Pulang (1)

27.5.15



“Kamu terlalu takut sama yang namanya keterasingan. Kamu takut ketemu sama orang asing. Kamu takut berada di tempat yang asing, kamu takut sama keadaan yang nggak biasa, yang nggak familiar. Tapi kamu tahu nggak? Terkadang kamu harus maksa buat lepas dari zona aman kamu. Suatu saat nanti, kamu nggak akan bisa berdiam di satu titik yang sama. Kamu harus menemukan titik lain, dan itu nggak akan bisa selama kamu takut untuk ketemu sama hal-hal yang asing.”

Kurang dari dua hari kita berada dalam posisi yang sama, di bias batas laut dan darat, kau sudah cukup mampu membaca, lalu dengan kurang ajar memaparkan padaku secara gamblang, seolah kau guru biologi yang tak merasa tabu menjelaskan apa itu alat kelamin dan bagaimana proses pembuahan terjadi.

Aku mengamatimu heran, lalu merasa tidak boleh kalah. “Oke Suhu, dan ternyata saya juga bisa baca kamu. Kamu adalah orang yang nggak suka keterikatan. Kamu lebih milih bebas, lalu berkeliling keluar dari zona amanmu, bertemu dengan begitu banyak hal asing, dengan hidup bebas dari rutinitas. Kamu takut berdiam dalam satu titik yang sama, dan lebih memilih loncat-loncat cari titik lain sampai kamu ngerasa nyaman. Tapi tahu nggak? Terus main loncat-loncatan itu nggak akan kasih kamu apa-apa.”

Kau tersenyum menatap laut. “Baik, kakak pertama. Hal pertama, apa yang kamu sebut dengan ‘main loncat-loncatan’ itu nggak seperti yang kamu pikir,” lalu kau menatapku lama, sebelum akhirnya kembali membuang pandanganmu ke perspektif lautan yang datar. “Orang datang dan pergi. Kita kehilangan lalu mendapatkan gantinya. Kalau saya tetap bertahan di posisi saya, saya akan selalu merasa kehilangan. Makanya saya lebih milih berpindah.”

Nadamu menurun. Raut wajahmu terlihat memurung.

“Terus ngebiarin orang lain yang akan kehilangan kamu?” Refleks gantian aku yang bersuara, lalu menyadari sebagian dari ucapanku keluar dengan nada tidak terima.

Kau menghela nafas panjang, lalu senyum tipis tersungging di wajahmu. “Saya itu cuma kayak kutu loncat. Dia tidak meninggalkan apa-apa, makanya nggak ada juga yang akan merasa ditinggalkan.”

Setiap hal selalu meninggalkan bekas. Termasuk seekor kutu loncat, kau hanya tidak tahu, karena kau tidak pernah ditinggalkan apapun dengan aktivitasmu ‘meloncat’.

Momentum Matahari terbenam pun tiba. Bulatan besar merah jingga itu akhirnya sampai di ujung laut yang tersembul bagai batas, lalu perlahan tenggelam di balik lautan.

 “Tahu nggak?” Tiba-tiba kau menyela. ”Momen kayak gini udah biasa bagi saya dan kebanyakan orang disini. Tapi nggak tahu kenapa, momen ini selalu bisa membuat saya diam, sekian detik. Terus merenung. Seperti Matahari yang selalu kembali terbenam ke peraduannya, seperti burung camar yang selalu berbalik ke sarangnya saat malam hampir tiba. Setiap hal akan selalu pulang ke rumahnya, ke tempat dimana ia seharusnya tinggal.”

“Betul sekali.” Kataku. “Dan ternyata kamu bisa juga ya terbiasa dengan momentum yang sama setiap hari. Saya nggak tahu, gimana caranya kamu yang serba bebas dan serba loncat ini tiba-tiba sanggup terikat dalam sekian detik sama momentum sesederhana sunset.”

Kau tertawa pelan. “Dan ini lucu, gimana kamu yang hidupnya takut sama keterasingan, duduk disini, di atas  pasir yang buat kamu lebih mirip sama serpihan kerikil, ngeliat momen yang nggak biasa dengan aktivitasmu sepanjang hari, apalagi sama orang asing yang bahkan belum genap dua hari kamu kenal.”

Aku tertawa tergelak. Pun juga denganmu. Langit menggelap. Matahari sudah kembali ke tempat peraduannya, menghilang dibalik lautan. Giliran bulatan kemuning yang tampil untuk menerangi bumi.


***




You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe