Pulang (Tamat)

27.5.15



Kehidupan, kematian, ditinggalkan, ataupun meninggalkan, selalu ada beberapa hal yang tidak bisa kamu lawan. Terkadang ada saatnya di mana satu-satunya yang kita bisa lakukan adalah menerima, dan sadar bahwa, ada beberapa hal yang tidak bisa kita jangkau.”

Semuanya terasa sesak, ketika tubuhku kembali menyentuh ribuan tumpuk pasir dingin. Bukan karena air laut yang serta merta terminum, tapi karena aku menyadari kekalahanku, ketidakmampuanku untuk bertahan dan mencoba pergi dari bayanganmu. Kurasakan keram di sekujur tubuhku. Nafasku terengah-engah. Hidungku perih karena air yang masuk. Kumuntahkan air itu keluar, asin, sekaligus pahit. Pandanganku perlahan menjelas. Empat atau lima remaja penjaja jasa ban sewaan mengerubungiku dengan cemas. Aku mencoba bangkit dari posisi, serbuk pasir mengerubuti punggungku yang basar karena air.

“Nggak apa-apa, Kang?” Seorang anak bertopi merah memastikan keadaanku baik-baik saja. Aku terbatuk, rasanya beberapa butir pasir kutelan sudah.

“Akang teh, mau ngapain pergi dalam-dalam? Ombaknya nggak ramah, apalagi kalau buat orang baru.”

Aku masih berusaha untuk tersadar seratus persen. “Saya nggak apa-apa, tadi kalung saya jatuh, saya coba ambil, ini udah ketemu.”

Kuperlihatkan sebuah liontin merah yang tergantung di leherku. Alasan cukup logis, setidaknya untuk kumpulan remaja pantai ini.

“Lain kali, Kang, kalau ada yang jatuh atau hilang, mending direlakan saja.” Seorang remaja berbaju merah pudar menimpaliku. “Kita yang disini percaya, kalau udah milik pasti akan pulang lagi ke yang punya.”


***


Kuputuskan untuk menginap beberapa hari lagi di sini. Momentum Matahari terbenam tinggal setengah jam lagi. Semoga aku juga tidak lupa bagaimana caranya menikmati momentum ini. Semoga aku tidak lagi lupa bagaimana menghabiskan beberapa detik saja waktu di mana Matahari bergegas pulang kembali ke peraduannya.

Pada akhirnya, seperti katamu, aku sampai pada titik di mana aku bisa menerima.
Aku pulang, ke tempat di mana aku tidak perlu takut telapakku luka karena terlalu lama terjejak, ke tempat di mana aku tidak perlu khawatir terkena meriang karena riuh rendah angin pantai, ke tempat di mana aku tidak akan kehilangan sesuatupun. Bukan karena aku kutu loncat sepertimu, melainkan karena kita berdua sudah sama-sama menemukan rumah. Rumah yang sama, tempat di mana seharusnya kita berada tanpa harus merasa kehilangan apa pun.

Kau adalah bagian dari memori. Bagian dari perjalananku berproses sampai akhirnya aku kembali menemukan sesuatu yang layak kusebut sebagai rumah. Tapi hidup harus tetap berjalan, dan kali ini, akan kubiarkan kita berjalan beriringan.

Kupandangi sekotak cincin. Akan kuberikan pada orang yang harus membantuku berproses besok dan hari-hari seterusnya. Aku sudah pulang.

Hari ini saya pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan dari seseorang yang akhirnya bisa pulang, setelah bertahun-tahun mengembara di negeri asing. Hari ini saya pulang, ke tempat seharusnya saya pulang, ke tempat seharusnya saya berdiam.





You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe