Pulang (3)

27.5.15



Gelombang yang menabrak pantai pada akhirnya mampir di ujung celanaku. Membuatnya basah oleh air. Susah payah, aku bangkit berdiri. Memori itu datang lagi, membuat seluruh ototku tiba-tiba diserang kejut kejang, membuat jaket yang kupakai terasa sedemikian nyesak.

Kulepas pantofel pun juga dengan kaus kaki yang melekat sehari semalam. Dengan telanjang kaki, lalu menepis kekhawatiran akan sensasi meriang, kulangkahkan kaki menuju laut. Merasakan hangat sekaligus dingin yang masih sama ketika permukaan air mencapai mata kakiku. Merasakan ombak mulai menghempas lembut, membuat sensasi ‘maju-mundur’ yang kini menyambutku, seolah ia kawan lama yang merindukanku untuk datang.

Aku memejamkan mata. Lalu gelombang kecil menerjang punggung kakiku, lagi. Memori bergerak mundur.

“Teman terbaik saya adalah tempat ini. Berdiri telanjang kaki di tempat ini, lalu memandang laut, sambil membiarkan ombak menghempas, membuat saya selalu berada pada sensasi maju-mundur, yang entah kenapa membuat saya merefleksikan hidup.”

Aku memilih tidak bertanya dan membiarkanmu mengoceh hingga berbusa.


“Masa lalu dan sekarang. Sampai sekarang saya nggak ngerti, gimana caranya, hanya dengan satu sapuan, ombak bisa membawa kita bergerak maju dan mundur, membuat kita terpaksa berani untuk pergi ke zona memori lampau, lalu menggiring kita untuk memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk ke depannya.” Kau menghela nafas. “Sekarang coba kamu tutup mata kamu.”


Aku menghela nafas panjang. Sapuan ombak berhasil membawaku terhempas ke ruang gelap yang pernah kutimbun lekat-lekat. Membuatku harus menggapai-gapai, lalu menyusun potongan memori yang kusimpan dalam-dalam. Pelupukku basah lagi. Suara deburan ombak memenuhi tempat ini, angin pantai menggoyahkan pertahananku.

“Setelah itu, kamu tunggu ombak menghempas kamu.”


Satu gelombang menghempas kakiku lagi. Celanaku sengaja tak kugulung, membuat seperdelapannya basah karena ombak kali ini nampaknya lebih besar dari yang sebelumnya.

“Setelah itu, rasakanlah. Ombak akan membawa kamu mundur mengingat memori. Demi apa pun, please, jangan kamu lawan. Biarkan kamu bergerak di dalamnya. Biarkan kamu melarut menjadi satu dengan pusaran air laut. Kamu nggak akan apa-apa, nggak ada yang perlu ditakuti dari kenangan.”

Tubuhku melarut. Pikiranku mengawang dengan bebas. Kau, sepuluh tahun, pantai, iklim tropis, bocah pencari kerang, ibu penjual ikan bakar, puluhan botol kecap manis, matahari terbenam, formasi burung camar, angin pantai..

“Setelahnya, ia bakal bawa kamu maju. Maju ke tempat di mana seharusnya kamu mulai berpikir tentang hidup kamu, maju ke tempat di mana kamu harus membuat keputusan untuk nggak takut lagi pada kenangan berharga, dan memilih melanjutkan hidup kamu, yang sama berharganya.”

Sesuatu seperti memelukku lalu mengiring tubuhku yang manut untuk maju. Aku, sepuluh tahun, sepatu pantofel, jaket coklat pudar, salju, empat musim, remaja penyewa ban renang, ibu paruh baya penjual es kelapa muda, studio mini, kamar apartemen, proyek album, persiapan mini konser, undangan pernikahan..

“Sampai akhirnya kenangan nggak akan lagi menyakiti kamu. Sampai akhirnya kenangan nggak akan menjelma jadi bentuk lain kecuali sebagai ingatan dan perputaran kamu dalam berproses. Sampai akhirnya kamu tahu, bahwa kamu tetap harus melanjutkan hidupmu sendiri, dan sadar, nggak ada yang perlu ditakuti dari mengingat kenangan.”

Genangan itu tumpah lagi. Sesuatu seperti menghantam dadaku hingga terjengkang sesak. Segera, Aku membuka mata. Laut terlihat seperti biasa. Ombak yang baru saja meluluhlantahkanku kembali menjelma menjadi bentuk yang biasa. Badanku gemetar. Tiba-tiba aku merasa sangat marah. Kulangkahkan kaki menuju laut. Kuputuskan untuk melanggar zona amanku. Kuputuskan untuk mendobrak gerbang perbatasan kastil misterimu. Laut tidak berhak membuatku remuk redam, laut tidak berhak membuatku membatu lalu hancur berkeping-keping.

Aku terus berjalan, sesekali memukul-mukul ombak yang menghalangi jalanku. Celana jeans-ku sudah basah dengan sempurna, begitupun dengan lengan kemejaku yang tak kugulung. Marahku menjadi, karena semakin aku berjalan, ombak akan semakin bernafsu mengembalikanku ke daratan. Kubuang peduliku. Harus kutemukan pintu keluar dari kastil misterimu.

Air sudah setinggi pinggang. Aku terus bertahan dan melanjutkan perjalananku. Langkah demi langkah kutempuh kembali, meskipun semakin lama, makin menyesakkanku. Membuatku menjadi semakin sulit bernafas. Sulit bergerak.

Tapi aku sudah terbiasa dengan nafas sesak, dengan kaku kaki ketika menjejak. Sepuluh tahun kuselami hidup menjadi orang asing, sepuluh tahun kubiarkan hidupku menggapai-gapai di tempat yang dengan susah kujejak, di atsmosfer yang dengan nyesak kuhirup. Kau tidak tahu, wahai ombak.

Kau tidak pernah tahu kan bagaimana aku harus terbiasa menjejak di tempat asing, lalu tidak punya nyali untuk segera beralih? Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya terlalu lama menghirup atmosfer yang menyesakkan paru-paru, dan ketika sudah kembali ke habitat asal, aku malah ingin segera kembali pada gelembung hampa udara?

Kau tidak pernah tahu bagaimana susah bagi yang kehilangan untuk merelakan, seolah tidak pernah kehilangan apa-apa, dan kau tentu tidak tahu, betapa mudah jika aku harus membuatmu yang gantian terjengkang setelah bertahun lalu kau coba menipuku dengan ilusi fatamorgana bernama: kenangan.

Kenangan itu menyakitkan, dan dia tidak akan berhenti hingga kau terjengkang lumpuh sampai mampus.

Ombak masih terus menghempasku. Aku masih bertahan. Kulangkahkan terus kakiku menantang arus. Menantang ombak. Tapi laut semakin keras kepala. Semakin aku maju, semakin besar pula upayanya untuk mengembalikanku ke daratan.

Air sudah setinggi dada. Dan ombak yang menghempasku semakin lama terasa semakin ganas.Aku tak peduli. Aku hanya ingin melihat pintu keluar itu. Tapi kemudian ombak datang lagi, menabrak seluruh pertahananku, membuatku kembali kehilangan kekuatan.

Aku dihempas kembali ke daratan.


***


You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe