Masker

27.5.15



Selembar masker tergeletak rapi di pangkuan saya hari ini. Hari pertama dalam seminggu ini, persisnya ketika saya memutuskan untuk kembali, menggunakan jasa bus kota untuk menjangkau kantor saya yang letaknya tak jauh dari pintu keluar tol Kebon Jeruk. Selembar masker warna abu-abu harga seribu, yang terbungkus rapi dalam plastiknya yang akhirnya cuma saya pandangi, ketimbang dipakai.

Selembar masker gratis. Entah kegratisan yang keberapa kali, saya tak pernah menghitung. Mungkin puluhan kali. Diberikan oleh seorang bapak penjual tisu-masker-permen-tolak angin berwajah malaikat yang kerap memakai peci putih dan kemeja licin lengan pendek. Saya ingat bagaimana dia menyapa saya sambil tersenyum dan melambaikan tangan, sebelum memberi tahu bus apa yang mampu mengantar saya cepat, sebab konon katanya, ngetem dan macet sungguh keparat.

Saya mengingat betapa dia bersikeras tak mau dibayar dan kelewat menghilang ketika saya menyerahkan sedikit uang. Katanya, "Nggak papa, bapak punya banyak. Neng, kan masih sekolah." -- tanpa sempat saya bercerita bahwa saya sudah bekerja di sebuah perusahaan media ternama se-Indonesia. Saya mengingat betapa dia mempersilakan saya duduk di emperan yang konon banyak preman, sambil berkata, "Duduk sini, Neng. Nggak papa, temen-temen saya semua ini." -- tanpa sempat saya mengobrol lebih banyak, karena keburu bus datang atau justru ia yang lebih dulu menghilang.

Saya mengingat bagaimana bapak tersebut banyak memberikan saya kebaikan--yang ternyata ia lakukan juga pada hampir seluruh orang yang ia temui di terminal, tanpa mengingat, siapa namanya, siapa dirinya, bagaimana asal usulnya, dimana rumahnya, berapa anaknya, bagaimana istrinya, dan yang paling penting: bagaimana dia mampu memberikan barang dagangannya yang notabene "harus dijual" secara gratis, tanpa untung sedikitpun. 

Saya mengingat, dan mendapat pelajaran, bahwa kadang orang asing tak selalu terdengar dan terlihat buruk. Di busuknya terminal-terminal kota, ternyata hidup masih menyisakan orang-orang sebaik bapak itu, sebagai pemanis untuk hidup orang-orang seperti saya. Sebagai pengingat, bahwa sebetulnya banyak orang yang mesti bersyukur dan belajar memberikan lebih banyak, daripada menerima.

Masker seribu-dua ribu memang cuma barang sekali pakai buat orang lain, yang mungkin berarti banyak bagi pedagang seperti bapak itu. Tapi pagi itu, pagi kemarin, atau mungkin pagi-pagi berikutnya, bapak itu telah memutuskan untuk memberikan sedikit--yang ternyata membekas bagi orang lain yang mulanya cuma selewat melintas.  

***

Bulan ini adalah bulan kelima saya mondar-mandir Jakarta. Banyak hal sudah terjadi, baik atau buruk, dan meskipun tidak semuanya terasa menyenangkan, begitulah hidup harus berjalan. Sampai saat ini, saya tidak tahu nama bapak itu, ataupun asal usulnya. Dia tetap menjadi orang asing yang tidak saya kenal secara lengkap--yang masih sering saya temui ketika berangkat menuju kantor. Dia tetap orang "asing" yang selalu tersenyum dan melambai tangan dengan wajah malaikatnya, tanpa tahu bahwa orang yang selama ini dia kira "masih sekolah", adalah seorang yang sudah bekerja. Tapi seperti yang saya bilang, kadang bertemu dan mengenal orang asing, tidak selalu berarti buruk.

Saya sendiri memutuskan untuk memberikan kesempatan bagi diri saya untuk lebih banyak mengenal orang lain. Asing maupun tidak, baik atau buruk, toh, saya yakin, segala hal tergantung dari sudut mana kita melihat. Perkenalan saya dengan seorang preman Blok M (yang bahkan, katanya juga mucikari) karena tugas liputan, bapak-bapak supir bus yang kerap menggratiskan ongkos saya, hingga diantar menuju tempat tujuan oleh orang tak dikenal tanpa imbalan membuat saya belajar, bahwa--lagi-lagi, bertemu dan mengenal orang asing tak selalu berarti buruk. Beberapa diantaranya justru lebih baik, dan membuat saya belajar banyak hal. Salah satunya, dan yang paling penting adalah: pelajaran "memberi" bahkan pada orang tak dikenal sekalipun.

Sebab mengutip pendapat Ayu Utami, salah satu penulis favorit saya, yang saya tahu adalah: manusia akan menjadi manusia (yang juga punya nurani dan kasih sayang), jika kita memperlakukan mereka seperti manusia.  

Caranya? Cukup buka hati, buka mata, buang stigma, dan mulailah bicara...
 
 
-Jakarta, 22 Januari 2014-





You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe