Pendar Cahaya di Langit Dieng

27.5.15




Bulatan-bulatan dengan pendar cahaya oranye beterbangan di udara. Berbungkus doa serta harapan yang membumbung tinggi, hingga ke angkasa.
Ada yang berbeda di langit Dieng malam itu. Meski suhu udara yang perlahan turun tetap sanggup membuat tubuh bergetar menahan dingin, masih ada kaki-kaki yang sengaja beranjak untuk sekadar menunggu pukul delapan malam. 
Di lapangan sekitar Candi Arjuna, ribuan orang berkumpul. Ada yang duduk, berbincang sembari berbagi kehangatan, ada pula yang berinisiatif membakar jagung, menyeruput segelas jahe hangat atau apa saja yang sekiranya mampu melawan dingin saat kabut datang pelan-pelan.
Tak sadar waktu cepat terlewat, satu buah lampion mulai dinyalakan. Cahaya oranye berpendar, jadi pancingan. Satu per satu bangkit dari tempatnya terjejak: menyalakan api, membakar kepingan styrofoam, menarik kerangka lampion hingga mengembang, dan siap diterbangkan. Terbias wajah-wajah ceria di sekeliling, meski banyak lampion justru jatuh, kehabisan api, bahkan terbakar, dan rusak. Sambil merapal doa dan harapan, satu per satu lampion dilepaskan, lalu terbang dan membumbung tinggi hingga lepas dari bingkai mata.  
Terhitung, ribuan lampion diterbangkan dan ribuan massa memadati area, pada malam sebelum ritual pemotongan rambut gimbal yang akan berlangsung keesokan harinya. Padahal, sama seperti malam-malam sebelumnya, suhu udara terus turun hingga menusuk tulang. Menjadikan lembaran jaket, pakaian hangat, sarung tangan, hingga kaus kaki yang bertumpuk di tubuh seolah jadi tak berarti. Di tengah padatnya rangkaian acara Dieng Culture Festival 2014 pada 30-31 Agustus lalu, masing-masing punya persoalan tambahan: menghangatkan tubuh.
Namun belum genap pesta lampion usai, letupan kembang api yang berasal dari pelataran Candi Arjuna mewarnai langit--bersaing dengan kabut tipis yang turun pelan-pelan. Refleks, perhatian terbagi. Ada yang sibuk memegang smartphone, atau kamera untuk sekadar mengabadikan momentum. Ada juga yang hanya diam--menikmati lalu membingkainya dalam ingatan. Di sekeliling, riuh penonton jadi satu dengan bunyi letupan kembang api yang terus memercik, menciptakan pola indah di langit Dieng.
Sementara itu, dingin masih menusuk pori-pori dan lampion pembawa doa serta harapan terbang, melayang tinggi. 

(Ditulis pertama kali untuk jurnalvakansi.com)

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe