Pulang (2)

27.5.15



Deburan ombak yang memecah bibir pantai menjamah punggung pantofel hitamku. Hangat sekaligus dingin. Aku sendiri tidak pernah mengerti mengapa ombak bisa memberikan dua sensasi yang berbeda dalam hitungan detik. Kau pernah bilang, lautan adalah misteri, sementara pantai, berdiri dengan bias seolah ia penjaga pintu gerbang misteri agar tak sembarang orang mampu masuk ke dalamnya.

Pantofelku sengaja tak kulepas. Sudah kulupa bagaimana harus aku menjejak di atas pecahan-pecahan karang yang kini bertransformasi sebagai pasir. Pun juga dengan jaket coklat muda tebalku yang warnanya memudar termakan usia. Sepuluh tahun lamanya aku tak terbiasa dengan iklim tropis, sehingga aku khawatir riuh rendah angin pantai akan membawaku pada sensasi meriang dua hari yang merepotkan.

Aku memandangi sekitar. Waktu yang berjalan membuat segalanya perlahan berubah. Kau pernah bilang, bahwa tidak ada gunanya bertahan terjejak di tempat yang sama ketika di sekelilingmu justru berpindah, meninggalkan, lalu mencari tempat yang lebih baik lagi untuk berlabuh. Sifat dasar manusia, katamu lagi. Berpindah tempat mencari yang lebih baik adalah sifat dasar manusia sejak zaman purba.

Begitupun di sini. Sepuluh tahun dengan sadar kutinggalkan tempat ini setelah dibuatnya remuk redam, perlahan tempat ini berubah. Sampah di mana-mana, sementara kerikil serta pasir favoritmu kini turut bergabung dengan pecahan beling dan botol plastik. Ibu paruh baya penjaja jasa mengepang rambut bilang padaku, seorang jutawan tengah membeli hak milik pantai ini lalu mengubahnya jadi objek wisata umum yang bisa dikunjungi banyak orang. Menyebabkan, kini, asal kau tahu, anak-anak pencari kerang kesukaanmu itu sudah berpindah profesi menjadi penyedia jasa sewa ban, berikut juga dengan banana boat serta perahu nelayan.

Banyak yang sudah berubah. Kukira aku pun demikian. Rambutku yang selalu rapi kini kubiarkan sedikit panjang. Bertahun sudah, akhirnya aku merasa jengah dengan trigonometri, ratusan rumus hitungan, sampai akhirnya menemui apa yang bisa kusebut sebagai pelabuhan terakhirku, tempat di mana seharusnya aku bermuara, musik. Kukumpulkan uang hasil jerih payahku hanya untuk memberi peralatan bagi sebuah studio kecil di ujung kamar apartemenku. Tidak megah, tapi cukup membuatku bisa terburu-buru pulang ke kamar lalu membenamkan sebagian aktivitasku di sana.

Bukankah kau pernah bilang, terkadang seseorang harus mencoba keluar dari zona amannya untuk mendapatkan dirinya kembali?

Maka dari itu kuputuskan untuk keluar dari zona amanku. Pergi ke tempat di mana bukan lagi iklim tropis yang kuhirup. Aku pergi ke tempat asing, di mana tidak kutemui satu pun yang kukenal, satu pun kebiasaan yang kuanggap akrab, satu pun makanan yang cepat cocok dengan puluhan naga di perutku yang harus diberi makan. Tapi katamu, asing atau tidaknya hanya masalah waktu. Oleh karena itu, aku berusaha. Kau tidak pernah tahu bahwa sedemikian susah aku berusaha agar bisa terbiasa, hingga saat akhirnya aku harus kembali, giliranku yang kini merasa asing.

Semilir angin meraba tengkukku. Kurapatkan jaket pudarku. Aku berdiri di bias batas lautan sana yang menantangku dengan angkuh. Pandanganku mengawang. Sesuatu yang mati-matian lama kutolak mendadak muncul di tempat ini. Ada sesuatu yang hangat di pelupuk mataku. Pipiku panas. Memori itu muncul lagi, datang membawa seseorang yang bertahun-tahun berusaha kulenyapkan.

“Oke, jadi kamu bilang bahwa semua hal pasti akan kembali ke rumahnya. Yang saya ingin tanya adalah, gimana kamu bisa menemukan rumah kamu sendiri kalau kerjaan kamu cuma loncat ke sana-ke mari kayak semacam kutu?” Rasa penasaranku tidak terbendung. Sebuah pertanyaan mengganggu privasi keluar lagi dari mulutku.

“Hahaha, percaya deh, saya juga nggak tahu.” Kau menjawabku santai. Sambil meneguk segelas es kelapa muda, matamu kemudian mengawang, menatap angkasa penuh puluhan camar berformasi dalam perjalanan pulangnya. “Tapi suatu saat saya yakin, saya akan pulang. Pulang ke tempat di mana seharusnya saya berada, hingga saya nggak perlu menclok sana menclok sini, pulang ke rumah yang benar-benar rumah, di mana saya nggak harus merasa kehilangan ketika banyak hal pergi.”

Mataku menyipit. Puluhan burung camar sudah menghilang dari jarak pandangku. Membuat mereka seolah tenggelam di balik lautan yang membiru memantulkan angkasa. “Kehilangan itu wajar. Terkadang kamu nggak perlu takut. Tapi saya juga percaya kok suatu saat kamu pasti pulang. Pulang ke tempat yang akan kamu sebut itu sebagai rumah, ke tempat di mana kamu tidak perlu lagi merasa asing.”

Gelontor itu turun sudah tanpa dikomando. Aku jatuh terduduk di atas pasir. Sepuluh tahun lamanya aku bertransformasi menjadi sesuatu yang bukan diriku sendiri. Sepuluh tahun sudah aku berusaha ikut sepertimu, menjadi seekor kutu loncat agar bisa melepaskan bagian tersulit dari hidup: merasa kehilangan, karena tak rela menerima kenyataan bahwa kau sudah sampai pada rumahmu sendiri. Kau tidak pernah tahu rasanya, karena bagimu, kau tetap sebagai kutu loncat. Dan kutu loncat tidak akan meninggalkan dan ditinggalkan apa-apa.

“Saya nggak habis pikir. Kamu tahu nggak, satu dari sekian banyak hal aneh di dunia adalah ketika orang yang tiba-tiba bisa membuat, lalu mengaransemen apapun jadi sebuah lagu, malah menghabiskan waktu hidupnya jadi ahli matematika yang tiap saat kerjaannya cuma ngeribetin diri sendiri dengan menghitung sesuatu yang seharusnya nggak dihitung.”

Aktivitasku memukul lima sampai tujuh botol kecap manis berhenti. “Asal kamu tahu, begini yang namanya hidup. Ada banyak hal yang kamu mau tapi nggak bisa kamu dapat, ada banyak hal juga yang bisa kamu dapat tapi bukan yang kamu mau. Lagipula, ini bukan selamanya, ya. Saya bakal keluar dari ini begitu dapat pekerjaan lain yang bisa lebih mencukupi hidup saya ketimbang jadi musisi kere yang idealis.”

“Terus kapan ‘pekerjaan lain’ itu datang kalau kamu bahkan nggak bergerak sedikitpun dari ‘zona aman’ hidup kamu?” Kau mengunyah secuil ikan bakar. “Hidup itu beda sama ilmu matematika. Hidup kamu juga nggak bisa gitu aja dihabiskan hanya untuk mikir lalu menghitung cukup atau nggaknya kamu bisa membiayain hidup kamu.”

“Heh. Jangan pernah meremehkan ilmu matematika. Kamu tahu nggak sih, bahkan butuh berlembar-lembar kertas cuma untuk menjelaskan kenapa satu tambah satu sama dengan dua.”


***



You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe