknya, mau bangkrut,” katamu santai. Seolah aku tak pernah tahu, betapa sulit sudah yang kau lakukan selama ini. “Sepenuhnya salahku, kok.”

Lapis benteng terluarku runtuh sudah rasanya. “Dateline yang waktu itu kubuat, masih jelas, kan?”

Hening mengambang, kupikir aku tahu yang sudah kulakukan, dan kau menjawab dengan nada tenang, “Masih.”

“Sorry.”

“I’m okay.”

Seolah tahu bahwa aku telah salah mengucap pertanyaan. Tinggal hening yang tersisa. Kita saling berpandangan, dan orang sebelahku masih sibuk dengan sarapan paginya, sambil sesekali basa-basi menawarkan makanan. Ingin kujawab “ya” agar aku bisa keluar dari pembicaraan mahacanggung ini, tapi telah kutolak mentah-mentah penawaran itu lebih dulu. Kau mengotak-atik handphone-mu, dan dengan sedikit tidak rela, aku masih berharap kau belum menemukan wanita idamanmu. Aku tersenyum—kau masih sama seperti yang dahulu, garis rambutmu, senyum tipismu, dan segalanya masih sama seperti yang dahulu, dan ternyata: aku merindukan itu.

Selapis dongakan kepalamu membuatku terkesiap kikuk. Setahun lalu kita merencanakan perjalanan ini, tapi belum sempat setengah bulan berselang, apa yang telah kita perjuangkan tiba-tiba kandas di tengah jalan. Sekarang aku memilih berjalan sendirian—telah kurelakan jika tiket orang di seberangku direbut orang, tapi ternyata kau ada di sana—menatapku dengan pandangan yang sama.

Keretaku; kereta kita melaju pelan—melewati baris kotamu yang kau bangga-banggakan, melewati baris-baris kenangan, saat dahulu kita sibuk menjadi diri sendiri yang mengejar mimpi. Tapi kini segalanya sudah berubah. Umurku sudah dua puluh delapan—dan kau tiga puluh. Usia yang sudah dewasa. Kuputuskan untuk mengakhirinya dengan cincin lapis lazuli yang tersemat di jari manisku. Kusembunyikan itu di balik sarung tangan—sesungguhnya ingin kucopot—tapi suatu saat, kau harus tahu.


https://id.pinterest.com/pin/447404544204489539/

You left me.” Kataku dengan nada tertahan—senormal mungkin, dan rasanya aku sudah ingin meledak sebesar mungkin.

Nggak pernah, Sekar,” nadamu yang nyaman selalu saja membuatku luluh-lantak. Tapi kali ini, tolonglah. Tidak lagi.

“Kenapa kamu nggak pernah cari aku?”

“Karena kamu nggak pernah ingin ditemukan. Kamu pergi—ke sana, ke sini, bisa jauh sekalidan sama sekali nggak pernah bisa kudapat kesempatan untuk ngomong sama kamu. Kamu bilang kamu mau pulang, tapi aku nggak tahu—ke mana rumah kamu.”

Yes, you know!” Kataku tidak terima. Pertanyaan itu meluncur sudah. Kutahan bungkusan air mata, tapi kantong itu tidaklah ajaib. Dan ternyata kau mengenalku lebih jauh. Bintik-bintik air turun sudah.

“Ya, finally.” Katamu dengan nada memurung. Ingin rasanya kupeluk kau—mengelus punggungmu yang bidang, tapi ruang gerak membatasi. Segala pembatas ada membatasi pergerakanku. Dan lagi-lagi aku sangat ingin meledak.

“Kita, nggak bisa.” Kataku dengan suara senormal mungkin. Lalu matamu bertanya kenapa dan kujawab sendiri tanpa harus kau bertanya. Kita sudah cukup saling memahami.

“Karena ini,” kucopot cincin lapis lazuli yang sedari tadi kusembunyikan. Kau menatapku dengan tatapan penuh tak terima. “maaf, tapi cepat atau lambat, kamu akan tahu.”

Kau menunduk. Pertahanan terakhirku runtuh sudah. Air mataku menggenang—aku ingin menangis, aku ingin meledak, tapi yang keluar yang bungkusan hampa suara dan bintik air yang menggenangi mata.


https://id.pinterest.com/pin/371547037977658018/

Pada akhirnya kita berpisah. Di sebuah pelabuhan—aku menjumpainya yang terlebih dulu sampai menggunakan pesawat. Kau melambaikan tangan—dan setengah berlari aku memelukmu dengan erat. Pada akhirnya pertemuan ini usai. Kita kembali lagi jadi makhluk asing yang berpikir akan lebih baik bila tidak saling menyapa sama sekali. Aku kembali jadi manusia setengah—sebab segalanya takkan lagi pernah utuh, dan roda hidup tetap berjalan tidak mau tahu.





You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe